Pendapat Imam Ahmad Mengenai Tawassul & Tabarruk
Pendapat Imam Ahmad Mengenai Tawassul & Tabarruk
Wahabi mengklaim bahwa mereka mengikuti manhaj Imam Ahmad dalam akidah dan syari'ah, dan kami dengan tegas menyatakan bahwa Wahhabi menyelisih Imam Ahmad dalam banyak masalah.
Ini adalah contoh ilmiah yang didasarkan pada kitab-kitab para imam Hanabilah mengenai disyariatkannya (masyru') Tabarruk dan Tawassul kepada orang-orang saleh setelah wafat, dan ini adalah tanggapan terhadap kaum Wahhabi yang terputus dari atsar imam mereka Ahmad Bin Hanbal dan para imam mazhab mereka dari generasi ke generasi dan abad ke abad. Semoga orang-orang ini kembali kepada apa yang telah dijalani oleh umat dan disepakati oleh umat Muslim.
Abdullah, putra Imam Ahmad, meriwayatkan dari ayahnya:
[سَأَلته عَن الرجل يمس مِنْبَر النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ويتبرك بمسه ويقبله، وَيفْعل بالقبر مثل ذَلِك أَو نَحْو هَذَا، يُرِيد بذلك التَّقَرُّب إِلَى الله جلّ وَعز فَقَالَ: لَا بَأْس بذلك]
"Aku bertanya kepadanya tentang seseorang yang menyentuh mimbar Nabi ﷺ, ber-tabarruk dengan menyentuhnya dan menciumnya. Begitu pula dengan kuburan beliau, ia melakukan hal serupa untuk mendekatkan diri (Taqqrrub) kepada Allah. Imam Ahmad menjawab: 'Tidak ada masalah dengan itu.'"
Maka yang shahih dari Ahmad adalah bahwa mencium mimbar atau kubur Nabi ﷺ yang mulia tidaklah masalah, dan ini bertentangan dengan apa yang ditetapkan oleh Wahabi zaman sekarang, hingga muhaqqiq kitab al-'Ilal: Wasiullah bin Muhammad Abbas tidak menyukai perkataan Imam Ahmad dan berkata dalam catatan kaki:
[وأما جواز مس قبر النبي صلى الله عليه وسلم والتبرك به فهذا القول غريب جدًا، لم أجد أحدًا نقله عن الإمام، وقال ابن تيمية في (الجواب الباهر لزوار المقابر) صـ31: “اتفق الأئمة على أنه لا يمس قبر النبي ولا يقبله، وهذا كله محافظة على التوحيد فإن من أصول الشرك بالله اتخاذ القبور مساجد]
"Adapun kebolehan menyentuh makam Nabi ﷺ dan bertabarruk dengannya, maka pendapat ini sangat aneh, saya tidak menemukan siapa pun yang meriwayatkannya dari Imam." Dan Ibn Taimiyyah dalam kitab (al-Jawab al-Bahir li Zuwar al-Maqabir) hal. 31 berkata: "Para imam sepakat bahwa tidak boleh menyentuh makam Nabi atau menciumnya, dan semua ini untuk menjaga tauhid karena salah satu pokok syirik kepada Allah adalah menjadikan kuburan sebagai masjid."
Dia berkata: "Saya tidak menemukan seorangpun yang meriwayatkan hal ini dari Imam Ahmad", padahal dia sendiri adalah muhaqqiq riwayat Abdullah putra Imam Ahmad? Dan diriwayatkan juga oleh beberapa orang hafiz yang terkemuka, di antaranya adalah Al-Hafiz Al-Dzahabi, jadi dimana akal sehatnya? Jenis pemikiran apa seperti ini? Dia tidak mencari sumber yang meriwayatkannya dari Imam Ahmad.
Imam Ahmad bin Hanbal menegaskan bahwa diperbolehkan bertawassul dengan kedudukan Nabi ﷺ sebagaimana yang diriwayatkan oleh para imam Hanabilah dari Imam Ahmad, dan mereka menuliskannya dalam kitab-kitab mereka.
[قال أحمد في «منسكه» الذي كتبه للمَرُّوذيِّ: إِنَّهُ يَتَوَسلُ بِالنَّبِيِّ ﷺ فِي دُعَائِهِ، وَجَزَمَ بِه فِي الْمُسْتَوْعِبِ، وَغَيْرِه]
وممن نص على ذلك: ابن مفلح في شرح المقنع (۲۰۷/۲)، والمرداوي في الإنصاف (٤٥٦/٢) والبهوتي في كشاف القناع (٦٨/٢)، والرحيباني في مطالب أولي النهى» (۸۱۷/۱).
