Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Al Aqidah As-Sanusiyyah: Makna Kalimat Syahadatain

 Ngaji Al-Aqidah As-Sanusiyyah 24

وَيَجْمَعُ مَعَانِيَ هٰذِهِ العَقَائِدِ كُلِّهَا قَوْلُ: 

لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ.

إِِذْ مَعْنَى اْلأُلُوْهِيَّةِ: اِسْتِغْنَاءُ اْلإِلٰهِ عَنْ كُلِّ مَا سِوَاهُ، وَافْتِقَارُ كُلِّ مَا عَدَاهُ إِلَيْهِ. 

فَمَعْنى لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ: لاَ مُسْتَغْنِيَ عَنْ كُلِّ مَا سِوَاهُ، وَمُفْتَقِرًا إِلَيْهِ كُلُّ مَا عَدَاهُ إِلاَّ اللّٰهُ تَعَالَى. 

أَمَّا اسْتِغْنَاؤُهُ جَلَّ وَعَزَّ عَنْ كُلِّ مَا سِوَاهُ، فَهُوَ يُوجِبُ لَهُ تَعَالَى: الْوُجُودَ، وَالْقِدَمَ، وَالْبَقَاءَ، وَالمُخَالَفَةَ لِلْحَوَادِثِ، وَالْقِيَامَ بِالنَّفْسِ، وَالتَّنَزُّهَ عَنِ النَّقَائِصِ،

وَيَدْخُلُ فِي ذٰلِكَ وُجُوْبُ السَّمْعِ لَهُ تَعَالَى وَالْبَصَرِ وَالْكَلاَمِ، إِذْ لَوْ لَمْ تَجِبْ لَهُ هٰذِهِ الصِّفَاتُ لَكَانَ مُحُتَاجًا إِلَى المُحْدِثِ، أَوِ المَحَلِّ، أَوْ مَنْ يَدْفَعُ عَنْهُ النَّقَائِصَ. 


*Makna Kalimat Syahadat*

Semua makna-makna keyakinan (aqidah) yang sudah dipelajari sebelumnya ini dirangkum dalam ucapan :

لَا إِلٰهَ إِلَا اللّٰهُ  مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللّٰه

"Tidak ada yang berhak disembah kecuali hanyalah Allâh dan Muhammad adalah utusan Allâh"

Karena makna ketuhanan (uluhiyyah) adalah tidak butuhnya Tuhan kepada segala perkara selain-Nya, dan butuhnya segala sesuatu selain-Nya pasti kepada Allâh Ta'ala.

*Makna Syahadat Pertama*

Maka makna لَا إِلٰهَ إِلَا اللّٰهُ adalah Dia tidak butuh kepada segala sesuatu selain-Nya dan membutuhkan kepada-Nya segala sesuatu selain-Nya, kecuali Allah Ta'ala.

Adapun ketidak-butuhan Allâh Jalla Wa 'Azza dari segala sesuatu selain-Nya mengharuskan bagi Allâh sifat wajib yaitu: Al Wujûd, Al Qidam, Al Baqa, al Mukhalafah lil Hawadits, al Qiyamuhu Binafsihi, dan Maha Suci dari segala sifat kekurangan.

Dan termasuk dalam (sifat wajib) itu adalah sifat as Sam'u (Maha Mendengar) bagi Allâh Ta'ala, sifat al Bashar (Maha Melihat) dan sifat al Kalam (Berfirman). Karena jika sifat-sifat ini tidak wajib bagi-Nya maka Allah butuh pada pencipta atau tempat atau dzat yang menolak kekurangan-kekurangan dari-Nya.

*Catatan:*

Sayyidina Ja'far as Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Zainal Abidin Ali bin al Husain bin Ali bin Abi Tholib Radliyallah 'anhum (w148 H) berkata:

"مَنْ زَعَمَ أنّ اللهَ فِي شَىءٍ، أوْ مِنْ شَىءٍ، أوْ عَلَى شَىءٍ فَقَدْ أشْرَكَ. إذْ لَوْ كَانَ عَلَى شَىءٍ لَكَانَ مَحْمُوْلاً، وَلَوْ كَانَ فِي شَىءٍ لَكَانَ مَحْصُوْرًا، وَلَوْ كَانَ مِنْ شَىءٍ لَكَانَ محدَثًا  (أي مَخْلُوْقًا)"

"Barangsiapa beranggapan bahwa Allâh ada dalam sesuatu atau dari sesuatu atau di atas sesuatu maka *dia telah syirik (seorang yang musyrik)*. Karena apabila Allâh ada di atas sesuatu maka Dia mahmul (diangkat), Apabila Allâh di dalam sesuatu maka Dia mahshur (terbatas) dan apabila Allâh dari sesuatu maka Dia baharu (makhluk)"

(Diriwayatkan oleh al-Qusyairi, ar-Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 35. Al Imam Ja’far ash Shadiq adalah imam terkemuka dalam fiqih, ilmu, dan keutamaan. Lihat ats Tsiqat, Ibn Hibban, j. 6, h. 131)

Makna perkataan Sayyidina Ja'far as Shodiq:

Allâh tidak berada di atas sesuatu, sebab jika dikatakan Dia berada di atas sesuatu maka artinya Allah itu mahmul. Mahmul artinya dibawa (diangkat) oleh sesuatu.

Allah tidak berada dalam sesuatu, karena jika dikatakan bahwa Dia berada dalam sesuatu maka artinya Allah mahshur. Mahshur artinya terbatas pada sesuatu. 

Allah itu tidak berasal dari sesuatu (azali), sebab jika dikatakan Dia berasal dari sesuatu maka artinya dia muhdats/makhluk. Muhdats artinya diadakan dari tidak ada menjadi ada. 

Orang yang meyakini bahwa Allah di atas, di dalam dan dari sesuatu menjadi musyrik (kafir). Karena dia telah menyembah makhluk yang dia khayalkan sebagai Allah.

*Perhatian:*

Sayyidina al Imam Jakfar as Shodiq adalah cucu Rasulullah yang diklaim kelompok Syiah sebagai imam mereka, padahal *beliau adalah imam Ahlussunnah wal Jama’ah yang mencapai derajat ijtihad muthlaq*. 

Pertanyaan:

1. Apa makma kalimat Syahadat Pertama?

2. Kenapa sifat butuh itu sifat yang lemah?

وَيُؤُخذُ مِنْهُ: تَنَزُّهُهُ تَعَالٰى عَنِ اْلأَغْرَاضِ فِي أَفْعَالِهِ وَأَحْكَامِهِ، وَإِلاَّ لَزِمَ افْتِقَارُهُ إِلَى مَا يُحَصِّلُ غَرَضَهُ، كَيْفَ! وَهُوَ جَلَّ وَعَزَّ الْغَنِيُّ عَنْ كُلِّ مَا سِوَاهُ.  

