Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit Dengan Doa Is-shal

 Bagian 5 (SELESAI) | Ayo Tahlil !!! Mengungkap Dalil-dalil Sampainya Hadiah Pahala Amal Saleh Bagi Mayit

Pembelian Buku Ini Hubungi 085728151032

Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit Dengan Doa Is-shal

Menurut al-Imam Abu Hanifah, al-ImamMalik dan al-Imam Ahmad Ibn Hanbal serta mayoritas para ulama salaf, bahwa bacaan al-Qur’an dengan cara bagaimanapun, pahalanya akan sampai ke mayit. Lihat penjelasan ini dalam kitab Syarh ash-Shudur Bi Syarh Hal al-Mauta Wa al-Qubur, karya Al-Imam al-Hafizh as-Suyuthi[1].

Adapun yang sering dikatakan sebagian orang bahwa al-Imam asy-Syafi'i mengatakan bacaan al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayit, maka yang dimaksud oleh beliau adalah jika bacaan tersebut tidak disertai dengan doa i-shal (doa agar disampaikan pahala bacaan kepada mayyit), atau apa bila bacaan tersebut tidak dilakukan di kuburan mayit. Karena al-Imam asy-Syafi'i sendiri menyetujui kedua hal ini (membaca al-Qur’an dengan diakhiri doa i-shal dan membaca al-Qur’an di atas kuburan mayit)[2]. Lihat penjelasan ini lebih luas dalam kitab Izh-Har al-‘Akidah as-Sunniyyah, karya Al-Muhaddits asy-Syekh ‘Abdullah al-Harari.

Doa Ii-shal adalah, misalnya dengan mengucapkan: “Allahumma Aushil Tsawaba Ma Qara’tu Ila Fulan...”, artinya: “Ya Allah sampaikanlah pahala bacaanku ini kepada si Fulan...”.

Al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab Syarh ash-Shudur, mengutip perkataan az-Za'farani, bahwa ia (az-Za’farani) berkata: “Aku bertanya kepada asy-Syafi'i tentang membaca al-Qur’an di kuburan, beliau menjawab: “Boleh dan tidak mengapa”[3].

Hal ini juga dijelaskan oleh para penerus madzhab Syafi’i seperti al-Imamal-Khaththabi, al-Imam al-Baghawi, al-Imam an-Nawawi, al-ImamIbn Rif'ah, al-Imam Taqiyyuddin as-Subki, dan lain-lain.

Al-Imam an-Nawawi dalam kitab Riyadl as-Shalihin menuliskan sebagai berikut:

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ: وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَهُ شَىْءٌ مِنَ القُرْءَانِ، وَإِنْ خَتَمُوْا القُرْءَانَ عِنْدَهُ كَانَ حَسَنًا.

“Asy-Syafi'i berkata: Disunnahkan dibaca di kuburan mayit ayat-ayat al-Qur’an, dan jika dibacakan al-Qur’an hingga khatam itu sangat baik”[4].

Dalam kitab Syarh al-Muhadzdzab, al-Imaman-Nawawi mengatakan, dan hal ini disetujui oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam Syarh ash-Shudur, sebagai berikut:

يُسْتَحَبُّ لِزَائِرِ القُبُوْرِ أَنْ يَقْرَأَ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ، وَيَدْعُوْ لَهُمْ عَقِبَهَا، نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ، وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ الأَصْحَابُ.

“Disunnahkan bagi orang yang berziarah kubur untuk membacakan beberapa ayat al-Qur’an dan berdoa untuk ahli kubur setelahnya. Ini ditegaskan langsung oleh Al-Imam Syafi'i dan disepakati oleh semua Ashab asy-Syafi'i”[5].

Al-Imam Ibn ar-Rif'ah dan al-ImamTaqiyyuddin as-Subki berkata: “Maksud asy-Syafi’i dan lainnya bahwa bacaan al-Qur’an tidak akan sampai pahalanya kepada mayit adalah bila pembaca meniatkan pahala bacaannya tersebut untuk mayit namun dia tidak membaringinya dengan doa i-shal”. Lihat pernyataan Ibn ar-Rif’ah ini dalam kitab Syarh Raudl ath-Thalib[6], karya asy-Syaikh Zakariyya al-Anshari. Lihat pula dalam kitab Nihayah al-Muhtaj[7], karya al-Imam ar-Ramli. Juga lihat dalam kitab Qadla’ al-Arab Fi As-ilah Halab karya al-Imam Taqiyyuddin as-Subki.

Al-Imam Ahmad ibn Hanbal memang pernah mengingkari orang yang membaca al-Qur’an di atas kuburan, namun kemudian salah seorang sahabatnya (salah seorang murid dekat) menyampaikan kepadanya sebuah atsar dari sebagian sahabat Rasulullah, yaitu dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar bahwa boleh membaca al-Qur’an di atas kubur. Dari sini kemudian al-Imam Ahmad ibn Hanbal rujuk dari pendapatnya tersebut, dan kemudian beliau membolehkannya. Demikian keterangan ini dijelaskan oleh para ulama pengikut madzhab Hanbali sendiri, seperti Ibn Qudamah al-Hanbali dalam kitab al-Mughni[8],dan al-Buhuti al-Hanbali dalam kitab Kasysyaf al-Qina’[9]

Salah seorang ulama Madzhab Hanbali, asy-Syaikh asy-Syaththi al-Hanbali dalam komentarnya atas kitab Ghayah al-Muntaha, hlm. 260 mengatakan: “Dalam al-Furu’ dan Tash-hih al-Furu’ dinyatakan: Tidak dimakruhkan membaca al-Qur’an di atas kuburan dan di areal pekuburan. Inilah pendapat yang ditegaskan oleh Al-Imam Ahmad, dan inilah pendapat madzhab Hanbali. Kemudian ada sebagian menyatakan hal itu mubah, dan sebagian lain mengatakan mustahabb (sunnah). Demikian juga disebutkan dalam al-Iqna’”.

Dengan demikian masalah ini dapat dibagi menjadi tiga permasalahan:

1. Membaca al-Qur’an untuk mayit di dekat kuburan mayit itu sendiri. Ini disepakati oleh para ulama bahwa pahalanya akan sampai kepada mayit dan mayit mengambil manfaat dari bacaan al-Qur’an tersebut.

