Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pernyataan Ulama Empat Madzhab Tentang Hadiah Pahala Amal Shalih

 Bagian 4 | Ayo Tahlil !!! Mengungkap Dalil-dalil Sampainya Hadiah Pahala Amal Shalih Bagi Mayit

Pembelian Buku ini hubungi 085728151032

Pernyataan Ulama Empat Madzhab Tentang Hadiah Pahala Amal Shalih

Berikut ini adalah pernyataan para ulama empat madzhab mengenai masalah membaca al-Qur'an untuk mayit sekaligus sebagai bantahan dan jawaban ulama Ahlussunnah terhadap sanggahan segelintir orang atau sekelompok golongan yang mengaku sebagai pengikut madzhab Hanbali tapi menyempal dan mengharamkan membaca al-Qur'an untuk mayit, berbeda dengan ulama madzhab Hanbali sendiri. Mereka sering merubah-rubah nama tapi semuanya mempunyai ciri yang sama, membawa ide-ide faham Wahhabi yang bertentangan dengan faham ulama salaf dan khalaf seperti dalam masalah ini dan dalam banyak masalah-masalah lainnya.

Apa yang ditulis dibawah ini hanyalah sebagian kecil saja dari sekian banyak kitab ulama yang menyatakan kebolehan membaca al-Qur'an untuk mayit dan sampainya pahala bacaan tersebut kepadanya. Wa Allah al-Muwaffiq.

Pernyataan Ulama Madzhab Syafi’i

﴾ 1 ﴿

Al-Imam Abu Sulaiman al-Khaththabi, --ketika menjelaskan hadits mengenai perbuatan Rasulullah yang meletakan ranting basah pada dua kuburan orang muslim yang sedang disiksa--, mengatakan:

فيه دليل على استحباب تلاوة القرآن على القبور لأنه إذا كان يرجى عن الميت التخفيف بتسبيح الشجر فتلاوة القرآن أعظم رجاء وبركة. اهـ

“Dalam hadits ini terdapat dalil disunnahkannya membaca al-Qur'an di kuburan, karena jika dapat diharapkan adanya keringanan dari siksa kubur dengan tasbih pohon, maka bacaan al-Quran adalah lebih dapat diharapkan dan lebih besar berkahnya”[1].

Pernyataan al-Imam al-Khath-thabi di atas dikutip oleh al-Imam Badruddin al-Aini al-Hanafi dalam kitab Syarh Shahih al-Bukhari yang dinamakan dengan Umdah al-Qari Bi Syarh Shahih al-Bukhari. Ini artinya, ahli hadits terkemuka madzhab Hanafi; yaitu Badruddin al-Aini, telah sepakat dengan apa yang telah dinyatakan oleh al-Khath-thabi tersebut.

﴾ 2 ﴿

Pendapat yang sama juga telah diungkapkan oleh al-Imam al-Bagahawi dalam kitab Syarh as-Sunnah[2].

﴾ 3 ﴿

Al-Imam al-Hafizh Yahya ibn Syaraf an-Nawawi dalam kitab Syarh Shahih Muslim berkata:

واستحب العلماء قراءة القرآن عند القبر لهذها الحديث، لأنه إذا كان يرجى التخفيف بتسبيح الجريد فتلاوة القرآن أولى. اهـ

“Para ulama menyatakan kesunnahan membaca al-Quran di kuburan berdasarkan hadits ini (hadits ranting basah), karena jika dapat diharapkan keringanan siksa kubur dengan tasbih-nya ranting maka terlebih lagi dengan bacaan al-Qur’an”[3].

Sementara dalam kitab al-Adzkar an-Nawawi menuliskan sebagai berikut:

قال الشافعي والأصحاب: يستحب أن يقرءوا عنده شيئا من القرآن، قالوا: وإن ختموا القرآن كله كان حسنا. اهـ

“Asy-Syafi'i dan para sahabatnya berkata: Disunnahkan membaca beberapa ayat al-Quran di dekat mayit yang telah dikubur”. Meraka menambahkan: “Apabila dikhatamkan al-Qur'an seluruhnya maka hal itu lebih baik”[4].

Kemudian dalam kitab Riyadl as-Shalihin, al-Imam al-Hafizh an-Nawawi berkata:

يستحب أن يقرأ عنده شيء من القرآن، وإن ختموا القرآن عنده كان حسنا. اهـ

“Disunnahkan untuk dibacakan di dekat kubur sesuatu dari al-Qur’an, dan jika mereka mengkhatamkan al-Qur’an di dekat kubur maka adalah baik”[5].

Dalam kitab Syarh al-Muhadz-dzab, al-Hafizh an-Nawawi berkata:

ويستحب أن يقرأ من القرآن ما تيسر ويدعو لهم عقبها، نص عليه الشافعي واتفق عليه الأصحاب.اهـ

“Disunahkan (bagi yang ziarah kubur) untuk membaca al-Qur’an sekedarnya kemudian mendoakan mereka (ahli kubur) setelah itu. Hal ini telah dinash oleh asy-Syafi'i dan sudah di sepakati oleh para sahabat”[6].

﴾ 4 ﴿

Al-Imam al-Hafizh as-Suyuthi dalam Syarh ash-Shudur berkata:

واستدلوا على الوصول بالقياس على الدعاء والصدقة والصوم والحج والعتق، فإنه لا فرق في نقل الثواب بين أن يكون عن حج أو صدقة أو وقف أو دعاء أو قراءة، وبالأحاديث الواردة فيه، وهي وإن كانت ضعيفة فمجموعها يدل على أن لذلك أصلاً وبأن المسلمين ما زالوا في كل مصر يجتمعون ويقرءون لموتاهم من غير نكير فكان ذلك إجماعًا، ذكر ذلك كله الحافظ شمس الدين محمد بن عبد الواحد المقدسي الحنبلي في جزء ألّفه في المسئلة. اهـ

“... dan mereka (para ulama) mengambil dalil atas sampainya --bacaan al-Qur’an bagi mayit-- dengan jalan qiyas seperti penjelasan terdahulu dalam masalah doa, sedekah, puasa, haji dan dalam memerdekakan hamba sahaya. Oleh karena sesungguhnya tidak ada perbedaan dalam memindahkan (hadiah) pahala dari pekerjaan haji, sedekah, wakaf, doa, atau bacaan al-Qur’an. Juga dengan dalil adanya hadits-hadits yang akan disebutkan nanti --terkait sampainya pahala bacaan al-Qur’an--. Hadits-hadits tersebut walaupun berkualitas dla’if, namun secara keseluruhan itu semua menunjukan bahwa paham --sampainya pahala bacaan al-Qur’an-- memiliki dasar. Juga dengan dalil (bukti) bahwa seluruh orang-orang Islam disetiap masanya senantiasa berkumpul dan membaca –al-Qur’an-- bagi orang-orang yang meninggal di antara mereka, tanpa ada siapapun yang mengingkarinya, sehingga perkara itu menjadi kesepakatan mereka (ijma’). Telah disebutkan demikian semua ini oleh al-Hafizh Syamsuddin al-Maqdisi al-Hanbali dalam buku yang beliau tulis dalam tema ini”[7].