"Imam Ahmad dalam kitab Mansak yang ia tulis untuk sahabatnya Al-Marrudzi, berkata: ia bertawassul dengan Nabi ﷺ dalam Do'anya, dan beliau menegaskan pendapat ini dalam kitab al-Mustau'ib dan lainnya".
Pernyataan Imam Ahmad ini, menurut pengikutnya, berarti memperbolehkan tawassul. Bahkan, sebagian mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang dianjurkan. Namun, orang-orang Wahhabi yang mengklaim sebagai pengikut mazhab Hanbali menyatakan: "Tawassul adalah jalan menuju kesyirikan!"
Apakah Imam Ahmad melakukan atau mengajak kepada kesyirikan? Atau apakah kalian merasa lebih tahu dari ulama mazhab Hanbali yang meriwayatkan perkataan Imam Ahmad?
Dalam biografi Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Hafizh Adz-Dzahabi menuliskan:
[قال عبد الله بن أحمد: رأيت أبي يأخذ شعرة من شعر النبي ﷺ فيضعها على فيه يُقبلها، وأحسب أني رأيته يضعها على عينه ويغمسها في الماء ويشربه يستشفي به، ورأيته قد أخذ قصعة النبي الله فغسلها في جُبِّ الماء، ثم شرب فيها، ورأيته يشرب ماء زمزم، يستشفي به، ويمسح به يديه ووجهه ]
تاريخ الإسلام (٥٢/١٨).
"Abdullah bin Ahmad berkata: Aku melihat ayahku (Imam Ahmad) mengambil sehelai rambut Nabi ﷺ, lalu meletakkannya di bibirnya dan menciumnya. Aku juga melihatnya meletakkan rambut itu di matanya, membasuhnya dengan air, dan meminumnya untuk berobat. Aku juga melihatnya mengambil cawan Nabi ﷺ, membersihkannya di dalam wadah air, lalu minum dari dalamnya. Aku melihatnya minum air Zamzam untuk berobat, mengusapkan air itu ke tangannya dan wajahnya."
Inilah Imam Ahmad yang ber-tabarruk dengan rambut Nabi ﷺ, menciumnya, meletakkannya di matanya, membasuhnya dalam air, dan meminumnya untuk berobat. Hal ini diriwayatkan oleh putranya, Abdullah, dalam "Masail Imam Ahmad" (hal. 447), dan Imam Ibn al-Jauzi dalam "Manaqib Imam Ahmad" (hal. 255).
Di mana orang-orang yang berlebihan yang menuduh bahwa tawassul dan tabarruk ini adalah kesesatan dan bid'ah, bahkan menganggapnya sebagai syirik?!
Al-Hafizh Adz-Dzahabi dalam "Siyar A'lam an-Nubala" (jilid 11, hal. 212) berkata:
[أين المتنطع المنكر على أحمد، وقد ثبت أن عبد الله سأل أباه عمن يلمس رمانة منبر النبي صلى الله عليه وسلم ويمس الحجرة النبوية، فقال: لا أرى بذلك بأسًا”، أعاذنا الله وإياكم من رأي الخوارج ومن البدع]
سير أعلام النبلاء (۲۱۲/۱۱).
"Di mana orang yang berlebihan yang mengingkari Imam Ahmad, padahal telah valid (shahih) bahwa Abdullah bertanya kepada ayahnya tentang orang yang menyentuh bagian mimbar Nabi ﷺ dan hujrah beliau, lalu Imam Ahmad menjawab: 'Aku tidak melihat masalah dengan itu. Semoga Allah melindungi kita dari pemikiran Khawarij dan bid'ah."
Al-Hafizh Adz-Dzahabi menganggap bahwa mengingkari praktik tersebut adalah tindakan Khawarij dan ahli bid'ah. Kita memohon perlindungan kepada Allah dari kesesatan mereka, maka berhati-hatilah.