2. Membaca al-Qur’an untuk mayit jauh dari kuburnya, seperti di rumah, di masjid, di mushalla atau di mana-pun, lalu diakhiri dengan doa Ii-shal (doa agar disampaikan pahala bacaan kepada mayyit), maka ini disepakati juga akan sampai pahalanya kepada mayit.

3. Membaca al-Qur’an untuk mayit jauh dari kuburnya dan tidak ditutup dengan doa Ii-shal, masalah ini diperselisihkan oleh para ulama. Menurut tiga al-Imam; al-Imam Abu Hanifah, al-Imam Malik dan al-ImamAhmad ibn Hanbal serta mayoritas para ulama Salaf, pahalanya akan sampai ke mayit, meskipun hanya dengan diniatkan sebelum atau sesudahnya, dan tidak dilafazhkan dengan doa Ii-shaltersebut. Sedangkan menurut al-Imam asy-Syafi'i bacaan al-Qur’an dengan cara seperti ini tidak akan sampai pahalanya kepada mayit.

Faedah Penting:

Perbedaan pendapat antara al-Imam asy-Syafi’i dan Imam yang lain adalah dalam masalah ke tiga saja, bukan tentang bacaan al-Qur’an untuk mayit secara umum. Kemudian yang perlu dipahami bahwa perbedaan ini bukan dari sisi boleh atau tidaknya, tetapi dari sisi apakah sampai pahalanya kepada mayit atau tidak. Dan itupun terjadi dalam masalah ke tiga yang telah kita sebutkan di atas.

Dengan demikian orang yang mengklaim bahwa al-Imam asy-Syafi'i mengharamkan membaca al-Qur’an untuk mayit secara mutlak dan mengatakan bahwa pahalanya tidak akan sampai kepada mayit, ini adalah pendapat orang yang tidak memiliki tahqiqdan tidak mengetahui secara baik terhadap nash-nash al-Imamasy-Syafi’i, baik nash-nash yang ada dalam karya-karyanya sendiri, atau yang diriwayatkan dan berkembang di kalangan Ashhab asy-Syafi'i. Apakah mereka yang mengharamkan membaca al-Qur’an untuk mayit dan tidak mau bermadzhab ini merasa lebih mengetahui tentang pendapat-pendapat al-Imamasy-Syafi'i dari pada para pengikut setia madzhab Syafi'i itu sendiri?! Tentu tidak.

Dengan demikian dalil-dalil yang telah kita sebutkan di atas dipahami oleh al-Imam Abu Hanifah, al-Imam Malik dan al-Imam Ahmad ibn Hanbal serta mayoritas para ulama Salaf, bahwa bacaan al-Qur’an dengan cara bagaimanapun, pahalanya akan sampai ke mayit; baik dibaca di dekat kuburan atau jauh dari kuburan, diikuti dengan doa Ii-shal atau hanya diniatkan saja, dari semua itu pahalanya sampai kepada mayit. Asy-Syekh Mar’i al-Hanbali, salah seorang ulama Madzhab Hanbali ternama, dalam kitabnya dalam fikih madzhab Hanbali berjudul Ghayah al-Muntahamenuliskan sebagai berikut:

وَتُسْتَحَبُّ قِرَاءَةٌ بِمَقْبَرَةٍ، وَكُلُّ قُرْبَةٍ فَعَلَهَا مُسْلِمٌ وَجَعَلَ بِالنِّـيَّةِ -فَلاَ اعْتِبَارَ بِاللَّفْظِ- ثَوَابَهَا أَوْ بَعْضَهُ لِمُسْلِمٍ حَيٍّ أَوْ مَيِّتٍ جَازَ وَيَنْفَعُهُ ذَلِكَ بِحُصُوْلِ الثَّوَابِ لَهُ.

“Disunnahkan membaca al-Qur’an di kuburan. Dan setiap ketaatan yang dilakukan oleh seorang muslim dan ia jadikan pahalanya -dengan meniatkan hal itu, jadi tidak perlu mengucapkannya dengan lisan- semuanya atau sebagian untuk sesama muslim yang masih hidup atau telah meninggal, hukumnya adalah boleh dan bermanfaat bagi orang yang dihadiahi tersebut sehingga ia memperoleh pahala”[10].

Pendapat Ahli Bid’ah Dan Bantahannya

Sebagian ahli bid’ah mengatakan tidak akan sampai pahala sesuatu apapun kepada si mayit dari orang lain yang masih hidup, baik doa ataupun yang lainnya. -Perkataan mereka ini bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’-. Seringkali mereka berdalil dengan firman Allah:

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (النجم: 39)

Dan bahwasanya seorang manusia tiada memiliki selain apa yang telah diusahakannya. (QS. an-Najm: 39)

Penafsiran mereka terhadap ayat ini adalah penafsiran yang tidak tepat. Karena maksud ayat ini bukan untuk menjelaskan bahwa seseorang tidak mendapatkan manfaat dari apa yang dikerjakan oleh orang lain, seperti sedekah dan haji yang diperuntukan bagi orang yang telah meninggal. Tapi yang dimaksud ayat ini ialah menafikan kepemilikan terhadap amal orang lain. Artinya, amal seseorang adalah milik dia yang mengerjakankannya, bukan milik orang lain yang tidak mengerjakannya.

Adapun bila seseorang berkehendak memberikan pahala amalnya kepada orang lain, maka itu bukan suatu masalah. Demikian pula jika ia berkehendak memilikinya hanya untuk dirinya sendiri saja, juga terserah. Karena itu dalam ayat QS. an-Najm: 39 di atas Allah tidak mengatakan: “Tidak bermanfaat bagi seseorang kecuali amalnya sendiri”. Tetapi yang dimaksud adalah “Tidak ada kepemilikan bagi seseorang kecuali dari amalnya sendiri”. Lihat penjelasan semacam ini dalam kitab Syarah ash-Shudur, karya al-Imam al-Hafizh as-Suyuthi[11].