*Allah Maha Suci dari Tujuan (Tidak mengambil manfaat dari makhluk-Nya)*

Dan dapat diambil kesimpulan bahwa Mahasuci Allâh Ta'ala dari berbagai tujuan (mengambil manfaat) pada perbuatan-Nya dan Hukum-hukum-Nya. Jika Allah mengambil manfaat, maka tentu Allâh butuh terhadap perkara yang menghasilkan tujuan-Nya. Bagaimana pemahaman buruk ini dibenarkan! Padahal Allâh Jalla wa 'Azza adalah Dzat yang Maha Kaya, tidak butuh kepada segal perkara/sesuatu selain-Nya.

Catatan:
Seandainya Allah menjadikan seluruh makhluk-Nya ta'at semua, maka itu tidak menambah sedikitpun ke-Agung-an Allah Ta'ala.
Sebaliknya, seandainya Allah menjadikan seluruh makhluk-Nya bermaksiat semua, maka itu tidak mengurangi sedikitpun ke-Agung-an Allah Ta'ala.

Allah Ta'ala berfirman:

﴿وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُون﴾ (سُورَةَ الذَّارِيَات: ٥٦)
*أي ليأمرهم الله بعبادته وينهاهم عن معصيته
Maknanya: 
"Tidaklah Aku (Allaah) ciptakan jin dan manusia kecuali Aku perintahkan (melalui diutusnya para Nabi dan Rasul) mereka beribadah pada Ku dan Aku cegah mereka berbuat maksiat pada Ku. (QS. Adz-Dzâriyât: 56) 

Dan dalam hadits yang diriwayatkan Al Bukhori dan Muslim, Nabi ﷺ bersabda: 

وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا» (رَوَاهُ الشَّيْخَانِ). 
Maknanya: 
"Hak Allaah atas para hamba-hamba Nya --*yang mukallaf*-- adalah beribadah kepada Nya dan tidak menyekutukan Nya; tidak meyakini ada sesuatu dari makhluk Nya yang menyamai Nya." (HR. Al Bukhory dan Muslim)

Para 'ulama mengatakan, Hikmah itu berbeda dengan Tujuan. Tujuan bermakna ingin menggapai sesuatu yang menguntungkan (atau bermanfaat) dan atau menghindari sesuatu yang merugikan (atau membahayakan). Makhluk (baik jin dan manusia), tindakannya itu tidak lepas dari tujuan ini. Tujuan yang berlaku bagi Makhluq ini seringkali gagal. Pada kenyataannya demikian.

Jika *tujuan* ini disematkan kepada Allah maka *tidak layak bagi Allah*. Karena Allah tidak berlaku manfaat bagiNya dan juga tidak berlaku madhorot atau kerugian bagiNya. Hal ini apabila Seluruh manfaat yang dilakukan seluruh makhluqNya maka tidak ada pengaruhnya apapun bagi Allah. Dan sebaliknya seluruh madlorot atau kemaksiatan yang dilakukan oleh seluruh makhluqnya juga tidak ada pengaruhnya apapun bagi Allah. 

Pertanyaan:
1. Apa hikmah diciptakan jin dan manusia?
2. Apa perbedaan dari perintah Allâh dan Kehendak Allâh?

وَيُؤُخَذُ مِنْهُ أَيْضًا: أَنَّهُ لاَ يَجِبُ عَلَيْهِ تَعَالٰى فِعْلُ شَيْءٍ مِنَ المُمْكِنَاتِ عَقْلًا وَلاَ تَرْكُهُ، إِذْ لَوْ وَجَبَ عَلَيْهِ تَعَالٰى شَيْءٌ مِنْهَا عَقْلاً كَالثَّوَابِ مَثَلاً، لَكانَ جَلَّ وَعَزَّ مُفْتِقَرًا إِلَى ذٰلِكَ الشَّيْءِ لِيَتَكَمَّلَ بِهِ غَرَضُهُ، إِذْ لاَ يَجِبُ فِي حَقِّهِ تَعَالٰى إلاَّ مَا هُوَ كَمَالٌ لَهُ، كَيْفَ! وَهُوَ جَلَّ وَعَزَّ الْغَنِيُّ عَنْ كُلِّ مَا سِوَاهُ. 
وَأَمَّا افْتِقَارُ كُلِّ مَا عَدَاءُ إِلَيْهِ جَلَّ وَعَزَّ فَهُوَ يُوجِبُ لَهُ تَعَالَى الْحَيَاةَ، وَعُمُوْمَ الْقُدْرَةِ وَاْلإِرَادَةِ وَالْعِلْمِ، إِذْ لَوِ انْتَفَى شَيْءٌ مِنْهَا لَمَا أَمْكَنَ أَنْ يُوْجَدَ شَيْءٌ مِنَ الحَوَادِثِ فَلاَ يَفْتَقِرُ إِلَيْهِ شَيْءٌ، كَيْفَ! وَهُوَ الَّذِي يَفْتَقِرُ إِلَيْهِ كُلُّ مَا سِوَاهُ. 
وَيُوجِبُ لَهُ تَعَالَى أَيْضًا: الْوَحْدَانِيَّةَ، إِذْ لَوْ كَانَ مَعَهُ ثَانٍ فِي اْلأُلُوْهِيَّةِ لَمَا افْتقَرَ إِلَيْهِ شَيْءٌ لِلُزُوْمِ عَجْزِهِمَا حِيْنَئِذٍ، كَيْفَ! وَهُوَ الَّذِي يَفْتَقِرُ إِلَيْهِ كُلُّ مَا سِوَاهُ.  