Karena itu di kitab yang sama al-Hafizh as-Suyuthi menuliskan:

فجمهور السلف والأئمة الثلاثة على الوصول. اهـ

“Maka seluruh orang-orang Salaf dan al-Imam mujtahid yang tiga menetapkan di atas sampainya pahala bacaan al-Qur’an (dan lainnya bagi mayit)”[8].

Masih dalam kitab Syarh ash-Shudur al-Imam as-Suyuthi menuliskan:

وأما قراءة القرآن على القبر فجزم بمشروعيتها أصحابنا وغيرهم، قال الزعفراني: سألت الشافعي عن القراءة عند القبر فقال: لا بأس به، وقال النووي في شرح المهذب: يستحب لزائر القبور أن يقرأ ما تيسر من القرآن يدعو لهم عقبها، نص عليه الشافعي واتفق عليه الأصحاب، زاد في موضع آخر: وإن ختوا القرآن على القبر كان أفضل. وكان الإمام أحمد ينكر ذلك أولا حيث لم يبلغه فيه أثر، ثم رجع حين بلغه. اهـ ثم قال؛ وأخرج الخلال في الجامع عن الشعبي قال: كانت الأنصار إذا مات لهم ميت اختلفوا إلى قبره يقرأون له القرآن". اهـ

“Adapun (hukum) membaca al-Quran di kuburan menurut pendapat para sahabat kami (ulama madzhab Syafi'i) dan selain mereka adalah masyru' (disyari'atkan). Az-Za’farani berkata: “Aku telah bertanya kepada as-Syafi’i tentang membaca al-Qur’an di kubur, beliau berkata: Tidak mengapa. An-Nawawi dalam Syarh al-Muhadz-dzab berkata: Disunnahkan bagi seorang yang ziarah kubur untuk membaca apa yang mudah baginya dari al-Qur’an, lalu sesudahnya berdoa bagi mereka. Telah mencatatkan demikian oleh as-Syafi’i dan telah disepakati atasnya oleh ash-hab as-Syafi’i. --Dan pada bagian lain menambahkan--: “Dan jika mereka mengkhatamkan al-Qur’an seluruhnya di atas kubur maka itu lebih utama”. Dan Al-Imam Ahmad ibn Hanbal pada awalnya mengingkarinya karena belum sampai kepadanya atsar terkait itu, lalu setelah sampai kepadanya atsar maka beliau rujuk dari pendapatnya itu. --Kemudian berkata--: “Dan telah meriwayatkan oleh al-Khallal dalam kitab al-Jami’ dari asy-Sya’bi, bahwa ia berkata: “Adalah para sahabat Nabi dari kaum Anshar apa bila ada yang meinggal di antara mereka maka mereka bergantian datang ke kuburnya untuk membaca al-Qur’an”[9].

﴾ 5 ﴿

Al-Imam al-Hafizh az-Zabidi dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin mengutip perkataan Ibn al-Qath-than --Salah seorang guru-guru dari al-Hafizh Ibn Hajar-- bahwa ia berkata:

قال ابن الرفعة؛ الذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت وتخفيف ما هو فيه نفعه، إذ ثبت أن الفاتحة لما قصد بها القارئ نفع الملدوغ نفعه، وأقر النبي صلى الله عليه وسلم ذلك بقوله: "وما يدريك أنها رقية"، وإذا نفعت الحي بالقصد كان نفع الميت بها أولى، لأن الميت يقع عنه من العبادات بغير إذنه ما لا يقع من الحي، نعم يبقى النظر في ما عدا الفاتحة من القرآن الكريم إذا قرئ وقصد به ذلك هل يلتحق به. انتهى، نعم يلتحق به". اهـ

“Ibn ar-Rif’ah telah berkata: “Yang ditunjukan hadist melalui jalan istinbath (penggalian hukum) adalah bahwa sebagian ayat al-Qur’an apabila yang dimaksudkan (oleh pembacanya) untuk memberi manfaat kepada mayit dan meringankan siksa yang ada padanya maka manfaat itu akan dirasakan oleh mayit. Karena telah tsabit bahwa al-Fatihah ketika dimaksudkan oleh pembacanya untuk mengobati orang yang terkena sengatan binatang berbisa, dia bisa merasakan manfaatnya. Dan Rasulullah telah mengakui kebolehan itu dengan sabdanya: “Dari mana engkau tahu bahwa al-Fatihah itu adalah jampi (ruqyah; untuk kesembuhan)”. Dengan demikian jika bagi yang hidup saja bacaan al-Fatihah bermanfaat maka terlebih lagi bagi orang yang telah meninggal (mayit). Oleh karena dapat terhasilkan bagi mayit pahala dari beberapa bentuk amal ibdah yang dilakukan oleh orang lain yang masih hidup tanpa harus adanya izin dari mayit itu sendiri. Benar ada pandangan lain selian bacaan al-Fatihah dari al-Qur’an apakah juga sampai bagi mayit jika dibaca dengan maksud dan tujuan di atas? Dan pendapat yang benar adalah sampai”[10].