Dalam al-Qur’an secara tegas Allah menyatakan bahwa doa seseorang jika diperuntukan bagi orang lain maka doa tersebut bermanfaat baginya. Baik diperuntukan terhadap yang masih hidup atau bagi yang sudah meninggal. Allah berfirman:

وَالَّذِينَ  جَاءُوا  مِنْ  بَعْدِهِمْ  يَقُولُونَ  رَبَّنَا  اغْفِرْ  لَنَا  وَلِإِخْوَانِنَا  الَّذِينَ  سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ  (الحشر: 10)

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah bagi kami dan bagi saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami”. (QS. al-Hasyr: 10)

Juga dalam banyak hadits yang sangat masyhur disebutkan bahwa Rasulullah sering mendoakan ahli kubur. Seperti doa beliau ketika beliau berziarah ke pemakaman al-Baqi’ di Madinah:

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لأَهْلِ بَقِيْعِ الغَرْقَدِ (رواه مسلم)

“Ya Allah, ampunilah ahli kubur Baqi’ al-Gharqad”. (HR. Muslim)

Dalam riwayat hadits lain, Rasulullah berdoa:

اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا (رواه الترمذيّ والنسائيّ وأبو داود)

“Ya Allah, ampunilah orang yang masih hidup di antara kami dan orang yang telah meninggal di antara kami”. (HR. at-Turmudzi, an-Nasa-i dan Abu Dawud)

Mereka yang menafikan secara mutlak tentang permasalahan ini adalah golongan Mu’tazilah. Pendapat kaum Mu’tazilah ini telah menyalahi Ijma’ ulama Salaf, karena para ulama salaf telah sepakat dalam membolehkan masalah ini. Salah seorang ulama Salaf terkemuka, al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (W 321 H) dalam risalah akidah Ahlussunnah yang juga dikenal dengan nama Risalah al-‘Akidah ath-Thahawiyyah, menyebutkan secara tegas:

وَفِيْ دُعَاءِ الأَحْيَاءِ وَصَدَقَاتِهِمْ مَنْفَعَةٌ لِلأَمْوَاتِ

“Dalam doa dan sedekah orang yang masih hidup terdapat manfaat bagi orang-orang yang sudah meninggal”.

Kerancuan Kalangan Yang Mengharamkan Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit

1. Kalangan yang mengharamkan membaca al-Qur’an untuk mayit biasa berkata: “Bukankah Rasulullah dalam hadits riwayat Ibn Hibban dan lainnya telah bersabda:

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ (رواه ابن حبّان)

Ini artinya jika seseorang meninggal tidak ada yang akan bermanfaat baginya kecuali tiga hal yang disebutkan dalam hadits ini. Yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfa’at, dan anaknya yang saleh yang mendoakannya. Oleh karena bacaan al-Qur’an oleh orang lain untuk mayit tidak termasuk dalam kategori tiga perkara ini, maka berarti tidak akan bermanfaat bagi mayit”.

Jawab:

Makna hadits tersebut adalah bahwa orang yang telah meninggal dunia maka amalnya terhenti, artinya dia tidak bisa beramal lagi. Ia tidak bisa lagi melakukan ‘Amal Taklifi yang dapat menghasilkan pahala untuknya, kecuali tiga amal tersebut. Tiga amal tersebut akan terus menghasilkan dan mengalirkan pahala untuknya meskipun ia telah meninggal, karena ketika ia masih hidup dia-lah yang menjadi penyebab bagi tiga amal tersebut.

Hadits ini sama sekali tidak menafikan bahwa orang lain yang masih hidup dapat melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk mayit. Bukankah doa bukan amal si mayit, tetapi ia memberikan manfaat baginya?! --Dalam hal ini, doa dari anak saleh bagi orang tuanya seperti dalam hadits di atas, bukankah doa tersebut bukan amal orang tuanya?!--. Bukankah istighfar seorang anak bukan amal mayit, tetapi bermanfaat untuk mayit?! Bukankah sedekah seorang anak untuk mayit bukan amal mayit, tetapi bermanfaat untuk mayit?! Maka demikian pula dengan bacaan al-Qur’an untuk mayit, hal itu bermanfaat untuknya, dan akan sampai pahalanya kepadanya, meskipun bacaan al-Qur’an tersebut bukan amalnya sendiri, sesuai dengan dalil-dalil yang telah kita kemukakan.

Seandainya bacaan al-Qur’an itu sia-sia dan tidak bermanfaat untuk mayit, niscaya Rasulullah tidak akan memerintahkan kita untuk melakukan shalat Jenazah, karena shalat Jenazah bukan amal mayit. Kenapa Rasulullah memerintahkan kita untuk shalat Jenazah? Karena shalat Jenazah bermanfaat untuk mayit, meskipun shalat tersebut bukan amal si mayit sendiri. Kemudian dalam shalat jenazah kita membaca surat al-Fatihah, salah satu surat dalam al-Qur’an, ini berarti bacaan al-Qur’an bermanfaat untuk mayit, surat apapun yang dibaca, untuk mayit siapapun dan dibacakan oleh siapapun.

2. Kalangan yang mengharamkan membaca al-Qur’an untuk mayit ketika menyebutkan adab ziarah kubur seringkali mereka berkata:

عَدَمُ قِرَاءَةِ شَىْءٍ مِنَ الْقُرْءَانِ وَلَوْ الفَاتِحَةَ. قَالَ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ: (لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِيْ تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَالْحَدِيْثُ يُشِيْرُ إِلَى أَنَّ الْمَقَابِرَ لَيْسَتْ مَحَلاًّ لِلْقُرْءَانِ بِعَكْسِ الْبُـيُوْتِ، وَلَمْ يَثْبُتْ عَنِ الرَّسُوْلِ قَالَ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ وَصَحَابَتِهِ أَنَّهُمْ قَرَأُوْا الْقُرْءَانَ لِلأَمْوَاتِ.

“Tidak boleh membaca al-Qur’an sedikit-pun meskipun hanya surat al-Fatihah. Rasulullah bersabda -maknanya-: “Janganlah kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan, karena setan akan lari dari rumah yang dibacakan surat al-Baqarah di dalamnya”. (HR.Muslim). Hadits ini mengisyaratkan bahwa kuburan bukan tempat untuk membaca al-Qur’an berbeda dengan rumah. Dan tidak ada riwayat yang Shahih yang menjelaskan bahwa Rasulullah atau para sahabatnya membaca al-Qur’an untuk mayit”.