*Tidak ada kewajiban apapun bagi Allâh Ta'alâ*

Dan dapat diambil kesimpulan juga bahwa tidak ada kewajiban apapun bagi Allâh Ta'ala melakukan sesuatu yang mungkin terjadi (mumkin aqli) dan juga tidak ada kewajiban meninggalkannya. Karena seandainya sesuatu tersebut wajib bagi Allâh Ta'ala menurut akal, seperti wajibnya memberi pahala, maka Allah Jalla Wa 'Azza membutuhkan kepada sesuatu tersebut untuk menyempurnakan tujuan-Nya dengannya. Karena tidak wajib bagi Allâh Ta'ala kecuali perkara yang sempurna bagi-Nya. Bagaimana mungkin pemahaman buruk ini dibenarkan!! Padahal Allâh Jalla Wa 'Azza adalah yang maha kaya, tidak butuh kepada segala sesuatu selain-Nya.
Adapun butuhnya segala sesuatu selain Allâh Ta'ala kepada-Nya, maka hal itu mengharuskan (menetapkan) bagi Allah Ta'ala sifat Al Hayah (Maha Hidup), luasnya sifat al Qudrah (Maha Kuasa), sifat Al Iradah (Maha Berkehendak), dan sifat Al Ilmu (Maha Mengetahui). Karena jika hilang satu dari sifat-sifat tersebut maka pasti tidak mungkin makhluk-makhluk dapat terwujud sehingga tidak ada sesuatu yang butuh kepada kepada Allah Ta'ala. Bagaimana mungkin pemahaman buruk ini dibenarkan!! Padahal Allâh Jalla Wa 'Azza adalah Dzat yang dibutuhkan oleh segala sesuatu selain-Nya.
Dan juga mengharuskan bagi Allah Ta'ala sifat Al Wahdaniyyah (Maha Esa), karena jika ada sekutu bagi Allâh dalam ketuhanan, maka pasti tidak akan ada sesuatupun yang butuh kepada-Nya, karena pasti keduanya lemah ketika ada sekutu bagi-Nya. Bagaimana mungkin pemahaman buruk ini dibenarkan!! Padahal Allâh Jalla Wa 'Azza adalah Dzat yang dibutuhkan oleh segala sesuatu selain-Nya.
*Catatan:*
Ulama Syafi'i Terkenal, Syaikh Fakhruddin Ibnu 'Asakir rahimahullah berkata tentang Allâh:
ليس عليه حق (يلزمه) ولا عليه حكم، وكل نعمة منه فضل وكل نقمة منه عدل لا يُسئل عما يفعل وهم يسألون.
Tidak ada hak atas-Nya yang wajib Ia laksanakan, tidak ada hukum (aturan) atas-Nya. Setiap nikmat dari-Nya adalah kurnia (yakni bukanlah kewajiban atas Allâh untuk memberi nikmat kepada hamba-Nya, tetapi nikmat itu adalah murni pemberian dan kemurahan Allâh) dan setiap adzab adalah keadilan dari-Nya (adzab adalah siksaan, maka barang siapa yang diberi pahala oleh Allâh itu karena kemurahan-Nya dan barang siapa yang disiksa oleh-Nya maka itu karena keadilan Allâh, Allâh tidak menzhalimi siapapun). Allâh tidak ditanya tentang apa yang Ia perbuat (yakni Allâh tidak boleh diprotes dan ditentang atas apa yang Ia perbuat dan tidaklah ditanya tentang apa yang Ia perbuat tersebut), dan merekalah yang ditanya dan dimintai pertanggung jawaban (yakni hamba-Nya).
*Awas:*
Golongan Mu'tazilah. Kesesatan mereka adalah;
1. meyakini bahwa setiap makhluq memiliki kuasa penuh (mampu menciptakan) atas amal perbuatannya sendiri, 
2. tidak meyakini bahwa penduduk surga dapat melihat Allâh,
3. meyakini bahwa Allâh wajib memberi pahala atau siksa kepada hamba yang taat atau maksiat.
Golongan ini pecah menjadi 20 bagian.
Pertanyaan:
1. Apa itu syukur wajib dan syukur sunnah?
وَيُؤْخَذُ مِنْهُ أَيْضًا: حُدُوْثُ الْعَالَمِ بِأَسْرِهِ، إِذْ لَوْ كَانَ شَيْءٌ مِنْهُ قَدِيْمًا لَكَانَ ذٰلِكَ الشَّيْءُ مُسْتَغْنِيًا عَنْهُ تَعَالٰى، كَيْفَ! وَهُوَ الذَّيِ يَجِبُ أَنْ يَفْتَقِرَ إِلِيْهِ كُلُّ مَا سِوَاهُ. 
*Kebaharuan Alam (Makhluk Pasti Bermula)*
Dan dapat diambil kesimpulan juga bahwa baharunya alam secara keseluruhan. Karena jika ada sesuatu dari alam ini yang bersifat Qadim (tanpa permulaan), maka suatu tersebut tidak membutuhkan kepada Allâh Ta'ala. Bagaimana mungkin pemahaman buruk ini dibenarkan!! Padahal Allâh Jalla Wa 'Azza adalah Dzat yang wajib dibutuhkan oleh segala sesuatu selain-Nya.
Catatan:
Bahwa sesuatu yang wujud itu ada 3 macam, yaitu:
1. Wujud Azaliy abadiy, yakni *Wujud Tanpa permulaan dan tanpa akhiran*, yaitu hanyalah Allah Ta'ala. 
2. Wujud Abadiy walâ Azaliy, yakni *wujud yang ada permulaan dan dijadikan abadi*. Yaitu surga dan neraka dan beberapa makhluk yang dijadikan abadi oleh Allah Ta'ala. 
3. Wujud Lâ Abadiy walâ Azaliy, yakni *wujud yang ada permulaan dan ada akhirannya.* Yaitu manusia, hewan dan makhluk lainnya. 
*Awas:*
Jauhi *Ibnu Taimiyah*, kesesatannya sangat banyak, salah satunya yang menyatakan (fatwanya) bahwa alam ini qadim (ada tanpa permulaan).
Jauhi golongan sesat wahdatul wujud dan golongan sesat keyakinan hulul.
al-Hafiszh as-Suyuthi menjelaskan bahwa, keyakinan hulul, ittihad atau wahdatul wujud secara historis, awal mulanya berasal dari kaum Nasrani. Mereka meyakini bahwa Tuhan menyatu dengan nabi Isa, dalam pendapat mereka yang lain menyatu dengan nabi Isa dan ibunya; Maryam sekaligus. 
Hulul dan wahdatul wujud ini sama sekali bukan berasal dari ajaran Islam.
Lalu kemudian ada beberapa orang yang mengaku sufi meyakini dua aqidah tersebut atau salah satunya, jelas ia seorang sufi gadungan. Para ulama, baik ulama Salaf maupun Khalaf dan kaum sufi sejati dan hingga sekarang telah sepakat dan terus memerangi dua aqidah tersebut. 