﴾ 6 ﴿

Al-Imam Muhammad ibn Ali yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Qath-than, dalam risalah-nya berjudul al-Qaul bi al-Ihsan al-‘Amim fi Intifa’ al-Mayyit Bi al-Qur'an al-‘Azhim, berkata:

ونقل عن الشافعي انتفاع الميت بالقراءة على قبره، واختاره شيخنا شهاب الدين بن عقيل، وتواتر أن الشافعي زار الليث بن سعد وأثنى عليه خيرا وقرأ عنده ختمة وقال أرجو أن تدوم فكان الأمر كذلك". اهـ

“Dikutip dari (al-Imam) asy-Syafi'i bahwa beliau berpendapat; bacaan al-Qur’an dimakam mayit bisa memberi manfaat kepadanya. Inilah pendapat yang dipilih guru kami; Syihabuddin ibn Aqil, dan telah mutawatir diceritakan banyak orang bahwa al-Laits ibn Sa’d, beliau memujinya lalu mengkhatamkan al-Quran sekali khataman dimakamnya”[11].

﴾ 7 ﴿

As-Syekh as-Sayyid Abdul Rahman ibn Muhammad yang dikenal dengan sebutan Ba ‘Alawi dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin berkata:

(فائدة): رجل مر بمقبرة فقرأ الفاتحة وأهدى ثوابها، فهو يقسم أو يصل لكل منهم مثل ثوابها كاملا؟ أجاب ابن حجر بقوله: أفتى جمع بالثاني وهو اللائق بسعة رحمة الله تعالى". اهـ

“(Faedah): Seseorang yang melewati kuburan lalu membaca al-Fatihah dan menghadiahkan pahalanya untuk ahli kubur, apakah pahalanya dibagi (untuk para ahli kubur) ataukah pahala itu akan sampai kepada masing-masing ahli kubur secara utuh? Ibnu Hajar menjawab: “Sejumlah ulama memfatwakan pendapat yang kedua, dan inilah yang sesuai dengan luasnya rahmat Allah”[12].

﴾ 8 ﴿

As-Syekh Zakariya al-Anshari, dalam kitab Syarh Raudl ath-Thalib, berkata:

(فرع)؛ الإجارة للقراءة على القبر مدة معلومة أو قدرا معلوما جائزة للانتفاع بنزول الرحمة حيث يقرأ القرآن وكالاستئجار للأذان وتعليم القرآن، ويكون الميت كالحي الحاضر سواء أعقب القراءة بالعاء له أو جعل أجر قراءته له أم لا، فتعود منفعة القراءة إلى الميت في ذلك ولأن الدعاء يلحقه وهو بعدها أقرب إجابة وأكثر بركة، ولأنه إذا جعل أجره الحاصل بقراءته للميت فهو دعاء بحصول الأجر له فينتفع به، فقول الشافعي إن القراءة لا تصل إليه محمول على غير ذلك، بل قال السبكي تبعا لابن الرفعة بعد حمله كلامهم على ما إذا توى القارئ أن يكون ثواب قراءته للميت بغير دعاء، على أن الذي دل عليه الخبر أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت وتخفيف ما هو فيه نفعه، إذ ثبت أن الفاتحة لما قصد بها القارئ نفع الملدوغ نفعه، وأقر النبي صلى الله عليه وسلم ذلك بقوله: "وما يدريك أنها رقية"، وإذا نفعت الحي بالقصد كان نفع الميت بها أولى، لأن الميت يقع عنه من العبادات بغير إذنه ما لا يقع من الحي". اهـ

“Cabang: Ijarah (menyewa atau mengupah seseorang) untuk membaca (al-Qur'an) dikuburan selama beberapa waktu yang telah ditentukan, hukumnya adalah boleh, --pada saat itu-- mayit seperti orang hidup, baik bacaan (al-Qur'an) itu diikuti dengan doa untuknya atau dibarengi doa supaya pahala bacaan sampai kepadanya, maupun tidak disertai dengan keduanya. Maka manfaat bacaan itu akan dirasakan oleh mayit. Karena doa itu menyertai bacaan al-Qur'an, maka ia lebih (mungkin) untuk dikabulkan dan lebih banyak berkahnya. Dan karena sesungguhnya apa bila pahala bacaan itu diperuntukan bagi mayit maka itu adalah doa bagi menghasilkan pahal abagi mayit, dengan begitu mayit tersebut mengambil manfaat dengannya. Dengan demikian perkataan asy-Syafi’i yang mengatakan bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayit adalah yang bukan dalam keadaan seperti demikian itu (yaitu membaca al-Qur’an jaun dari kubur yang tanpa dibarengi dengan doa ish-shal). Bahkan as-Subki berkata --mengikuti pendapat Ibn ar-Rif’ah-- (setelah mengutip perkataan para ulama bahwa kemungkinan maksud as-Syafi’i tidak sampai bacaan al-Qur’an bagi mayit adalah yang bacaan yang jaun dari kubur yang tanpa dibarengi dengan doa ish-shal), berkata: “Ibn ar-Rif’ah telah berkata: “Yang ditunjukan hadist melalui jalan istinbath (penggalian hukum) adalah bahwa sebagian ayat al-Qur’an apabila yang dimaksudkan (oleh pembacanya) untuk memberi manfaat kepada mayit dan meringankan siksa yang ada padanya maka manfaat itu akan dirasakan oleh mayit. Karena telah tsabit bahwa al-Fatihah ketika dimaksudkan oleh pembacanya untuk mengobati orang yang terkena sengatan binatang berbisa, dia bisa merasakan manfaatnya. Dan Rasulullah telah mengakui kebolehan itu dengan sabdanya: “Dari mana engkau tahu bahwa al-Fatihah itu adalah jampi (ruqyah; untuk kesembuhan)”. Dengan demikian jika bagi yang hidup saja bacaan al-Fatihah bermanfaat maka terlebih lagi bagi orang yang telah meninggal (mayit). Oleh karena dapat terhasilkan bagi mayit pahala dari beberapa bentuk amal ibadah yang dilakukan oleh orang lain yang masih hidup tanpa harus adanya izin dari mayit itu sendiri”[13].