Ungkapan yang kita tulis ini adalah dari tulisan salah seorang pemuka kaum Wahhabiyyah, bernama Muhammad ibn Jamil Zainu. Ia menuliskannya dalam buku yang ia namakan dengan “al-‘Akidah al-Islamiyyah Min al-Kitab Wa as-Sunnah ash-Shahihah”[12].

Jawab:

Inilah pemahaman yang didasarkan kepada hawa nafsu, pemahaman yang sangat dibuat-buat. Dari segi mana dia memahami sabda Rasulullah: “La Taj’alu Buyutakum Maqabir…”, memberikan pemahaman larangan membaca al-Qur’an di kuburan?! Hadits ini sama sekali bukan bermakna demikian. Tapi makna yang dimaksud oleh hadits ini ialah, “Jangan kalian kosongkan rumah dari bacaan al-Qur’an seperti halnya mayit yang berada di kuburnya tidak membaca al-Qur’an”. Hadits ini sama sekali tidak berbicara tentang orang yang masih hidup yang membacakan al-Qur’an untuk mayit di kuburnya.

Hadits riwayat Al-Imam Muslim di atas pemaknaannya mirip dengan hadits yang lain riwayat Al-Imam al-Bukhari, bahwa Rasulullah bersabda:

اِجْعَلُوْا مِنْ صَلاَتِكُمْ فِيْ بُيُوْتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوْهَا قُبُوْرًا (رواه البخاريّ)

“Jadikanlah sebagian dari shalat kalian di rumah-rumah kalian, dan jangan jadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan”. (HR. al-Bukhari)

Mari kita ikuti bagaimana para ulama menjelaskan hadits ini. Al-Muhaddits asy-Syekh as-Sayyid ‘Abdullah al-Ghumari dalam kitabnya kitab Itqan ash-Shan'ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, hlm. 79-80, menuliskan sebagai berikut:

وَقَالَ الْبُخَارِيُّ: بَابُ كَرَاهِيَةِ الصَّلاَةِ فِيْ الْمَقَابِرِ، وَرَوَى فِيْهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ قَالَ: "اِجْعَلُوْا مِنْ صَلاَتِكُمْ فِيْ بُيُوْتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوْهَا قُبُوْرًا". قَالَ الْحَافِظُ: "اُسْتُـنْبِطَ مِنْ قَوْلِهِ: (وَلاَ تَتَّخِذُوْهَا قُبُوْرًا) إِنَّ الْقُبُوْرَ لَيْسَتْ مَحَلاًّ لِلْعِبَادَةِ، فَتَكُوْنُ الصَّلاَةُ فِيْهَا مَكْرُوْهَةً". وَهذَا الاِسْتِنْبَاطُ غَيْرُ ظَاهِرٍ، وَإِنْ كَانَ اللَّفْظُ يَحْتَمِلُهُ، بَلْ غَيْرُهُ أَوْلَى لِتَبَادُرِهِ إِلَى الذِّهْنِ. قَالَ ابْنُ التِّيْنِ: تَأَوَّلَهُ الْبُخَارِيُّ عَلَى كَرَاهَةِ الصَّلاَةِ فِيْ الْمَقْبَرَةِ، وَتَأَوَّلَهُ جَمَاعَةٌ عَلَى أَنَّهُ إِنَّمَا فِيْهِ النَّدْبُ إِلَى الصَّلاَةِ فِيْ الْبُيُوْتِ لأَنَّ الْمَوْتَى لاَ يُصَلُّوْنَ، كَأَنَّهُ قَالَ: لاَ تَكُوْنُوْا كَالْمَوْتَى الَّذِيْنَ لاَ يُصَلُّوْنَ فِيْ بُيُوْتِهِمْ وَهِيَ الْقُبُوْرُ. وَقَالَ ابْنُ قُرْقُوْل فِيْ الْمَطَالِعِ وَتَبِعَهُ ابْنُ الأَثِيْرِ فِيْ النِّهَايَةِ: إِنَّ تَأْوِيْلَ البُخَارِيِّ مَرْجُوْحٌ، وَالأَوْلَى قَوْلُ مَنْ قَالَ: مَعْنَاهُ أَنَّ الْمَيِّتَ لاَ يُصَلِّيْ فِيْ قَبْرِهِ. وَقَالَ الْخَطَّابِيُّ: يَحْتَمِلُ أَنَّ الْمُرَادَ لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ لِلنَّوْمِ فَقَطْ لاَ تُصَلُّوْنَ فِيْهَا، فَإِنَّ النَّوْمَ أَخُوْ الْمَوْتِ، وَالْمَيِّتُ لاَ يُصَلِّيْ. وَقَالَ التُّوْرْبَشْتِيُّ: يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُوْنَ الْمُرَادُ: أَنَّ مَنْ لَمْ يُصَلِّ فِيْ بَيْتِهِ، جَعَلَ نَفْسَهُ كَالْمَيِّتِ وَبَيْتَهُ كَالْقَبْرِ. قَالَ الْحَافِظُ: "وَيُؤَيِّدُهُ مَا رَوَاهُ مُسْلِمٌ: "مَثَلُ الْبَيْتِ الَّذِيْ يُذْكَرُ اللهُ فِيْهِ، وَالْبَيْتِ الَّذِيْ لاَ يُذْكَرُ اللهُ فِيْهِ كَمَثَلِ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ".

“Al-Bukhari manuliskan: “Bab tentang makruhnya shalat di kuburan”. Dalam bab ini al-Bukhari meriwayatkan dari Ibn ‘Umar dari Rasulullah, bahwa beliau bersabda: “Ij’alu Min Shalatikum Fi Buyutikum Wa La Tattakhidzuha Quburan”.

Al-Hafizh Ibn Hajar berkata: “Diambil dalil dari sabda Rasulullah “Wa La Tattakhidzuha Quburan” bahwa kuburan bukan tempat untuk beribadah, maka shalat di kuburan hukumnya makruh. Istinbath ini kurang tepat meskipun lafazh hadits mengandung kemungkinan makna ini. Ada istinbath lain yang lebih tepat karena lebih cepat dipahami”.