(Lihat as-Suyuthi, al-Hâwî Li al-Fatâwî, j. 2, hlm. 130, pembahasan lebih luas tentang keyakinan kaum Nasrani dalam teori hulul dan Ittihad lihat as-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, hlm. 178-183).
Imam al-Hâfizh Jalaluddin as-Suyuthi menilai bahwa seorang yang berkeyakinan hulul atau wahdatul wujud *jauh lebih buruk dari pada keyakinan kaum Nasrani*. Karena bila dalam keyakinan Nasrani Tuhan meyatu dengan nabi Isa atau dengan Maryam sekaligus (yang mereka sebut dengan doktrin trinitas), maka dalam keyakinan hulul dan wahdatul wujud Tuhan menyatu dengan manusia-manusia tertentu, atau menyatu dengan setiap komponen dari alam ini. 
Demikian pula dalam penilaian Imam al-Ghazali, jauh sebelum as-Suyuthi, beliau sudah membahas secara gamblang kesesatan dua aqidah ini. Dalam pandangan beliau, teori yang diyakini kaum Nasrani bahwa al-lâhût (Tuhan) menyatu dengan al-nâsût (makhluk), yang kemudian diadopsi oleh faham hulul dan ittihad (wahdatul wujud) adalah kesesatan dan kekufuran. 
Di antara karya al-Ghazali yang cukup komprehensif dalam penjelasan kesesatan faham hulul dan ittihad (wahdatul wujud) adalah al  Munqidz Min adl-Dlalâl dan al-Maqshad al-Asnâ Fî Syarh Asmâ’ Allah al-Husnâ. Dalam dua buku ini beliau telah menyerang habis faham-faham kaum sufi gadungan yang berkeyakinan dua aqidah sesat di atas. Termasuk juga dalam karya fenomenalnya; Ihyâ ‘Ulumiddîn.
Pertanyaan:
1. Apa makna baharu?
2. Apa makna qadim?
3. Ada berapa macam sesuatu yang wujud? Dan apa saja, sebutkan!
وَيُؤُخَذُ مِنْهُ أَيْضًا: أَنَّهُ لَا تَأْثِيْرَ لِشَيْءٍ مِنَ الْكَائِنَاتِ فِي أَثَرٍ مَا، وَإِلَّا لَزِمَ أَنْ يَسْتَغْنِيَ ذٰلِكَ اْلأَثَرُ عَنْ مَوْلاَنَا جَلَّ وَعَزَّ، كَيْفَ! وَهُوَ الَّذِي يَفْتَقِرُ إِلَيْهِ كُلُّ مَا سِوَاهُ عُمُومًا.
وَعَلَى كُلِّ حَالٍ، هٰذَا إِنْ قَدَّرْتَ أَنَّ شَيْئًا مِنَ الْكَائِنَاتِ يُؤَثِّرُ بِطَبْعِهِ، وَأَمَّا إِنْ قَدَّرْتَهُ مُؤَثِّرًا بِقُوًّى جَعَلَهَا اللّٰهُ فِيْهِ كَمَا يَزْعُمُهُ كَثِيْرٌ مِنَ الْجَهَلَةِ فَذٰلِكَ مُحَالٌ أَيْضًا، لِأَنَّهُ يَصِيْرُ حِيْنَئِذٍ مَوْلَانَا جَلَّ وَعَزَّ مُفْتَقِرًا فِي إِيْجَادِ بَعْضِ اْلأَفْعَالِ إِلَى وَاسِطَةٍ، وَذٰلِكَ بَاطِلٌ لِمَا عَرَفْتَ مِنْ وُجُوْبِ اسْتِغْنَائِهِ جَلَّ وَعَزَّ عَنْ كُلِّ مَا سِوَاهُ.
*Segala macam pengaruh adalah milik Allâh*
Dan dapat diambil kesimpulan juga bahwa tidak ada peran/pengaruh yang dimiliki makhluk dalam mempengaruhi apapun. Jika makhluk punya pengaruh maka tentu pengaruh itu tidak butuh kepada Allâh Jalla wa 'Azza. Bagaimana mungkin pemahaman buruk ini dibenarkan!! Padahal Allâh Jalla Wa 'Azza adalah Dzat yang dibutuhkan oleh segala sesuatu selain-Nya secara keseluruhan.
Dan dalam kondisi apapun, hal ini jika kalian menentukan bahwa makhluk dapat mempengaruhi dengan sendirinya (thabiatnya)¹. Namun apabila kalian menentukan bahwa makhluk berpengaruh sebab kekuatan/kemampuan² yang diciptakan oleh Allah pada diri makhluk tersebut --sebagaimana yang disangkakan oleh banyak orang-orang bodoh³-- maka hal itu juga mustahil. Karena ketika kondisi tersebut menjadikan Allâh Jalla Wa 'Azza Dzat yang butuh dalam memuwujudkan sebagian perbuatan-Nya terhadap perantara. Maka hal itu adalah salah (dan gugur), karena mengingat sebagaimana yang telah kalian ketahui, yaitu wajibnya sifat butuh bagi Allâh Jalla Wa 'Azza terhadap segala sesuatu selain-Nya.
*Catatan:*
¹ Lihat kembali Materi Ngaji Al-Aqidah As-Sanusiyyah 08.
² Misalnya; Allâh menciptakan kekuatan di dalam api untuk dapat membakar, kekuatan di pisau untuk dapat mengiris, hal ini adalah mustahil. Pada hakikatnya yang menjadikan api dapat membakar ataupun pisau dapat mengiri adalah Allâh Ta'alâ.
³ Yaitu golongan Qadariyyah. Kaum ini memiliki keyakinan bahwa manusia memiliki sifat Qadar (menentukan) dalam melakukan segala amal perbuatannya, tanpa adanya kehendak dari Allah terhadap perbuatan-perbuatan tersebut. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, tetapi manusia sendiri yang menciptakan perbuatan-perbuatannya tersebut. 
Terhadap golongan Qadariyyah yang berkeyakinan seperti ini kita tidak boleh ragu sedikitpun untuk mengkafirkannya. Mereka sama sekali bukan orang-orang Islam. Karenanya, para ulama aswaja sepakat dalam mengkafirkan kaum Qadariyyah yang berkeyakinan semacam ini. Mereka telah menyekutukan Allah dengan makhluk-makhluk-Nya, karena mereka menetapkan adanya pencipta kepada selain Allah. Mereka juga telah menjadikan Allah lemah (‘Ajiz), karena dalam keyakinan mereka Allah tidak menciptakan segala perbuatan hamba-Nya. Padahal di dalam al-Qur’an Allah telah berfirman:
قُلِ اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ (الرعد: 16)
“Katakan (Wahai Muhammad), Allah adalah yang menciptakan segala sesuatu”. (QS. ar-Ra’ad: 16)