﴾ 9 ﴿

Al-Imam Syamsuddin al-Ramli dalam kitabnya, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, berkata:

وفي القراءة وجه وهو مذهب الأئمة الثلاثة بوصول ثوابها للميت بمجرد قصده بها، واختاره كثير من أئمتنا، وحمل جمع الأول على قراءته لا بحضرة الميت ولا بنية القارئ ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع، قال ابن الصلاح؛ وينبغي الجزم بنفع اللهم أوصل ثواب ما قرأناه أي مثله في المراد وإن لم يصرح به لفلان لأنه إذا نفعه الدعاء لما ليس للداعي فما له أولى، ويجري هذا في سائر الأعمال". اهـ

“Dalam (masalah) bacaan (al-Qur’an untuk mayit) terdapat pendapat yang merupakan madzhab al-Imam yang tiga, yaitu sampainya pahala bacaan kepada mayit dengan hanya meniatkan (untuk menghadiahkan pahalanya kepada mayit), dan inilah pendapat yang dipilih oleh banyak al-Imam kita. Adapun sejumlah ulama yang menerangkan mengenai pernyataan tidak sampainya pahala bacaan kepada mayit, yang dimaksud mereka adalah jika bacaan itu tidak dilakukan didekat (kuburan) mayit atau tidak disertai niat (menghadiahkan) pahala bacaan kepadanya atau sudah meniatkan hal itu namun tidak berdoa (setelah membaca al-Qur'an). Ibn as-Shalah berkata: “Dan seharusnya dipastikan sampainya pahala bacaan dengan doa: “Ya Allah sampaikanlah pahala apa yang telah kami baca ...” yang dimaksud seperti pahala bacaan yang telah dibaca, dan sekalipun tidak jelaskan “bagi si fulan...”. Karena bila doa itu bermanfaat bagi orang lain yang tidak berdoa; maka doa itu terlebih bermanfaat lagi bagi orang yang berdoa itu sendiri. Dan ini berlaku dalam seluruh bentuk amal-amal saleh”[14].

﴾ 10 ﴿

Al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin as-Subki pernah ditanya tentang membaca al-Qur’an dan dihadiahkan pahala bacaannya bagi mayit, beliau menjawab boleh. Berikut ini redaksi soal yang diajukan kepada beliau beserta jawabannya, sebagaimana tertulis lengkap dalam karya beliau sendiri; Qadla’ al-Arab Fi As-ilah Halab:

(المسألة الخمسون)؛ ما الذي يترجح عند مولانا وسيدنا قاضي القضاة أعز الله الإسلام ببقائه في قراءة القرآن وإهداء الثواب للميت وقد نقل الحناطي عن بعض أصحابنا أن القارئ إن نوى ذلك قبل قراءته لم يقع، وبعده يقع، هكذا قال فهل لهذا التفصيل وجه مرحج أم لا فرق؟

(الجواب)؛ الحمد لله، قد نص الشافعي والأصحاب على أنه يقرأ ما تيسر من القرآن، ويدعو للميت عقيبها، وفيه فائدتان؛ إحداهما أن الدعاء عقب القراءة أقرب إلى الإجابة، والثانية؛ ينال الميت بركة القراءة كالحاضر الحي، ولا أقول إنه يحصل له ثواب مستمع لأن الاستماع عمل والعمل منقطع بالموت.

وفائدة ثالثة ذكرها الرافعي عن عبد الكريم الشالوسي أنه إن نوى القارئ بقراءته أن يكون ثوابها للميت لم يلحقه، ولكن لو قرأ ثم جعل ما حصل من الأجر له فهذا دعاء لحصول ذلك الأجر للميت فينفع الميت واخترته في شرح المنهاج.

(Masalah ke 50); Apakah apendapat yang lebih kuat menurut tuan kami, pemimpin para Qadli (Qadli al-Qudlat), --dengan keberadaannya semoga Allah menambahkan kemuliaan bagi Islam--; tentang bacaan al-Qur’an dan dihadiahkan pahalanya bagi mayit, sementara al-Hanathi telah mengutip dari sebagian sahabat kami (ulama madzhab Syafi’i) bahwa si-pembaca jika ia meniatkan hal tersebut sebelum ia memulai pada bacaannya maka itu tidak sampai, adapun jika diniatkan sesuadahnya dapat sampai, demikian ini yang ia nyatakan, maka apakah rincian pendapat yang lebih benar dalam masalah ini, ataukah memang tidak ada bedanya?

Jawab: al-Hamdu lillah. Asy-Syafi’i dan Ash-hab telah menuliskan bahwa hendaklah seseorang membaca beberapa ayat al-Qur’an, lalu ia bedoa bagi mayit sesudahnya. Dalam hal ini ada dua faedah, pertama; bahwa doa setelah membaca al-Qur’an lebih dekat untuk terkabul, kedua; bahwa mayit mendapatkan berkah dari bacaan al-Qur’an tersebut sebagaimana orang yang hidup. Tapi saya tidak mengatakan bahwa si-mayit mendapat pahala bacaan karena mendengarkan, oleh karena mendengar adalah pekerjaan, sementara pekerjaan (amal ibadah) telah terputus dengan sebab kematian.

Faedah ke tiga; disebutkan oleh ar-Rafi’i dari Abdul Karim asy-Syalusyi; bahwa jika berniat seseorang dengan bacaannya tersebut untuk ia jadikan pahalanya bagi si-mayit maka itu tidak sampai kepadanya. Tetapi seandainya ia membaca lalu ia jadikan apa yang telah ia hasilkan dari pahala bagi si-mayit; ini adalah bentuk doa untuk menghasilkan pahala bagi si-mayit tersebut; maka bila demikian ini bermanfaat bagi mayit, dan ini pendapat yang aku pilih, -seperti- dalam Syarh al-Minhaj”[15].

Masih dalam kitab Qadla al-Arab, al-Hafizh as-Subki berkata:

"(والمسألة الثانية) وهي التي عليها عمل الناس أن يقرأ القارئ ثم يسأل الله تعالى أن يجعل ثواب تلك القراءة للميت فالثواب قد حصل للقارئ، وسؤاله لله تعالى دعء ترتجى إجابته وذلك لا يمنع منه ولا ينبغي أن يكون فيه خلاف".اهـ

“(Masalah ke dua): Pendapat yang atasnya diamalkan oleh banyak orang, bahwa hendaklah seseorang membaca (al-Qur’an), lalu ia memohohn kepada Allah agar menjadikan pahala bacaannya tersebut bagi mayit, maka pembaca telah meraih pahala dari bacaannya, dan permohonannya kepada Allah adalah doa yang sangat diharapkan dikabulkan oleh-Nya. Tentu perkara ini bukan sesuatu yang terlarang. Dan semestinya tidak ada perselisihan di dalamnya”[16].