Ibn at-Tin berkata: “al-Bukhari memahami dari hadits ini makruhnya shalat di kuburan. Dan sekelompok ulama yang lain memahami bahwa maksud hadits ini adalah anjuran untuk shalat di rumah karena orang-orang yang mati tidak shalat. Jadi seakan Rasulullah mengatakan: “Jangan kalian seperti orang mati yang tidak shalat di rumah mereka, yaitu kuburan”.

Ibn Qurqul dalam kitab al-Mathali’ dan diikuti oleh Ibn al-Atsir dalam kitab an-Nihayah mengatakan: “Pemahaman al-Bukhari terhadap hadits ini lemah, pemahaman yang lebih tepat adalah perkataan yang menyatakan: makna hadits ini: bahwa mayit tidak shalat di kuburnya”.

Al-Khaththabi mengatakan: “Mungkin maksud hadits ini bahwa jangan jadikan rumah kalian sebagai tempat untuk tidur saja, di mana kalian tidak shalat di sana, karena tidur adalah saudaranya mati, dan orang yang mati tidak melakukan shalat”.

At-Turbasyti mengatakan: “Mungkin maksud hadits ini bahwa orang yang tidak melakukan shalat di rumahnya, telah menjadikan dirinya seperti mayit dan rumahnya seperti kuburan”.

Al-Hafizh Ibn Hajar mengatakan: “Pemahaman seperti ini didukung oleh hadits riwayat Muslim yang maknanya: Perumpamaan rumah yang disebut nama Allah di dalamnya dengan rumah yang tidak disebut nama Allah di dalamnya seperti perbedaan antara orang yang hidup dan orang yang telah mati”.

Dengan demikian makna hadits riwayat Al-ImamMuslim di atas: “La Taj’alu Buyutakum Maqabir…”, adalah seperti makna hadits riwayat Al-Imam al-Bukhari: “Ij’alu Min Shalatikum Fi Buyutikum, Wa La Tattakhidziha Quburan”. Artinya janganlah kalian menjadikan rumah kalian seperti kuburan. Artinya lakukan shalat di rumah kalian, bacalah al-Qur’an di rumah kalian, berdzikirlah di sana. Janganlah kalian seperti mayit yang berada di kuburan, ia tidak shalat, tidak membaca al-Qur’an dan tidak berdzikir. Jadi hadits Muslim ini berisi anjuran untuk membaca al-Qur’an di rumah, supaya rumah tidak menjadi seperti kuburan, di mana mayit tidak membaca al-Qur’an di dalamnya. Hadits ini sama sekali tidak membicarakan tentang orang lain yang membacakan al-Qur’an untuk mayit di kuburnya.

Kemudian kita katakan kepada mereka: Bagaimana kalian berdalil dengan hanya sebuah “isyarat” yang kalian pahami sendiri dari sebuah hadits?! Sangat aneh. Bukankah “isyarat” itu sesuatu yang tidak tegas?! Ditambah lagi pemahaman “isyarat” yang kalian hasilkan adalah pemahaman yang salah kaprah?! Padahal banyak hadits-hadits yang secara khusus dan tegas berbicara tentang masalah membaca al-Qur’an untuk mayit seperti hadits Ma'qil ibn Yasar, hadits ‘Abdullah ibn ‘Umar, hadits al-‘Ala’ ibn al-Lajlaj yang semuanya marfu' dari Rasulullah, dan semuanya adalah hadits hasan yang bisa dijadikan hujjah. Hadits-hadits ini semuanya dengan tegas menjelaskan bahwa Rasulullah menganjurkan untuk membaca al-Qur’an untuk mayit, baik di kuburan ataupun jauh dari kuburan.

Kemudian dari mana mereka mengatakan: “Tidak ada riwayat shahih yang menjelaskan bahwa Rasulullah atau para sahabatnya membaca al-Qur’an untuk mayit”?! Apakah anjuran-anjuran Rasulullah dalam hadits-hadits di atas tidak cukup sebagai dalil kebolehan membaca al-Qur’an untuk mayit?! Apakah al-‘Ala’ ibn al-Lajlaj yang berpesan kepada anaknya agar dibacakan permulaan dan akhir surat al-Baqarah bukan amalan ulama Salaf?! Bahkan dalam riwayat al-Baihaqi dalam kitab as-Sunan al-Kubra, pesan al-‘Ala’ kepada anaknya mengatakan: “…dan bacakanlah di dekat kepalaku (sesudah dikebumikan) ayat-ayat pertama dan akhir surat al-Baqarah, karena sungguh aku telah menyaksikan ‘Abdullah ibn 'Umar menganggap sunnah hal tersebut”[13]. Riwayat al-Baihaqi ini dihasankan oleh Al-Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar, al-Hafizh Ibn Hajar dalam Takhrij al-Adzkar.[14] Kemudian bukankah Ibn ‘Umar salah seorang sahabat Nabi?! Bukankah membaca al-Qur’an untuk mayit di kuburan adalah tradisi para sahabat Anshar seperti kata asy-Sya'bi -diriwayatkan oleh al-Khallal dalam al Jami'-:

كَانَتْ الأَنْصَارُ إِذَا مَاتَ لَهُمْ مَيِّتٌ اِخْتَلَفُوْا إِلَى قَبْرِهِ يَقْرَءُوْنَ لَهُ القُرْءَانَ.

“Tradisi para sahabat Anshar jika salah seorang di antara mereka meninggal, mereka akan datang ke kuburnya silih berganti dan membacakan al-Qur’an untuknya (mayit)”.

Al-Kharaithi dalam kitab al-Qubur juga meriwayatkan:

سُنَّةٌ فِيْ الأَنْصَارِ إذَا حَمَلُوْا الْمَيِّتَ أَنْ يَقْرَءُوْا مَعَهُ سُوْرَةَ البَقَرَةِ.

“Kebiasaan di kalangan para sahabat Anshar jika mereka membawa jenazah (ke pemakaman) adalah mengiringinya dengan membaca surat al-Baqarah". (Dituturkan oleh al-Qurthubi dalam at-Tadzkirah Fi Ahwal al-Mauta Wa Umur al-Akhirah, hlm. 93).