Fatimah binti Ahmad bin Hanbal berkata:
[وقع الحريق ، في بيت أخي صالح ، وكان ، قد تزوح بفتية ، فحملوا إليه جهازا شبيها بأربعة آلاف دينار ، فأكلته النار فجعل صالح يقول : ما غمني ما ذهب إلا ثوب لأبي . كان يصلي فيه أتبرك به وأصلي فيه . قالت : فطفئ الحريق ، ودخلوا فوجدوا الثوب على سرير قد أكلت النار ما حوله وسلم]
راجع: مناقب الإمام أحمد (ص ٤٠٠)، سير أعلام النبلاء (۲۳۰/۱۱)، الآداب الشرعية والمنح المرعية (١٢/٢)
"Terjadi kebakaran di rumah saudara saya Saleh, dan dia baru saja menikah dengan seorang gadis muda. Mereka membawakannya perlengkapan pengantin senilai empat ribu dinar, namun semuanya terbakar. Saleh pun berkata, 'Yang membuatku sedih bukan harta yang hilang, melainkan baju ayahku. Beliau biasa sholat dgn pakaian tersebut dan aku bertabaruk dan sholat dengannya.' Fatimah melanjutkan, Api berhasil dipadamkan, dan saat kami masuk ke dalam rumah, kami menemukan baju itu di atas tempat tidur. Api telah melahap semua yang ada di sekitarnya, namun baju itu sendiri tidak tersentuh".
Perhatikanlah karamah besar Imam Ahmad, semoga Allah merahmatinya. Semoga kita mendapat manfaat dari berkahnya di dunia dan akhirat. Kisah ini diriwayatkan dari Imam Hmad oleh Imam Ibn al-Jauzi dalam "Manaqib Imam Ahmad", Al-Hafizh Adz-Dzahabi dalam "Siyar A'lam an-Nubala", dan Imam Ibn Muflih dalam "Al-Adab asy-Syari'ah".
Imam Ibn al-Jauzi meriwayatkan dari Abdullah bin Musa, ia berkata:
[خرجت أنا وأبي في ليلة مظلمة نزور أحمد، فاشتدت الظلمة فقال أبي: يا بني تعال حتى نتوسل إلى الله تعالى بهذا العبد الصالح حتى يضئ لنا الطريق فإني منذ ثلاثين سنة ما توسلت به إلا قضيت حاجتي، فدعا أبي وأمنت على دعائه فأضائت السماء كأنها ليلة مقمرة حتى وصلنا إليه]
مناقب الإمام أحمد (ص ٤٠١،٤٠٠).
"Aku dan ayahku keluar pada malam yang gelap untuk mengunjungi Ahmad, lalu kegelapan semakin pekat. Ayah ku berkata: "Anakku, mari kita bertawassul kepada Allah melalui hamba-Nya yang saleh ini agar jalan kita terang. Sungguh selama tiga puluh tahun setiap kali aku bertawassul dengan Imam Ahmad, kebutuhanku selalu terpenuhi, kemudian ayahku berdoa, aku mengamini. Tiba-tiba langit menjadi terang seperti malam purnama hingga kami sampai ke rumah Imam Ahmad".
Apakah Imam Ahmad, putranya, Imam Abdullah bin Musa, atau Imam Ibn al-Jauzi yang meriwayatkan kisah ini, merupakan orang-orang yang menyekutukan Allah (musyrik) dan ahli bid'ah? Biarkanlah Wahhabi memahami bahwa mereka telah menyimpang dari aqidah Imam Ahmad sebagaimana mereka menyimpang dari aqidah Salaf.
Imam Abu Ali Al-Hasyimi Al-Baghdadi Al-Hanbali (wafat 428 H) berkata dalam pengantar kitab "Al-Irsyad ila Sabil Al-Rasyad" (hal. 3):
[وجملة من الفقه على مذهب أبي عبد الله أحمد بن حنبل الشيباني رضي الله عنه وعنا به]
"Dan ini adalah ringkasan fiqh mengikuti mazhab Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani, semoga Allah meridhainya, dan kami memohon pertolongan dengannya."
Maka renungkanlah perkataannya:
وعنا به
"dan kami memohon pertolongan dengannya"
Ini merupakan contoh tawassul yang jelas dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Hal ini dilakukan oleh seorang imam Hanbali terkemuka, agar kaum Wahhabi mellihat apakah mereka masih mengikuti manhaj imam-imam mereka atau telah menyimpang dari jalannya?