﴾ 11 ﴿

Al-Imam Ar-Rafi’i dalam kitab Fath al-‘Aziz Syarh al-Wajiz, berkata:

وسئل القاضي أبو الطيب عن ختم القرآن في المقابر، فقال: الثواب للقارئ ويكون الميت كالحاضرين يرجى له الرحمة والبركة فيستحب قراءة القرآن في المقابر لهذا المعنى، وأيضا الدعاء عقيب القراءة أقرب إلى الإجابة، والدعاء ينفع الميت. اهـ

“Al-Qadli Abu at-Thayyib ditanya prihal mengkhatamkan al-Qur'an di kuburan, beliau menjawab: Pahalanya untuk yang membaca, dan mayit seperti orang (hidup) yang berada didekat kita, diharapkan (dia memperoleh) rahmat dan berkah (di saat al-Qur'an dibaca). Maka membaca al-Qur'an di kuburan disunnahkan dalam arti ini. Dan juga doa yang dibaca setelah membaca (al-Qur’an) lebih diharapkan untuk dikabulkan. Doa itu memberikan manfaat kepada mayit”[17].

Pendapat Ulama Madzhab Hanafi

﴾ 1 ﴿

As-Syekh al-Marghinani dalam kitab al-Hidayah Syarh al-Bidayah, berkata:

باب الحج عن الغير؛ الأصل في هذا الباب أن الإنسان له أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة أو صياما أو صدقة أو غيرها عند أهل السنة والجماعة لما روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه ضحى بكبشين أملحين أحدهما عن نفسه والآخر عن أمته ممن أقر بوحدانية الله تعالى وشهد له بالبلاغ، جعل تضحية إحدى الشاتين لأمته. اهـ

Bab tentang menghajikan orang lain: Dasar (ketentuan) dalam bab ini adalah bahwa seseorang boleh menghadiahkan pahala amal-nya untuk orang lain, baik berupa shalat, puasa, sedakah atau yang lainnya menurut Ahlussunnah wal Jamaah, berdasarkan riwayat yang menyatakan bahwa Nabi berkorban dengan dua ekor domba yang berwarna putih campur hitam (Amlah), yang satu untuk diri beliau dan satu lagi untuk umatnya yang telah mengakui keesaan Allah ta'ala dan bersaksi atas kerasulannya. Beliau menjadikan kurban salah satu domba itu untuk umatnya”[18].

﴾ 2 ﴿

Al-‘Allamah Ibn Abidin al-Hanafi dalam risalah Syifa’ al-‘Alil menuliskan:

يجوز أن يجعل ثواب عمله لغيره تبرعا بلا استنابة في غير الحج والاستئجار، قال في الهداية؛ الأصل في هذا الباب أن الإنسان له أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة أو صياما أو صدقة أو غيرها، قال الشارح؛ كتلاوة القرآن والأذكار عند أهل السنة والجماعة، يعني به أصحابنا على الإطلاق لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم ضحى بكبشين أملحين أحدهما عن نفسه والآخر عن أمته ممن أقر بوحدانية الله تعالى وشهد له بالبلاغ، جعل تضحية إحدى الشاتين لأمته أى ثوابها. اهـ

Boleh seseorang untuk menjadikan pahala amal-nya bagi orang lain dengan dasar berderma dengan tanpa adanya permintaan dari orang tersebut, selain pada ibadah haji dan perkara yang diupah (isti’jar). Berkata (al-Marghinani) dalam kitab al-Hidayah: Dasar (ketentuan) dalam bab ini adalah bahwa seseorang boleh menghadiahkan pahala amal-nya untuk orang lain, baik berupa shalat, puasa, sedakah atau yang lainnya. Yang menjelaskan kitab (asy-Syarih) berkata: Seperti bacaan al-Qur’an dan dzkir menurut Ahlussunnah Wal Jama’ah, yang dimaksud oleh para sahabat kami (Ulama Madzhab Hanafi) kebolehan di sini secara mutlak, karena adanya riwayat bahwa Rasulullah berkorban dengan dua ekor domba yang berwarna putih campur hitam (Amlah), yang satu untuk diri beliau dan satu lagi untuk umatnya yang telah mengakui keesaan Allah ta'ala dan bersaksi atas kerasulannya. Beliau menjadikan kurban salah satu domba itu untuk umatnya, artinya pahala dari pahala qurban-nya[19].

Ungkapan serupa juga dinyatakan oleh Ibn Abidin dalam kitab Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘Ala ad-Durr al-Mukhtar[20].Setelah menukil pendapat yang mengatakan bahwa Al-Imam Malik dan Al-ImamSyafi’i mengecualikan pada perkara ibadah badaniyyah (ibadah yang dilakukan secara fisik) seperti shalat dan bacaan al-Qur’an[21], Ibn Abidin menuliskan:

والذي حرره المتأخرون من الشافعية وصول القراءة للميت إذا كانت بحضرته أو دعي له عقبها ولو غائبا، لأن محل القراءة تنزل الرحمة والبركة والدعاء عقبها أرجى للقبول. اهـ

Dan pendapat yang telah ditetapkan oleh ulama Muta’akhirun dari ulama madzhab Syafi’i adalah bahwa pahala bacaan sampai bagi mayit, jika dibacakan didekatnya, atau dengan cara berdoa (mohon disampaikan sebagai hadiah pahala) sesudah membaca walaupun tidak di hadapan mayit. Karena di tempat yang dibacakan al-Qur’an turun rahmat dan berkah, dan bila disertai dengan doa (supaya disampaikan) lebih diharapkan lagi untuk diterima.

﴾ 3 ﴿

Al-‘Allamah az-Zaila’i dalam kitab Tabyin al-Haqaiq Syarh Kanz ad-Daqaiq, menuliskan:

باب الحج عن الغير؛ الأصل في هذا الباب أن الإنسان له أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة أو صياما أو صدقة أو غيرها عند أهل السنة والجماعة صلاة كان أو صوما أو حجا أو صدقة أو تلاوة قرآن أو الأذكار إلى غير ذلك من جميع أنواع البر، ويصل ذلك إلى الميت وينفعه. اهـ

Bab tentang menghajikan orang lain: Dasar (ketentuan) dalam bab ini adalah bahwa seseorang boleh menghadiahkan pahala amal-nya untuk orang lain, baik berupa shalat, puasa, sedakah atau bacaan al-Qur’an atau bacaan dzikir, dan lain sebagainya dari berbagi macam bentuk kebaikan, itu semua sampai kepada mayit dan bermanfaat baginya[22].