Lihatlah wahai pembaca yang budiman, bagaimana mereka menyalahi para ulama salaf ketika mereka mengatakan: “Tidak membaca al-Qur’an sedikit-pun meskipun hanya surat al-Fatihah”, padahal mereka mengklaim selalu mengikuti Salaf (Salafiyyah), bukankah para sahabat, para tabi'in; asy-Sya'bi dan lainnya, Al-Imam Syafi'i, Al-ImamAhmad Ibn Hanbal termasuk ulama salaf dan mereka semua membolehkan bahkan menganjurkan untuk dibacakan al-Qur’an di kuburan!?

Benar, mereka sama sekali tidak layak untuk disebut kelompok “Salafiyyah”, karena mereka tidak mengikuti ajaran-ajaran ulama Salaf. Namun nama yang sesuai bagi gerakan mereka adalah “Talafiyyah”, yaitu kaum perusak ajaran ulama Salaf.

Makna Firman Allah QS. an-Najm: 39

Dalam QS. an-Najm: 39 Allah berfirman:

وَأَن لَّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاَّمَاسَعَى (سورة النجم: 39)

Makna harfiah ayat ini mengatakan bahwa sesungguhnya tidaklah bagi seorang manusia kecuali apa yang ia usahakan, atau apa yang ia perbuat. Bila kemudian timbul pertanyaan bukankah ayat bermakna tidak sampainya pahala kebaikan yang dilakukan oleh seseorang yang ia peruntukan bagi orang lain?

Jawab: Sesungguhnya ayat ini tidak menafikan adanya manfaat bagi seseorang yang ia peroleh dari orang lain. Ayat ini hanya berisi penafian terhadap kepemilikan hasil kerja yang telah dilakukan oleh orang lain. Karena hasil kerja seseorang pada dasarnya adalah milik orang yang telah melakukan pekerjaan itu sendiri. Ia berhak menjadikan hasil kerjanya itu untuk dirinya sendiri, atau kalau ia berkeinginan untuk menghadiahkan atau memberikan hasil kerjanya tersebut bagi orang lain maka iapun berhak melakukan itu.

Dalam ayat di atas Allah tidak mengatakan: “Tidaklah seseorang dapat mengambil manfaat kecuali dengan apa yang telah ia usahakan”, tetapi Allah mengatakan: “Tidaklah bagi (milik) seseorang kecuali apa yang telah ia usahakan”. Maka konteks ayat ini membicarakan tentang kepemilikian (al-Milkiyyah), bukan membicarakan tentang mengambil manfaat (al-Intifa’).

Kemudian dari pada itu; redaksi keumuman ayat dalam QS. an-Najm: 39 di atas juga dapat di-takhshishdengan datangnya hadits-hadits Rasulullah dalam banyak riwayat tentang sampainya pahala sedekah, haji, dan doa bagi mayit serta lainnya, sebagaimana telah kita kutip di atas dalil-dalil bagi demikian itu.

Al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab Syarh ash-Shudur menuliskan bahwa dalam pemahaman terhadap QS. an-Najm: 39 di atas terdapat banyak pendapat ulama[15], di antaranya:

1. Bahwa konteks ayat tersebut adalah berbicara tentang kaum Nabi Ibrahim dan Nabi Musa dahulu. Adapaun di kalangan umat Rasulullah sekarang ini bahwa seseorang dapat mengambil manfaat dari apa yang telah ia usahakan, juga ia bisa mengambil manfaat dari apa yang diusahakan oleh orang lain yang kemudian diberikan atau dihadiahkan kepadanya. Pendapat ini dinyatakan oleh Ikrimah; murid Ibn Abbas.

2. Pendapat lain mengatakan bahwa penyebutan kata “al-Insan”(seseorang) dalam konteks QS. an-Najm: 39 tersebut adalah orang kafir. Artinya, seorang kafir tidak dapat mengambil manfaat dari kebaikan yang telah ia lakukan, juga tidak dapat mengambil manfaat dari kebaikan orang lain yang dihadiahkan kepadanya. Hal ini berbeda dengan orang mukmin, ia dapat mengambil manfaat dari kebaikan yang ia usahakannya, juga dapat mengambil manfaat dari kebaikan orang lainnya yang diperuntukan baginya. Pendapat ini dinyatakan oleh ar-Rabi’ ibn Anas.

3. Pendapat lain mengatakan; bahwa seseorang tidak mendapatkan kecuali apa yang ia usahakan yang dimaksud adalah dari segi balasan yang seimbang antara pekejaan dan pahala. Artinya jika ditinjau dari sisi keadilan. Adapun dari segi luasnya karunia Allah (al-Fadhl) maka Allah berhak untuk menambahkan nilai kebaikan terhadap apa yang telah diusahakan oleh seseorang sesuai dengan kehendak-Nya. Pendapat ini dinyatakan oleh al-Husain ibn al-Fadhl.

Apa yang ditulis oleh al-Hafizhas-Suyuthi ini kemudian dikutip oleh al-Hafizh az-Zabidi dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin dengan tambahan beberapa penjelasan[16].

Pendapat Ibn Taimiyah

Dengan penjelasan di atas, jelas tidak berdasar pendapat mereka yang mengharamkan membaca al-Qur'an untuk mayit. Bahkan Ibn Taimiyah, yang merupakan referensi agung mereka yang melarang membaca al-Qur’an bagi mayit, tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyetujui apa yang telah menjadi kesepakatan ulama Salaf tersebut. Dalam kumpulan fatwa-fatwa Ibn Taimiyah atau yang dikenal dengan Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, Ibn Taimiyah menuliskan sebagai berikut:

القُرآنُ الّذي يَصِلُ مَا قُرِئَ للهِ

“Bacaan al-Qur’an yang samapai adalah yang dibaca --dengan ikhlash-- karena Allah”[17].

Di halaman yang sama dalam Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, ia mengatakan sebagai berikut:

مَنْ قَرأ القُرآنَ مُحْتَسِبًا وأهْدَاهُ إلى اْلميت نَفَعَهُ ذلك

“Orang yang membaca al-Qur’an dengan ikhlas karena Allah lalu menghadiahkan kepada mayit, akan bermanfaat bagi mayit tersebut”[18].