Mustahil bagi Allah tidak kuasa atau lemah untuk menciptakan segala perbuatan hamba-Nya. Sesungguhnya Allah yang menciptakan segala benda, dari mulai benda paling kecil bentuknya, yaitu adz-dzarrah, hingga benda yang paling besar, yaitu ‘arsy, termasuk tubuh manusia, yang notabene sebagai benda, juga ciptaan Allah. Artinya, bila Allah yang menciptakan segala benda tersebut, maka demikian pula Allah yang menciptakan segala sifat dari benda-benda tersebut, juga segala perbuatan-perbuatannya. Sangat mustahil jika satu benda diciptakan oleh Allah, tapi kemudian sifat-sifat benda tersebut diciptakan oleh benda itu sendiri. Karena itu al-Imam al-Bukhari telah menulis satu kitab berjudul “Khalq Af’al al-‘Ibad”, berisi penjelasan bahwa segala perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, bukan ciptaan manusia itu sendiri.
Dengan demikian menjadi sangat jelas bagi kita kesesatan kaum Qadariyyah. Bahwa mereka adalah kaum yang kafir kepada Allah, karena mereka menetapkan adanya pencipta kepada selain Allah. Mereka telah menjadikan Allah setara dengan makhluk-makhluk-Nya sendiri. Mereka tidak hanya menetapkan adanya satu sekutu bagi Allah, tapi mereka menetapkan banyak sekutu bagi-Nya. Karena dalam keyakinan mereka bahwa setiap manusia adalah pencipta bagi segala perbuatannya sendiri, sebagimana Allah adalah Pencipta bagi tubuh-tubuh semua manusia tersebut. Na’udzu Billâh.
Ahluassunnah Wal Jama’ah, adalah golongan yang selamat. Keyakinan golongan ini adalah menetapkan bahwa tidak ada pencipta selain Allah. Hanya Allah yang menciptakan semua makhluk, dari segala dzat-dzat atau tubuh-tubuh mereka, hingga segala sifat-sifat dan perbuatannya masing-masing.
Perbuatan manusia terbagi kepada dua bagian. 
Pertama; Af’al Ikhtiyariyyah, yaitu segala perbuatan yang terjadi dengan inisiatif, dengan usaha, dan dengan ikhtiar dari manusia itu sendiri, seperti makan, minum, berjalan, dan lain-lain. 
Kedua; Af’al Idlthirariyyah, yaitu segala perbuatan yang terjadi pada diri hamba yang terjadi di luar usaha, dan di luar ikhtiar manusia itu sendiri, seperti detak jantung, aliran darah dalam tubuh, dan lain sebagainya. 
Seluruh perbuatan manusia ini, baik Af’al Ikhtiyariyyah, maupun Af’al Idlthirariyyah adalah ciptaan Allah.
Pertanyaan:
1. Apa yang disebut sebab?
2. Apa yang disebut akibat?
3. Apa yang disebut Thabiat?
4. Apa yang disebut 'Illat?
فَقَدْ بَانَ لَكَ تَضَمُّنُ قَوْلِ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ لِلْأَقْسَامِ الثَّلَاثَةِ الَّتِي يَجِبُ عَلَى المُكَلَّفِ مَعْرِفَتُهَا فِي حَقِّ مَوْلَانَا جَلَّ وَعَزَّ، وَهِيَ: مَا يَجِبُ فِي حَقِّهِ تَعَالٰى، وَمَا يَسْتَحِيْلُ، وَمَا يَجُوْزُ.
*Cakupan makna Syahadat Pertama*
Maka sungguh telah terang benderang bagi kalian cakupan ucapan:
لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ
terhadap 3 unsur yang wajib diketahui oleh setiap mukallaf¹ untuk mengenal Allâh Jalla wa 'Azza, yaitu:
1. Perkara yang wajib bagi Allâh Ta'alâ.
2. Perkara yang mustahil bagi Allâh Ta'ala. 
3. Perkara yang jaiz bagi Allâh Ta'ala.
Catatan:
¹ Lihat kembali kewajiban setiap mukallaf Pada materi Ngaji Al-Aqidah As-Sanusiyyah 02.
Wajib (fardlu 'ain) bagi setiap orang mukallaf secara syariat mengetahui sesuatu yang *wajib* pada hak Allâh Jalla Wa 'Azza, sesuatu yang *mustahil* dan sesuatu yang *jaiz*. 
Bagi yang tidak mempelajarinya maka dia berdosa besar.
Pertanyaan:
1. Apa berapa hukum akal itu?
2. Apa yang dimaksud wajib aqli?
3. Apa yang dimaksud mustahil aqli?
4. Apa yang dimaksud jaiz aqli?
وَأَمَّا قَوْلُنَا: مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللّٰهِ صَلى الله عليه وسلم فَيَدْخُلُ فِيْهِ اْلإِيْمَانُ بِسَائِرِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالمَلَائِكَةِ وَالْكُتُبِ السَّمَاوِيَّةِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ، لِأَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ جَاءَ بِتَصْدِيْقِ جَمِيْعِ ذٰلِكَ كُلِّهِ. 
*Cakupan Makna Syahadat Kedua*
Adapun ucapan kita:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللّٰهِ صَلى الله عليه وسلم
Maka termasuk di dalamnya Iman kepada seluruh para nabi, para malaikat, kitab-kitab yang diturunkan dari langit dan hari akhir (kiamat). Karena Rasûlullâh ﷺ datang dengan membenarkan semua perkara-perkara tersebut.
*Catatan:*
Islam adalah agama semua nabi dan satu-satunya agama samawi yang Diridlai Allâh Ta'ala. Maka tidak boleh (haram) mengatakan semua agama itu sama. Dan juga haram mengatakan agama-agama samawi. 
Allâh ﷻ berfirman:
﴿وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُۚ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ﴾ (سورة آل عمران: ٨٥)
Maknanya:
"Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang merugi (orang kafir)". (Q.S. Al-Imran:85)
Allâh ﷻ berfirman:
﴿وَوَصّٰى بِهَآ اِبْرٰهٖمُ بَنِيْهِ وَيَعْقُوْبُۗ يٰبَنِيَّ اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰى لَكُمُ الدِّيْنَ فَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَۗ﴾ (سورة البقرة: ١٣٢)
Maknanya:
"Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya dan demikian pula Ya‘qub, “Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allâh telah memilih agama ini untukmu. Janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (Al-Baqarah:132)