Pendapat Ulama Madzhab Maliki

﴾ 1 ﴿

Dalam kitab at-Tadzkirah, al-Imam al-Qurthubi membuat satu bab yang beliau namakan dengan:

باب ما جاء في قراءة القرآن عند القبر حالة الدفن وبعده وأنه يصل إلى الميت ثواب ما يقرأ ويدعى ويستغفر له ويتصدق عليه. اهـ

“Bab; apa yang datang tentang bacaan al-Qur’an di kubur ketika mayit dimakamkan atu sesudahnya, dan bahwa sampai kepada mayit pahala apa yang dibaca, didoakan baginya, dimohonkan ampunan baginya, dan bersedekah atas nama dirinya”[23].

Pada bab ini al-Imam al-Qurthubi menyebutkan hadits tentang ranting basah yang diletakan oleh Rasulullah di atas dua kuburan dengan harapan dapat meringankan siksa dari doa orang yang ada di dalam kubur tersebut. Simak catatan al-Imamal-Qurthubi berikut:

استدل بعض علمائنا على قراءة القرآن على القبر بحديث العسيب الرطب الذي شقه النبي صلى الله عليه وسلم باثنين ثم غرس على هذا واحدا وعلى هذا واحدا ثم قال؛ لعله أن يخفف عنهما ما لم ييبسا، خرجه البخاري ومسلم، وفي مسند أبي داود الطياليسي؛ فوضع على أحدهما نصفا وعلى الآخر نصفا، وقال؛ إنه يهون عليهما ما دام فيهما من بلوتهما شيء. قالوا؛ يستفاد من هذا غرس الأشجار وقراءة القرآن على القبور، وإذا خفف عنهم بالأشجار فكيف بقراءة الرجل المؤمن القرآن؟!". اهـ

Sebagian ulama kita mengambil dalil atas membaca al-Qur’an di atas kubur dengan hadits pepepah basah yang di belah dia bagian oleh Rasulullah, lalu Rasulullah menanamkannya di atas satu kuburan, dan sebagian lainnya di atas kuburan yang lain, kemudian ia bersabda: Semoga diringankan siksa dari keduanya selama pelepah ini belaum kering. Hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim. Dalam redaksi Abi Dawud Musnad at-Thayalisi: “Rasulullah meletakan di atas salah satu dua kuburan tersebut separuh pelepah, dan kuburan lainnya pelepah yang lain, dan ia bersabda: Sesungguhnya diringankan siksa dari keduanya selama pelepah ini masih basah. Mereka (para ulama) berkata: Diambil pelajaran dari hadits ini adanya anjuran menanam pohon dan membaca al-Qur’an di atas kubur. Dan jika siksa ahli kubur bisa diringankan dengan (tasbih) pohon, maka tentunya bacaan al-Qur’an seorang mukmin (lebih bisa meringankan)[24].

Al-Qurthubi melanjutkan:

أصل هذا الباب الصدقة التي لا اختلاف فيهما، فكما يصل للميت ثوابها فكذلك تصل قراءة القرآن والدعاء والاستغفار، إذ كل ذلك صدقة، فإن الصدقة لا تختص بالمال. اهـ

Dasar dari bahasan ini adalah sedakah yang tidak ada perselisihan pendapat (mengenai sampainya pahala shadaqah kepada mayit). Sebagaimana pahala shadaqah sampai kepada mayit, begitu juga bacaan al-Qur'an, doa dan istighfar, semua masuk dalam kategori shadaqah, sebab sedakah tidak hanya khusus dengan harta[25].

﴾ 2 ﴿

Al-‘Allamah Ibn al-Hajj, seorang ulama madzhab Maliki yang terkenal dengan sikap kerasnya (tasyaddud) dalam mengingkari bid’ah mengatakan dalam kitab al-Madkhal Ila Tanmiyah al-A’mal sebagai berikut:

لو قرأ في بيته وأهدى إليه لوصلت، وكيفية وصولها أنه إذا فرغ من تلاوته وهب ثوابها له، أو قال؛ اللهم اجعل ثوابها له فإن ذلك دعاء بالثواب لأن يصل إلى أخيه، والدعاء يصل بلا خلاف. اهـ

“Jika seseorang membaca al-Qur’an dirumahnya lalu menghadiahkannya untuk mayit maka pasti akan sampai. Cara sampainya bacaan kepada mayit adalah apa bila setelah selesai membaca, ia dihadiahkan pahalanya kepada mayit atau berdoa: Ya Allah peruntukanlah pahalanya untuk si mayit. Karena hal ini adalah perbuatan mendoakan agar pahala sampai kepada saudaranya (mayit). Dan doa itu sendiri akan sampai kepada mayit tanpa ada perselisihan pendapat”[26].

﴾ 3 ﴿

As-Syekh Muhammad Illaisy al-Maliki dalam karyanya berjudul Minah al-Jalil Syarh Mukhtashar Khalil, mengatakan:

ابن عرفة قبل عياض استدلال بعض العلماء على استحباب القراءة على القبر بحديث الجريدتين، وقاله الشافعي رضي الله تعالى عنه. ابن رشد في نوازله ضابطه إن قرأ الرجل ووهب ثواب قراءته لميت جاز ذلك وحصل للميت أجره إن شاء الله تعالى، وبالله التوفيق. اهـ

Ibn ‘Arafah berkata: al-Qadli ‘Iyadl setuju dengan istidlal (pengambilan dalil) yang dilakukan sebagian ulama atas hukum kesunnahan membaca al-Qur’an di kuburan dari hadits tentang dua ranting, hal ini juga dinyatakan oleh asy-Syafi'i”. Ibn Rusyd dalam Nawazilnya berkata: "Ketentuannya adalah apabila seseorang membaca al-Qur'an lalu menghadiahkan pahala bacaannya kepada mayit, hal ini hukumnya adalah boleh dan si mayit akan memperoleh pahalanya Insya Allah, dan hanya dengan Allah adanya taufiq[27].