Pada bagian lain masih dari Majmu’ Fatawa, Ibn Taimiyah mengatakan:

قال؛ فإن الله تعالى لم يقل؛ إن الإنسان لا ينتفع إلا بسعي نفسه، وإنما قال: وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (سورة النجم: 39)، فهو لا يملك إلا سعيه ولا يستحق غير ذلك، وأما سعي غيره فهو له كما أن الإنسان لا يملك إلا مال نفسه ونفع نفسه، فمال غيره ونفع غيره هو كذلك للغير لكن إذا تبرع له الغير بذلك جاز وهكذا إذا تبرع له الغير بسعيه نفعه الله بذلك كما ينفعه بدعائه له والصدقة عنه وهو ينتفع بكل ما يصل إليه من كل مسلم سواء كان من أقاربه أو غيرهم كما ينتفع بصلاة المصلين عليه ودعائهم له عند قبره.

“Bahwa Allah tidak menyebutkan bahwa seseorang hanya bisa mengambil manfaat dari amal perbuatannya sendiri saja. Melainkan yang difirmankan Allah adalah:

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (سورة النجم: 39)

Yang dimaksud ayat ini adalah dalam pengertian kepemilikan. Artinya, bahwa seseorang tidak dapat memiliki hasil amalan orang lain, ia hanya dapat memiliki hasil amalannya sendiri. Hak milik orang lain adalah miliki dia, hak miliki saya adalah milik saya. Seseorang yang memiliki harta maka ia sendiri yang menguasai dan yang mengambil manfa’at dari hartanya tersebut. Sementara yang orang lain yang tidak memiliki harta tersebut, tentunya tidak menguasai dan tidak memiliki serta tidak dapat mengambil manfa’at dari harta tersebut. Adapun jika seseorang berkeinginan menyumbangkan hartanya bagi orang lain, maka tentu hal ini boleh-boleh saja[19].

Demikian pula jika ada seseorang yang berkeinginan menyumbangkan atau menghadiahkan pahala dari amalannya kepada orang lain, maka hal tersebut tentu boleh-beloh saja. Allah akan memberi manfaat dari hadiah tersebut. Sebagaimana bila kita berdoa bagi orang lain, doa tersebut sangat bermafa’at baginya, maka demikian pula dengan sedekah kita, bacaan al-Qur’an kita, atau kebaikan lainnya akan sangat bermanfaat terhadap orang yang kita peruntukan baginya.

Kesimpulannya, bahwa seorang mayit akan mendapat manfaat dari setiap perkara kebaikan yang disampaikan oleh sesama muslim baginya, baik oleh anak-anaknya, keluarganya, kerabatnya atau bukan. Sebagaimana mayit tersebut mendapat manfaat dari orang-orang yang menshalatkan atasnya dan mendoakannya di kuburnya[20].

Dari sini kita katakan kepada para pecinta Ibn Taimiyah: “Kalian hendak kabur ke mana, sementara Al-Imam kalian, rujukan utama kalian; Ibn Taimiyah al-Harrani, telah menetapkan bahwa bacaan al-Qur’an atau amal kebaikan apapun jika di hadiahkan untuk mayit, maka mayit tersebut mengambil manfa’at darinya?!”.

Benar, cahaya kebenaran sangat nyata bagi orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah. Sementara bagi seorang yang “buta”, maka sinar matahari terang di tengah hari-pun akan tetap ia katakan gelap gulita.

(Faedah Penting): Menghadiahkan Pahala Bagi Rasulullah

Apa yang menjadi kebiasaan orang-orang Islam dalam menghadiahkan pahala kepada Rasulullah, seperti ungkapan: “Ila Janab an-Nabiy al-Musthafa al-Fatihah...!, atau “Ila Hadlrah an-Nabiy..., dan semacamnya adalah perkara yang bolehkan, bahkan sangat dianjurkan. Ibn ‘Abidin al-Hanafi dalam kitab berjudul Radd al-Muhtar ‘Ala ad-Durr al-Mukhtar, menyusun sebuah bab dengan judul “Bab tentang menghadiahkan bacaan al-Qur’an untuk Rasulullah”. Beliau menuliskan sebagai berikut:

وفيه أن ابن حجر ذكر في الفتاوى الفقهية أن ابن تيمية زعم منع إهداء ثواب القراءة للنبي صلى الله عليه وسلم لأن جنابه الرفيع لا يتجرأ عليه إلا بما أذن فيه وهو الصلاة عليه وسؤال الوسيلة له، فقال ما نصه: "وبالغ السبكي وغيره في الرد عليه بأن مثل ذلك لا يحتاج لإذن خاص، ألا ترى أن ابن عمر كان يعتمر عنه صلى الله عليه وسلم عمرا بعد موته من غير وصية، وحج ابن الموفق وهو في طبقة الجنيد عنه صلى الله عليه وسلم سبعين حجة، وختم ابن السراج عنه صلى الله عليه وسلم أكثر من عشرة آلاف ختمة وضحى عنه مثل ذلك"[21].

“Ibn Hajar menuturkan dalam al-Fatawa al-Fiqhiyyah bahwa Ibn Taimiyah melarang untuk menghadiahkan bacaan al-Qur’an untuk Rasulullah dengan alasan tidak ada izin khusus dari Rasulullah sendiri dalam masalah ini. Kemudian Ibn Hajar berkata: “As-Subki dan yang lainnya membantah keras pendapat Ibn Taimiyah ini. Mereka mengatakan bahwa hal semacam ini tidak memerlukan izin khusus dari Rasulullah. Bukankah Ibn ‘Umar berkali-kali melakukan umrah untuk Rasulullah setelah beliau meninggal, padahal tidak ada wasiat dari Rasulullah kepadanya untuk berumrah untuknya. Begitu juga Ibn al-Muwaffaq, salah seorang ulama besar yang satu thabaqah (satu masa atau satu jaringan guru-murid) dengan al-Junaid al-Baghdadi, beliau berhaji untuk al-Junaid sebanyak tujuh puluh kali. Ibn as-Siraj juga mengkhatamkan al-Qur’an untuk Rasulullah lebih dari 10.000 kali khataman dan menyembelih kurban untuk Rasulullah sekitar bilangan itu juga”.