Pertanyaan:
1. Apa yang dimaksud dengan iman kepada Allâh?
2. Apa yang dimaksud dengan iman kepada para malaikat?
3. Apa yang dimaksud dengan iman kepada kitab-kitab?
4. Apa yang dimaksud dengan iman kepada para nabi dan rasul?
5. Apa yang dimaksud dengan iman kepada hari akhir?
6. Apa yang dimaksud dengan iman kepada Qadla dan Qadar?
وَيُؤْخَذُ مِنْهُ: وُجُوْبُ صِدْقِ الرُّسُلِ عَلَيْهِمُ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ. وَاسْتِحَالَةُ الْكَذِبِ عَلَيْهِمْ، وَإِلَّا لَمْ يَكُونُوا رُسُلًا أُمَنَاءَ لِمَوْلَانَا الْعَالِمِ بِالْخَفِيَّاتِ جَلَّ وَعَزَّ. 
وَاسْتِحَالَةُ فِعْلِ الْمَنْهِيَّاتِ كُلِّهَا لِأَنَّهُمْ أُرْسِلُوا لِيُعَلِّمُوا النَّاسَ بِأَقْوَالِهِمْ وَأفْعَالِهِمْ وَسُكُوْتِهِمْ، فَيَلْزَمُ أَنْ لَا يَكُونَ فِي جَمِيْعِهَا مُخَالَفَةٌ لِأَمْرِ مَوْلَانَا جَلَّ وَعَزَّ الَّذِي اِخْتَارَهُمْ عَلَى جَمِيْعِ خَلْقِهِ وَأَمَّنَهُمْ عَلَى سِرِّ وَحْيِهِ. 
*Wajib Sifat Ash-Shidq bagi Nabi dan Rasul*
Dan dapat diambil kesimpulan dari makna syahadat kedua bahwa wajibnya sifat Ash-Shidq (Jujur) bagi para nabi dan rasul عَلَيْهِمُ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ dan mustahilnya sifat al kadzib (dusta) bagi mereka. Dan jika mereka tidak jujur, maka tidak akan menjadi utusan yang amanah bagi Allâh Jalla wa 'Azza, Dzat yang mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi.
Dan mustahilnya melakukan perkara-perkara yang dilarang secara keseluruhan, karena para nabi dan rasul diutus untuk mengajarkan manusia dengan ucapannya, perilakunya, dan diamnya. Maka pasti para nabi dan rasul tidak bertentangan dengan perintah Allâh Jalla wa 'Azza yang telah memilih mereka atas semua makhluk-Nya dan memberikan amanah kepada mereka atas rahasia wahyu-Nya.¹
*Catatan:*
¹ Ad-Dasuqiy di dalam hasyiyahnya berkata:
"Yang dimaksud dengan rahasia wahyu-Nya adalah hukum-hukum yang dibawa oleh para Rasul, karena hukum-hukum ini sebelumnya bersifat rahasia dan tidak tampak kecuali melalui para rasul.
*Perhatian*:
Para ulama menegaskan bahwa Nabi Ibrahim:
1. Tidak pernah menjual patung berhala
2. Tidak pernah memintakan ampunan dosa untuk ayahnya yang musyrik
3. Tidak pernah menganggap bulan, bintang dan matahari sebagai tuhan
4. Tidak pernah berbohong
5. Tidak pernah meragukan kekuasaan Allah
Para Nabi ma’shum yakni terjaga dari kekufuran, baik sebelum diwahyukan kepada mereka wahyu kenabian dan juga setelahnya. 
Adapun perkataan sayiduna Ibrahim tentang bintang ketika melihatnya (bersama kaumnya)
“﴿هٰذَا رَبِّي﴾ (سورة الأنعام: 76)”
maka dia adalah dengan pengiraan bentuk kalimat “istifham inkariy” (yaitu kalimat dalam bentuk pertanyaan namun bermakna pengingkaran isi ucapan itu), maka seolah-olah beliau berkata:
أَهذَا رَبِّي كَمَا تَزْعُمُوْنَ ؟
“apakah ini yang kalian sangka Tuhan-ku ?” (artinya benda ini bukanlah Tuhan-ku sebagaimana yang kalian sangka), kemudian ketika bintang itu terbenam beliau berkata: 
﴿إِنِّي لَا أُحِبُّ الْآفِلِيْنَ﴾ (سورة الأنعام: 76)
Maknanya: “Sesungguhnya aku tidak menyukai (untuk menyembah) sesuatu yang terbenam”  (Q.S. al-An’am: 76)
Yakni tidak layak sesuatu seperti ini sebagai Tuhan, maka bagaimana bisa kalian meyakini itu ?
Ketika mereka ternyata tidak memahami maksud beliau bahkan mereka tetap dalam keyakinan mereka itu, beliaupun mengucapkan saat melihat bulan perkataan seperti itu lagi kepada mereka, ketika beliau tidak juga mendapatkan dari mereka apa yang menjadi harapannya, iapun menunjukkan keterlepasan diri dari peribadatan mereka terhadap bulan dan bahwa bulan itu tidak layak sebagai Tuhan, kemudian saat beliau tidak juga melihat hasil yang ia harapkan dari mereka beliau mengucapkan saat muncul matahari:
﴿هٰذَا رَبِّي هٰذَا أَكْبَرُ﴾ أي على زعمكم
Maknanya:“inikah yang kalian sangka Tuhan-ku karena ini lebih besar ?”.
Beliaupun tetap tidak melihat dari mereka apa yang beliau harapkan, maka pupuslah harapannya dari mereka karena mereka tidak juga sadar dan tidak faham akan maksudnya yaitu bahwa ketiga benda ini tidaklah layak untuk dituhankan, beliaupun berlepas dirilah dari apa yang mereka lakukan berupa kesyirikan itu. Kemudian beliau tidak menetap lama di antara mereka, bahkan ia pergi ke palestina, lalu tinggal di sana dan wafat di sana. 
Adapun Ibrahim ‘alaihissalam sendiri pada kenyataannya telah meyakini sebelum peristiwa itu bahwa ketuhanan tidak berlaku kecuali bagi Allah saja, dengan bukti Firman Allah ta’ala:
﴿وَلَقَدْ ءَاتَيْنَا إِبْرَاهِيْمَ رُشْدَهُ مِنْ قَبْلُ﴾ (سورة الأنبياء: 51)
Maknanya: “Dan sungguh telah Aku (yakni Allah) berikan kepada Ibrahim hidayah sejak masih kecil”  (Q.S. al-Anbiya: 51)
Artinya; Nabi Ibrahim sudah beriman dan yakin kepada Allah sejak masih kecil, bukan mendapatkan iman setelah dewasa seperti yang didustakan oleh orang-orang yahudi yang mengatakan bahwa Ibrahim pernah bingung mencari Tuhan