﴾ 4 ﴿

Hal yang sama juga dikatakan oleh as-Syekh Ahmad ad-Dardir dalam Syarh Mukhtashar Khalil yang terkenal dengan sebutan as-Syarh al-Kabir, mengatakan:

المتأخرون على أنه لا بأس بقراءة القرآن والذكر وجعل ثوابه للميت ويحصل له الأجر إن شاء الله، وهو مذهب الصالحين من أهل الكشف. اهـ

Ulama Muta’akhirun berpendapat bahwa tidak mengapa membaca al-Qur’an dan dzkir yang dijadikan pahalanya bagi mayit, akan terhasilkan pahala baginya in sya Allah, dan itulah madzhab orang-orang saleh dari orang-orang yang memiliki kasyaf (Ahlul Kasyf)[28].

﴾ 5 ﴿

As-Syekha al-‘Allamah ad-Dusuqi dalam Hasyiah ad-Dusuqi 'Ala as-Syarh al-Kabir Li ad-Dardir, menuliskan sebagai berikut:

قال ابن هلا في نوازله؛ الذي أفتى به ابن رشد وذهب إليه غير واحد من أئمتنا الأندلسيين أن الميت ينتفع بقراءة القرآن الكريم ويصل إليه نفعه ويحصل له أجره إذا وهب القارئ ثوابه له، وبه جرى عمل المسلمين شرقا وغربا ووقفوا على ذلك أوقافا واستمر عليه الأمر منذ أزمنة سالفة. اهـ

Ibn Hilal berkata dalam kitab an-Nawazil: Yang difatwakan oleh Ibn Rusyd dan pendapat yang diambil oleh tidak hanya satu orang dari para al-Imam kita dari Andalusia bahwa mayit mengambil manfaat dengan bacaan al-Qur’an, dan manfaatnya sampai kepadanya, terhasilkan baginya pahala; jika orang yang membaca menghadiahkan pahalanya baginya. Dan di atas inilah perbuatan umat Islam sejak dahulu, di timur dan di barat, dan mereka membuat wakaf untuk tujuan demikian dengan banyak wakaf, dan di atas perbuatan inilah terus berlanjut dari zaman-zaman terdahulu[29].

﴾ 6 ﴿

Dan berikut ini adalah catatan dari ahli hadits terkemuka daratan Maroko (Muhaddits ad-Diyar al-Maghribiyyah), as-Syekh Abdullah al-Ghumari, dalam risalah yang beliau tulis dengan judul Taudlih al-Bayan Li Wushul Tsawab al-Qur’an. Beliau menuliskan sebagai berikut:

فهذا بحث محرر مفيد بينت فيه وصول ثواب القرآن للميت إذا أهداه القارئ بلفظه أو نيته، بعد أن استعرضت الأقوال وأدلتها، وأجبت عن أدلة المانعين للوصول بما يفيد ضعف ما ذهبوا إليه. اهـ

Maka ini adalah bahasan (catatan) yang telah diteliti dan berfaedah, aku jelaskan di dalamnya tentang sampainya pahala bacaan al-Qur’an bagi mayit jika dihadiahkan baginya oleh orang yang membacanya; baik diucapkan dengan lafazhnya atau hanya diniatkan (dalam hatinya) untuk itu, setelah aku jelaskan panjang lebar berbagai pendapat dengan dalil-dalinya, serta telah aku jawab argumen-argumen pendapat yang menolaknya dengan kesimpulan bahwa pendapat mereka adalah pendapat yang lemah[30].

Pendapat Ulama Madzhab Hanbali

﴾ 1 ﴿

Al-Imam Madzhab Hanbali, yaitu Ahmad ibn Hanbal menetapkan kebolehan membaca al-Qur’an di kubur dan bahwa mayit mengambil manfaat dari bacaan tersebut. Al-Qurthubi dalam at-Tadzkirah Fi Ahwal al-Mauta Wa Umur al-Akhirah meriwayatkan dari al-Khallal, bahwa ia meriwayatkan dalam al-Jami’dari Ali bin Musa al-Haddad, bahwa ia berkata:

كنت مع الإمام أحمد بن حنبل رحمه الله تعالى في جنازة ومحمد بن قدامة الجوهري فلما دفن الميت جاء رجل ضرير يقرأ عند القبر فقال له أحمد: يا هذا إن القراءة عند القبر بدعة، فلما خرجت من المقابر قال محمد بن قدامة لأحمد: يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر بن إسماعيل الحلبي، قال: ثقة قال: هل كتبت عنه شيئًا، قال: نعم، قال: أخبرني مبش بن إسماعيل عن عبد الرحمن بن العلاء بن اللجلاج عن أبيه أنه أوصى إذا دفن أن يقرأ عند رأسه فاتحة البقرة وخاتمتها، وقال: سمعت ابن عمر رضي الله عنه يوصي بذلك، فقال له أحمد: فارجع إلى الرجل فقل له يقرأ.

Adalah aku (Ali ibn Musa al-Haddad), Ahmad ibn Hanbal (pendiri madzhab Hanbali) dan Muhammad ibn Quddamah al-Jauhari -mengiringi- satu jenazah. Ketika mayit sudah dimakamkan, seorang yang buta duduk untuk membaca al-Qur’an di kuburannnya. Al-Imam Ahmad menegurnya: “Hai, membaca al-Qur’an di kubur adalah bid’ah”. Ketika aku keluar dari areal kuburan, Muhammad ibn Qudamah berkata kepada Ahmad bin Hanbal: “Wahai Abu ‘Abdillah (sebutan untuk Al-Imam Ahmad) apa pendapatmu tentang orang bernama Mubasy-syir al-Halabi?”. Ahmad menjawab: “Tsiqah (orang dipercaya)”. Muhammad bertanya lagi: “Apakah engkau pernah menulis sesuatu darinya?”. Ahmad berkata: “Iya”. Muhammad ibn Qudamah berkata: “Aku diberitahu oleh Mubasyir, dari ‘Abdur Rahman ibn al-‘Ala’ ibn al-Lajlaj dari ayahnya (al-‘Ala’ bin al-Lajlaj) bahwa dia berwasiat apa bila telah dikuburkan untuk dibacakan di dekat kepalanya ayat-ayat permulaan surat al-Baqarah dan ayat-ayat akhirnya. Al-‘Ala berkata: “Aku mendengar bahwa Ibn Umar juga berwasiat dengan hal yang sama”. Maka kemudian Ahmad berkata kepada Muhammad ibn Qudamah: “Kembalilah ke kuburan dan katakanlah kepada orang buta itu silahkan untuk membaca al-Qur’an[31].