Apa yang dilakukan oleh para ulama tersebut, yang bahkan oleh para sahabat Nabi dalam menghadiahkan pahala bagi Rasulullah di atas lalu disetujui oleh Ibn Abidin, menuliskan:

قلت: رأيت نحو ذلك بخط مفتي الحنفية الشهاب أحمد بن الشلبي شيخ صاحب البحر نقلا عن شرح الطيبة للنويري، ومن جملة ما نقله أن ابن عقيل من الحنابلة قال: يستحب إهداؤها له صلى الله عليه وسلم[22].

Saya (Ibn ‘Abidin) berkata: “Penjelasan semacam ini juga saya lihat ditulis tangan sendiri oleh Mufti Madzhab Hanafi, yaitu Syekh asy-Syahab Ahmad ibn asy-Syalabi, guru penulis kitab al-Bahr, menukil dari Syarh ath-Thayyibah karya an-Nuwairy. Di antara yang dinukilnya adalah bahwa Ibn ‘Aqil al-Hanbali, salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali mengatakan: “Dianjurkan menghadiahkan pahala bacaan kepada Rasulullah”.

Ibn Abidin juga menuliskan:

قلت: وقول علمائنا له أن يجعل ثواب عمله لغيره يدخل فيه النبي صلى الله عليه وسلم، فإنه أحق بذلك حيث أنقذنا من الضلالة، ففي ذلك نوع شكر وإسداء جميل له، والكامل قابل لزيادة الكمال. وما استدل به بعض المانعين من أنه تحصيل الحاصل لأن جميع أعمال أمته في ميزانه؛ يجاب عنه بأنه لا مانع من ذلك، فإن الله تعالى أخبرنا بأنه صلى الله عليه ثم أمرنا بالصلاة عليه، بأن نقول؛ اللهم صل على محمد، والله أعلم

Saya (Ibn ‘Abidin) berkata: “Ketika Para ulama kita mengatakan boleh bagi seseorang untuk menghadiahkan pahala amalnya untuk orang lain, maka termasuk di dalamnya kebolehan hadiah kepada Rasulullah. Karena beliau lebih berhak mendapatkannya dari pada yang lain. Beliaulah yang telah menyelamatkan kita dari kesesatan. Berarti hadiah tersebut termasuh salah satu bentuk terima kasih kita kepadanya dan membalas budi baiknya. Bukankah seorang yang kamil (tinggi derajatnya) memungkinkan untuk bertambah ketinggian derajat dan kesempurnaannya. Dalil sebagian orang yang melarang bahwa perbuatan ini adalah tahshil al-hashil karena semua amal ummatnya secara otomatis masuk dalam timbangan amal Rasulullah, jawabannya adalah bahwa ini bukanlah masalah. Bukankah Allah memberitakan dalam al-Qur’an bahwa Dia sendiri bershalawat terhadap Rasulullah, kemudian Allah memerintahkan kita untuk bershalawat kepada beliau dengan mengatakan “Allahumma Shalli ‘Ala Muhammad...”. Wallahu A’lam”.[23]

Penutup

Pemesanan Buku Buku ini hubungi 085728151032

Apa yang tertuang dalam buku kecil ini hanyalah sebagian kecil dari catatan berlimpah dalam kitab-kitab para ulama kita terkait tema sampainya pahala amal saleh bagi mayit. Jika hendak dikutip satu per satu akan sangat panjang. Namun, paling tidak apa yang disusun oleh penulis dalam buku sederhana ini dapat memberikan gambaran komprehensif bagi tema yang sedang kita bahas ini.

Buku kecil ini semoga menjadi menjadi amal saleh bagi kita semua dan jadi pengingat bagi generasi kita selanjutnya. Segala kebenaran hanya milik Allah.

Allah A’lam.

Wa Shallallah ‘Ala Sayyidina Rasulillah Muhmmad. Wa al-Hamdu Lillah Rabb al-‘Alamin.

Selesai,

KHOLIL ABU FATEH

AL-ASY'ARI ASY-SYAFI'I AR-RIFA'I AL-QADIRI

---Catatan Kaki---

[1] As-Suyuthi, Syarh ash-Shudur, h. 268

[2] Izh-har al-‘Akidah as-Sunniyyah, h. 295

[3] Syarh ash-Shudur,h. 269

[4] Riyadl ash-Shalihin, h. 345, Bab 161

[5] As-Suyuthi, Syarh ash-Shudur, h. 269

[6] Ibn ar-Rif’ah, Syarh Raudl ath-Thalib, j. 2, h. 412

[7] Ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, j. 6, h. 93

[8] al-Mughni, j. 2, h. 424

[9] Kasysyaf al-Qina’, j. 2, h. 147

[10] Ghayah al-Muntaha Fi al-Jam’ Bain al-Iqna’ Wa al-Muntaha, j. 1, h. 259-260

[11] Syarh ash-Shudur, h. 268

[12] Lihat karya Jamil Zainu berjudul al-‘Akidah al-Islamiyyah, h. 101-102

[13] Al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, j. 4, h. 56

[14] Lihat Ibn 'Allan ash-Shiddiqi, al Futuhaat ar-Rabbaniyyah, 2/194.

[15] As-Suyuthi, Sharh ash-Shudur, h. 310

[16] Az-Zabidi, Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, j. 10, j. 372

[17] Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, j. 24, h. 300

[18] Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, j. 24, h. 300

[19] Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, j. 24, h. 367

[20] Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah,j. 24, h. 367

[21] Ibn Abidin, Radd al-Muhtar ‘Ala ad-Durr al-Mukhtar, j. 2, h. 244

[22] Ibn Abidin, Radd al-Muhtar ‘Ala ad-Durr al-Mukhtar, j. 2, h. 244

[23] Lihat Ibn 'Abidin, Radd al-Muhtar ‘Ala ad-Durr al Mukhtar, j. 2, h. 244. Lihat juga al-Hafizh Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al Muttaqin Bi Syarh Ihya' Ulum ad-Din, j. 2, h. 284.

Posting Komentar untuk "Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit Dengan Doa Is-shal"