Di antara sifat yang pasti (wajib) dimiliki seorang nabi adalah jujur. Jadi tidak mungkin (mustahil) seorang nabi terjatuh dalam ucapan bohong. Karena hal itu akan membuat orang tidak akan percaya terhadap dakwahnya. Dan ini menghalangi tugas nabi untuk mengajak manusia ke jalan yang benar.
Adapun hadits:
كذب إبراهيم ثلاث كذبات
Yang secara dhahirnya menyatakan bahwa Nabi Ibrahim pernah berbohong 3 kali, maka yang dimaksud dengan bohong ini adalah bahwa perkataan yang diucapkan Nabi Ibrahim adalah ucapan yang mengandung majaz. Sehingga jika orang hanya memahaminya secara harfiyah saja, maka dia akan menganggap perkataan tersebut adalah bohong. Tetapi maksud Nabi Ibrahim adalah makna majaz, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa perkataan yang diucapkan oleh Nabi Ibrahim sebagai kebohongan.
Di antara 3 kisah tersebut adalah:
Pertama, ketika beliau berjalan bersama istrinya yaitu Sarah, Nabi Ibrahim bertemu dengan raja yang mempunyai kelainan seksual yang mana ketika dia mendengar bahwa jika ada seorang perempuan itu mempunyai suami, maka dia ingin berzina dengannya. Mengetahui hal ini, ketika ditanya, Nabi Ibrahim pun tidak menjawab bahwa Sarah adalah istrinya. Melainkan menjawab:
هذه اختي
Artinya, ini adalah saudariku. Secara nasab, memang Sarah bukanlah saudari Nabi Ibrahim. Tetapi maksud beliau adalah bahwa Sarah sama-sama beriman, sehingga dikatakannya sebagai saudari seiman.
Kedua, ketika Nabi Ibrahim diajak oleh kaumnya untuk ikut dalam perayaan mereka, nabi Ibrahim mengatakan kepada mereka:
إني سقيم
Makna harfiahnya bahwa beliau mengatakan saya sakit.
Padahal beliau tidak sakit, akan tetapi makna dari perkataannya adalah sakit hatinya melihat kaumnya tetap menyembah berhala.
Ketiga, ketika Nabi Ibrahim menghancurkan berhala-berhala yang disembah oleh kaumnya menggunakan kapak. Nabi Ibrahim menyisakan 1 berhala besar yang paling diagungkan kaumnya, dan Nabi Ibrahim mengalungkan kapaknya di berhala besar tersebut. melihat hal ini, kaumnya marah dan bertanya siapakah gerangan yang menghancurkan berhala-berhala tersebut. Nabi Ibrahim menjawab:
بل فعله كبيرهم هذا
Maknanya, bahwa yang melakukan hal itu adalah berhala besar ini. Secara harfiyah, jelas bahwa perkataan ini tidak benar. Karena berhala tidak mungkin mampu melakukan hal tersebut. Namun Nabi Ibrahim mengucapkan hal itu dengan tujuan untuk menghinakan berhala tersebut. Jika berhala paling besar ini saja tidak mampu menghancurkan berhala kecil, dan ini mereka mengakuinya, apalagi melakukan hal lain. Sehingga tidak layak untuk dijadikan sebagai Tuhan.
Maksud dari perkataan Nabi Ibrahim ini adalah bahwa aku yang melakukannya. Dan yang membuatku marah sehingga mendorongku menghancurkan berhala tersebut adalah berhala besar ini. Jadi, ini seperti kita mengatakan pemerintah membangun kota. Jelas, bukan bupati, wali kota ataupun gubernur yang membangun kota secara fisik. Namun maksudnya adalah bahwa para pekerjalah yang membangunnya, dan yang membuat mereka melakukan hal itu adalah atas perintah dari pemerintah.
Dari ketiga cerita di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Nabi Ibrahim tidak bohong. Karena semua Nabi mempunyai sifat jujur dalam berkata dan berbuat. 
نعوذ بالله من سوء الفهم
Pertanyaan:
1. Apa yang dimaksud dengan istifham inkariy?
2. Sebutkan dasar bukti bahwa Nabi Ibrahim tidak berbohong ketika berkata dia saudariku?
3. Apa yang dimaksud dengan majas?
وَيُؤْخَذُ مِنْهُ: جَوَازُ اْلأَعْرَاضُ الْبَشَرِيَّةُ عَلَيْهِمْ، [الَّتِي لَا تُؤَدِّى إِلَى نَقْصٍ فِي مَرَاتِبِهِمُ الْعَلِيَّةِ عَلَيْهِمُ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ]١،
إِذْ ذَاكَ لَا يَقْدَحُ فِي رِسَالَتِهِمْ، وَعُلُوِّ مَنْزِلَتِهِمْ عِنْدَ اللّٰهِ تَعَالٰى بَلْ ذَاكَ مِمَّا يَزِيْدُ فِيهَا. 
١) في نسخة أخر ساقطة
*Jaiznya Sifat Manusiawi bagi Rasul*
Dan dapat diambil kesimpulan dari makna syahadat kedua bahwa bolehnya sifat manusiawi bagi para nabi dan rasul عَلَيْهِمُ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ. [Yang tidak menyebabkan pada berkurangnya kedudukan mulia mereka]. 
Sebab sifat tersebut tidak mencemari (mengurangi kemuliaan) kerasulan dan tingginya pangkat derajat mereka menurut Allâh Ta'ala. Bahkan sifat manusiawi tersebut dapat menambah derajat kemuliaan mereka.
Catatan:
Sedangkan sifat-sifat kemanusiaan yang mengurangi derajat kenabian adalah *mustahil bagi para nabi*.
Sifat-sifat kemanusiaan yang mustahil bagi para nabi, karena menurunkan derajat kenabian adalah seperti:
1. Penyakit yang berat dan menjijikkan, sehingga umatnya menjauhi dan lari dari dakwah mereka. 
2. Sabqul lisan (terpleset lidah), yaitu mengucapkan perkataan yang tidak diinginkan, yakni apabila seseorang ingin mengatakan A tetapi yang keluar dari lisannya adalah B tanpa dikehendaki. Sabq al-Lisan (mengatakan sesuatu tidak seperti yang diinginkan dalam hati untuk diucapkan) dalam urusan syara’ maupun urusan kehidupan manusia biasa sehari-hari. 