﴾ 2 ﴿

Dalam kitab al-Maqashid al-Arsyad fi Dzikr Ashhab al-Imam Ahmad karya Ibrahim bin Muflih al-Hanbali, disebutkan:

قال محمد بن أحمد المروروذي أحد تلاميذ الإمام أحمد؛ سمعت أحمد بن حنبل رحمه الله يقول: إذا دخلتم المقابر فاقرءوا آية الكرسي وقل هو الله أحد ثلاث مرات، ثم قولوا؛ اللهم اجعل فضله لأهل المقابر. اهـ

Salah seorang murid al-Imam Ahmad (Muhammad ibn Ahmad al-Marwarrudzi) mengatakan: Aku mendengar al-Imam Ahmad berkata: Jika kalian masuk makam maka bacalah ayat kursi dan surat al-Ikhlash tiga kali, kemudian bacalah doa: ya Allah, peruntukanlah fadlilah bacaan tersebut untuk para ahli kubur[32].

﴾ 3 ﴿

Al-Mardawi dalam kitabnya al-Inshaf fi Ma'rifat ar-Rajih min al-Khilaf, menuliskan sebagai beikut:

Ibnu Tamim mengatakan: Membaca al-Qur'an di kuburan tidaklah makruh (hukumnya), bahkan hal itu disunnahkan…”[33].

Lihat juga Syarh Muntaha al-Iradah, juz 1, hlm. 361-362, dan Kasyaf al-Qina’ ‘An Matn al-Iqna’,j 2, hlm. 147, keduanya karangan al-Buhuti, seorang ulama madzhab Hanbali yang sangat terkenal.

Bersambung...

---Catatan Kaki---

[1] Al-Aini, Umdah al-Qari Syarh Shohih al-Bukhari jilid II, juz II, hlm. 118

[2] Al-Baghawi, Syarh as-Sunnah, j. 1, h. 372

[3]  An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim juz III, hlm 202

[4] An-Nawawi, al-Adzkar, h. 173.

[5]An-Nawawi, Riyadl as-Shalihin, bab doa bagi mayit setelah dikuburkan, h. 290

[6] An-Nawawi, al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab, juz V, hlm. 311)

[7]As-Suyuthi, Syarh ash-Shudur Bi Syarh al-Mauta Wa al-Qubur, h. 310

[8]As-Suyuthi, Syarh ash-Shudur ... , h. 310

[9] As-Suyuthi, Syarh ash-Shudur ... , h. 310. Perkataan as-Suyuthi ini juga dikuttip oleh Murtadla az-Zabidi, Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, juz X, h. 370.

[10]Dikutip oleh al-Hafizh Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah, juz 10, hlm. 370, mengutip perkataan Ibn al-Qaththan, salah seorang guru al-Hafizhibn Hajar al-'Asqalani.

[11]Catatan Ibn al-Qath-than ini dikutip oleh al-Hafizh az-Zabidi,  Ithaf as-Sadah al-Muttaqin juz X, h. 369

[12] ‘Abdur Rahman ibn Muhammad yang terkenal dengan sebutan Ba ‘Alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, hlm. 97

[13]Zakariya al-Anshari, Syarh Raudl ath-Thalib, Juz II, h. 412

[14]Al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, juz 6, h. 93

[15]As-Subki, Qadla’ al-Arab Fi As-ilah Halab, h. 452

[16]As-Subki, Qadla’ al-Arab ..., h. 452

[17]Ar-Rafi'i, Fath al-'Aziz Syarh al-Wajiz, juz 5, h. 249

[18] Al-Marghinani, al-Hidayah Syarh al-Bidayah, j. 1, h. 183

[19] Ibn Abidin al-Hanafi, Syifa’ al-‘Alil dalam Majmu’ah Rasa-il Ibn Abidin, j. 1, h. 165.

[20] Ibn Abidin, Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘Ala ad-Durr al-Mukhtar yang terkenal dengan sebutanHasyiah Ibn ‘Abidin, j. 1, h. 243.

[21] Yang dimaksud oleh Al-Imam Syafi’i tidak sampai adalah jika al-Qur’an dibacakan tidak di hadapan mayit, atau dibacakan dari jauh yang tanpa disertai dengan doa ish-al, seperti yang kita jelaskan dalam buku ini.

[22] Az-Zaila’i, Tabyin al-Haqa-iq Syarh Kanz ad-Daqa-iq, j. 2, h. 83

[23] Al-Qurthubi, at-Tadzkirah Fi Ahwal al-Mauta, h. 84

[24] Al-Qurthubi, at-Tadzkirah Fi Ahwal al-Mauta, h. 84

[25] Al-Qurthubi, at-Tadzkirah Fi Ahwal al-Mauta, h. 84

[26] Ibn al-Hajj, al-Madkhal Ila Tanmiyah al-A'mal Bi Tahsin an-Niyah, j. 1, h. 266

[27] Muhammad Illaisy al-Maliki, Minah al-Jalil Syarh Mukhtashar Khalil, j. 1, h. 509

[28] Ad-Dardir, asy-Syarh al-Kabir, j. 1, h. 423

[29]  Ad-Dusuqi, Hasyiyah ad-Dusuqi ‘Ala asy-Syarh al-Kabir Li ad-Dardir, j. 1, h. 423

[30] Abdullah al-Ghumari, Taudlih al-Bayan (Dicetak dengan risalah Itqan as-Shun’ah), h. 100

[31] Dituturkan oleh al-Qurthubi dalam at-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta wa Umur al-Akhirah, h. 83. Lihat juga al-Hafizh Ibn Hajar dalam Takhrij al-Adzkar,sebagaimana telah disebutkan oleh ibn Allan as-Shiddiqi dan al-Futuhat ar-Rabbaniyyah ‘Ala al-Adzkar an-Nawawiyyah, j. 3, h. 193. Lihat juga Ibn Qudamah al-Hanbali dalam al-Mughni, j. 2, h. 424.

[32] Ibrahim ibn Muflih al-Hanbali, al-Maqashid al-Arsyad fi Dzikr Ashhab al-Imam Ahmad, j. 2, h. 338-339

[33]  Al-Mardawi, al-Inshaf fi Ma'rifat ar-Rajih min al-Khilaf, j 2, h. 558

Posting Komentar untuk "Pernyataan Ulama Empat Madzhab Tentang Hadiah Pahala Amal Shalih"