Imam Faqih Syaikhul Hanabilah Abu Muhammad Muwaffaq Ibn Qudamah menyatakan tentang tawassul dengan Junjungan Nabi Muhammad ﷺ saat mengunjungi makamnya:
ثُمَّ تَأْتِي الْقَبْرَ فَتُوَلِّي ظَهْرَكَ الْقِبْلَةَ، وَتَسْتَقْبِلُ وَسَطَهُ، وَتَقُولُ:
"Kemudian engkau mendatangi kubur Nabi, menghadapkan punggungmu ke arah Qiblat, dan menghadap pada posisi tengah kuburan dan berkata:
السَّلَامُ عَلَيْك أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ، وَخِيرَتَهُ مِنْ خَلْقِهِ وَعِبَادِهِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، أَشْهَدُ أَنَّك قَدْ بَلَّغْت رِسَالَاتِ رَبِّك، وَنَصَحْت لِأُمَّتِك، وَدَعَوْت إلَى سَبِيلِ رَبِّك بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ، وَعَبَدْت اللَّهَ حَتَّى أَتَاك الْيَقِينُ، فَصَلَّى اللَّهُ عَلَيْك كَثِيرًا، كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى، اللَّهُمَّ اجْزِ عَنَّا نَبِيَّنَا أَفْضَلَ مَا جَزَيْت أَحَدًا مِنْ النَّبِيِّينَ وَالْمُرْسَلِينَ، وَابْعَثْهُ الْمَقَامَ الْمَحْمُودَ الَّذِي وَعَدْته، يَغْبِطُهُ بِهِ الْأَوَّلُونَ وَالْآخَرُونَ، اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْت عَلَى إبْرَاهِيمَ وَآلِ إبْرَاهِيمَ، إنَّك حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْت عَلَى إبْرَاهِيمَ وَآلِ إبْرَاهِيمَ، إنَّك حَمِيدٌ مَجِيدٌ، اللَّهُمَّ إنَّك قُلْت وَقَوْلُك الْحَقُّ: {وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا} [النساء: 64] .
وَقَدْ أَتَيْتُك مُسْتَغْفِرًا مِنْ ذُنُوبِي، مُسْتَشْفِعًا بِك إلَى رَبِّي، فَأَسْأَلُك يَا رَبِّ أَنْ تُوجِبَ لِي الْمَغْفِرَةَ، كَمَا أَوْجَبْتهَا لِمَنْ أَتَاهُ فِي حَيَاتِهِ، اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ أَوَّلَ الشَّافِعِينَ، وَأَنْجَحَ السَّائِلِينَ، وَأَكْرَمَ الْآخَرِينَ وَالْأَوَّلِينَ، بِرَحْمَتِك يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ، ثُمَّ يَدْعُو لِوَالِدَيْهِ وَلِإِخْوَانِهِ وَلِلْمُسْلِمِينَ أَجْمَعِينَ”.
المغني، (٤٧٩٠٤٧٨/٣).
Dan aku datang kepadamu dengan memohon ampun atas dosaku, memohon syafaatmu kepada Tuhanku, maka aku mohon kepada-Mu, ya Tuhan, agar Engkau memberikan ampunan kepadaku, sebagaimana Engkau memberikannya kepada orang yang datang kepadanya dalam kehidupannya. Ya Allah, jadikanlah dia sebagai orang pertama yang memberi syafaat, yang paling terkabul dalam permohonannya, dan yang paling mulia di antara orang-orang yang terdahulu dan yang kemudian, dengan rahmat-Mu, ya Allah Yang Maha Penyayang. Kemudian dia berdoa untuk kedua orang tuanya, saudaranya, dan seluruh kaum Muslimin".
Lalu apa yang akan dikatakan Wahhabi tentang Ibn Qudamah yang memgatakan:
وَقَدْ أَتَيْتُك مُسْتَغْفِرًا مِنْ ذُنُوبِي، مُسْتَشْفِعًا بِك إلَى رَبِّي؟
Apakah mereka akan mengatakan bahwa ini adalah syirik dan memohon kepada perantara (washitah) antara Allah & makhluk sebagaimana yang mereka tuduhkan?
Kita katakan kepada orang-orang khawarij ini: jagalah lidahmu dari menuduh Muslimin dengan tuduhan palsu dan dusta. Sesungguhnya tawassul tidaklah syirik atau maksiat, melainkan sebagai bukti pengagungan terhadap Allah Yang Maha Mulia. Karena kita memohon kepada Allah dengan sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya.
Dan ketahuilah bahwa orang yang membenarkan bertawassul kepada yang hidup dan yang mati lebih sempurna keyakinannya daripada orang yang membenarkan bertawassul dengan yang hidup tetapi tidak untuk yang mati, seolah-olah dengan keyaminannya yang salah itu, dia memberikan sedikit kuasa/pengaruh kepada yang hidup tapi tidak pada yang mati.
Adapun yang membenarkan bertawassul kepada yang hidup dan yang mati, dia lebih sempurna keyakinannya karena dia tidak memberikan kuasa/pengaruh apapun kepada makhluk, betapapun agungnya makhluk tersebut menurut Allah, dan dia percaya bahwa segala urusan adalah milik Allah dari awal hingga akhir, dan Dia adalah pemilik kehendak dan penguasaan mutlak selamanya, wallahu a'lam.
Posting Komentar untuk "Pendapat Imam Ahmad Mengenai Tawassul & Tabarruk"