Secara akal, jika ada seorang nabi yang sabqul lisan dalam berbicara, maka kebenaran apa yang diucapkannya menjadi diragukan. Jika sabda seorang nabi sampai kepada umatnya, mereka akan mengatakan: "mungkin saja perkataan ini dia ucapkan dalam keadaan sabqul lisan". 
3. Pedal (tidak fashih dan tidak jelas dalam berbicara).
*⛔️Tidak benar* 
jika dikatakan bahwa nabi Musa itu pedal dalam berbicara akibat dari memakan bara api ketika kecil di hadapan Fir'aun.
Allah ta'ala berfirman:
وَأَخِی هَـٰرُونُ هُوَ أَفۡصَحُ مِنِّی لِسَانࣰا فَأَرۡسِلۡهُ مَعِیَ رِدۡءࣰا یُصَدِّقُنِیۤۖ إِنِّیۤ أَخَافُ أَن یُكَذِّبُونِ
[Surat Al-Qashash 34]
"Nabi Musa berkata: Saudaraku Harun lebih fasih lisannya dari pada aku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantu untuk membenarkanku, aku khawatir mereka mendustakanku".
Kisah yang benar, bahwa akibat dari memakan bara di waktu kecil, Nabi Musa pelan dalam berbicara, tetapi tetap jelas, fasih dan memahamkan.
Maksud dari surat Al Qashash 34 itu lebih fasih, yaitu Nabi Musa itu fasih namun ada yang lebih fasih lagi yaitu Nabi Harun. Namun setelah berdoa sebagaimama surat Thaha 25-28, Nabi Musa dan Nabi Harun sama fasihnya. 
Yaitu Setelah beliau menerima wahyu, beliau berdoa kepada Allah agar menghilangkan ikatan pada lisannya, dan Allah mengabulkan do'a beliau, sehingga beliau lancar dalam berbicara.
Allah ta'ala berfirman, menceritakan perkataan nabi Musa:
قَالَ رَبِّ ٱشۡرَحۡ لِی صَدۡرِی ۝  وَیَسِّرۡ لِیۤ أَمۡرِی ۝  وَٱحۡلُلۡ عُقۡدَةࣰ مِّن لِّسَانِی ۝ 
[Surat Tha-Ha 25 - 28]
"Nabi Musa berkata: Wahai Tuhanku lapangkanlah dadaku dan permudahlah urusanku dan lepaskanlah ikatan di lidahku"
Jadi kalo orang biasa saja pedal bicaranya itu sulit dipahami bagaimana dengan nabi, maka mustahil dan *TIDAK benar* Nabi Musa Pedal atau cedal.
4. Cacat Fisik yang permanen seperti buta, tuli, pincang dan semacamnya.
Kisah Nabi Ya'qub, beliau buta hanya beberapa waktu, tidak sepanjang hidupnya. Hal ini, Karena kesedihan yang mendalam dan banyak menangis atas nabi Yusuf, mata beliau menjadi memutih dan buta. Tetapi *setelah bertabarruk dengan baju nabi Yusuf* dan mengetahui bahwa Yusuf masih hidup, Allah mengembalikan penglihatan beliau seperti semula.
Allah ta'ala berfirman, menceritakan perkataan nabi Yusuf:
ٱذۡهَبُوا۟ بِقَمِیصِی هَـٰذَا فَأَلۡقُوهُ عَلَىٰ وَجۡهِ أَبِی یَأۡتِ بَصِیرࣰا
[Surat Yusuf 93]
"(Nabi Yusuf berkata) Pergilah kalian dengan membawa gamisku ini dan letakkanlah pada muka ayahku, niscaya dia akan melihat" 
Kisah ini Nabi Ya'qub bertabarruk ini juga menjadi dalil diperbolehkannya untuk bertabarruk.
5. Pikun (mudah lupa).
Tidak ada Nabi yang pikun. Adapun lupa dalam batas kewajaran mungkin saja terjadi, seperti yang terjadi pada Rasulullah, beliau pernah lupa jumlah rekaat shalat, beliau mengucapkan salam setelah dua rekaat, sehingga sebagian sahabat bertanya apakah beliau sedang mengqoshor sholat.
Seorang nabi tidak pernah lupa terhadap wahyu yang diperintahkan untuk menyampaikannya pada umatnya. Adapun setelah disampaikan, mungkin saja lupa, tetapi kemudian ingat lagi.
6. Gila
Tidak ada seorang nabi pun yang pernah gila. Adapun pingsan maka itu mungkin saja terjadi pada seorang nabi, seperti ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sakit menjelang wafatnya, Rasulullah ﷺ sempat pingsan karena menahan rasa sakit.
7. Terpengaruh sihir pada akalnya
Adapun terpengaruh sihir pada jasadnya maka mungkin saja terjadi, sebagaimana pernah dialami Rasulullah ﷺ.
8. Jubn (takut yang berlebihan) atau pengecut.
Seluruh para nabi adalah pemberani, tidak ada yang penakut atau pengecut. Bahkan nabi Muhammad adalah makhluk yang paling pemberani. Dan diberi kekuatan yang setara dengan 40 orang laki-laki terkuat.
Sedangkan rasa takut biasa (sifat manusia), maka tidak mustahil bagi para Nabi seperti menjauh dari ular berbisa ketika tiba-tiba mendekat ke seseorang. Atau sejenisnya.
9. berbohong, berkhianat, 
10. ar-Radzalah; perangai (akhlak) orang-orang  yang rendah dan hina, tidak ada di antara para nabi yang rendah dan hina; mencuri pandang terhadap perempuan ajnabiyyah dengan syahwat misalnya, juga tidak ada di antara para nabi yang mencuri walau hanya satu biji anggur. 
11. as-Safa-hah; melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan hikmah.
Jadi tidak ada di antara para nabi yang safih; mengucapkan perkataan yang keji dan dipandang buruk. 
12. al Bala-dah (bebal/bodoh/lemah pemahaman). 
Jadi tidak ada di antara para nabi yang bebal dan tidak mampu menegakkan hujjah terhadap orang yang menentangnya, juga tidak ada yang lemah pemahamannya, tidak memahami suatu perkataan dari kali pertama (disampaikan), kecuali setelah diulang untuknya berkali-kali.
13. Setiap perkara yang Munaffir (menjauhkan orang) dari menerima dakwah mereka. Seperti penyakit-penyakit yang menjijikkan seperti keluarnya ulat dari badan.
Pertanyaan:
1. Apa yang dimaksud dengan sifat manusiawi?
2. Apa yang dimaksud dengan sifat munaffir?

Posting Komentar untuk "Al Aqidah As-Sanusiyyah: Makna Kalimat Syahadatain"