Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengapa Kita Harus Empat Madzhab?

Sudah banyak yang menyatakan bahwa beragama tidak butuh madzhab. eits.... awas,... hati-hati Ente... akibatnya bisa berbahaya di akhirat kelak. Mau tahu alasannya mengapa kita harus bermadzhab? Baca sampai selesai.


 Mengapa Harus Empat Madzhab?

Ibn Khaldun menjelaskan dalam kitab Muqaddimah yang menuliskan bahwa produk-produk hukum yang berkembang dalam berbagai disiplin ilmu fiqh yang digali dari berbagai dalil-dalil syari’at menghasilkan banyak sekali perbedaan pendapat antara satu imam mujtahid dengan imam mujtahid lainnya. Perbedaan pendapat ini di antara mereka tentu disebabkan ada banyak alasan, baik karena perbedaan pemahaman terhadap teks-teks (naskah) yang tidak sharî, maupun karena adanya perbedaan konteks. Demikian maka pada perbedaan pendapat dalam produk hukum ini adalah sesuatu hal yang tidak dapat dihindari. Namun demikian, setiap produk hukum yang berbeda-beda tersebut selama dihasilkan dari seseorang yang ahli ijtihad (yakni: Mujtahid Muthlak) maka semuanya dapat dijadikan sumber atau sandaran dan rujukan bagi siapapun yang derajatnya tidak sampai mencapai derajat mujtahid, dan dengan demikian masalah-masalah hukum dalam agama ini menjadi sangat luas. Bagi kita (orang awam), yakni juga para ahli taqlîd (pengikut); orang-orang yang tidak mencapai derajat mujtahid, memiliki keluasan untuk mengikuti siapapun dari para ulama mujtahid tersebut.

Dari sekian banyaknya imam mujtahid, yang secara terformulatif dibukukan hasil-hasil ijtihadnya dan sampai hari ini madzhab-madzhabnya masih dianggap eksis hanya terbatas kepada Imam madzhab yang empat saja, yaitu; 

  1. Al Imam Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit al-Kufy (w 150 H) sebagai perintis madzhab Hanafi, 
  2. Al Imam Malik ibn Anas (w 179 H) sebagai perintis madzhab Maliki, 
  3. Al Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (w 204 H) sebagai perintis madzhab Syafi’i, dan 
  4. Al Imam Ahmad ibn Hanbal (w 241 H) sebagai perintis madzhab Hanbali. 

Sudah barang tentu para Imam mujtahid yang empat ini memiliki kapasitas keilmuan yang Ahli/mumpuni hingga mereka memiliki otoritas untuk mengambil intisari-intisari hukum yang tidak ada penyebutannya secara sharî, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits-hadits Rasulullaah. Selain dalam masalah fiqih (Furû’iyyah), dalam masalah-masalah akidah (Ushûliyyah) para Imam mujtahid yang empat ini adalah Imam-Imam teolog terkemuka (al-Mutakllimûn, ahli tauhid) yang menjadi rujukan utama dalam segala persoalan teologi. Demikian pula dalam masalah hadits dengan segala aspeknya, mereka merupakan tumpuan dalam segala rincinan dan berbagai seluk-beluknya (al-Muhhadditsûn). Lalu dalam masalah tasawwuf yang titik konsentrasinya adalah pendidikan dan pensucian ruhani (Ishlâh al-A’mâl al-Qalbiyyah, atau Tazkiyah an-Nafs), para ulama mujtahid yang empat tersebut adalah orang-orang terkemuka di dalamnya (ash-Shûfiyyah). Kompetensi para Imam madzhab yang empat ini dalam berbagai disiplin ilmu agama telah benar-benar ditulis dengan tinta emas dalam berbagai karya tentang biografi mereka.

Pada periode Imam madzhab yang empat ini kebutuhan kepada penjelasan masalah-masalah fiqih sangat urgen dibanding lainnya. Karena itu konsentrasi keilmuan yang menjadi fokus perhatian pada saat itu adalah disiplin ilmu fiqih. Namun demikian bukan berarti kebutuhan terhadap Ilmu Tauhid tidak urgen, tetap hal itu juga menjadi kajian pokok di dalam pengajaran ilmu-ilmu syari’at, hanya saja saat itu pemikiran-pemikiran ahli bid’ah dalam masalah-masalah akidah belum terlalu banyak menyebar. Benar, saat itu sudah ada kelompok-kelompok sempalan dari para ahli bid’ah, namun penyebarannya masih sangat terbatas. Dengan demikian kebutuhan terhadap kajian atas faham-faham ahli bid’ah dan pemberantasannya belum sampai kepada keharusan melakukan kodifikasi secara rinci terhadap segala permasalahan akidah Ahlussunnah. Namun begitu, ada beberapa karya teologi Ahlussunnah yang telah ditulis oleh beberapa Imam madzhab yang empat, seperti Imam Abu Hanifah yang telah menulis lima risalah teologi; al-Fiqh al-Akbar, ar-Risâlah, al-Fiqh al-Absath, al-‘ lim Wa al-Muta’allim, dan al-Washiyyah, juga Imam asy-Syafi’i yang telah menulis beberapa karya teologi. Benar, perkembangan kodifikasi terhadap Ilmu Kalam saat itu belum sesemarak pasca para Imam madzhab yang empat itu sendiri.

Allah dan Rasul-Nya "Menjamin" Kebenaran Ijtihad Para Imam Madzhab

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa di antara mukjizat Rasulullah adalah beberapa perkara atau peristiwa yang beliau ungkapkan dalam hadits-haditsnya, baik peristiwa yang sudah terjadi, yang sedang terjadi, maupun yang akan terjadi. Juga sebagaimana telah kita ketahui bahwa seluruh ucapan Rasulullah adalah wahyu dari Allah, artinya segala kalimat yang keluar dari mulut mulia beliau bukan semata-mata timbul dari hawa nafsu. Dalam pada ini Allah berfirman:

وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى  إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى (النجم: 3-4)

“Dan tidaklah dia -Muhammad- berkata-kata dari hawa nafsunya, sesungguhnya tidak lain kata-katanya tersebut adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya” (QS. An-Najm: 3-4)

Di antara pemberitaan Rasulullah yang merupakan salah satu mukjizat beliau adalah sebuah hadits yang beliau sabdakan bahwa kelak dari keturunan Quraisy akan datang seorang alim besar yang ilmu-ilmunya akan tersebar diberbagai pelosok dunia, beliau bersabda:

لاَ  تَسُبُّوْا  قُرَيْشًا  فَإنّ  عَالِمَهَا  يَمْلَأُ  طِبَاقَ  الأرْضِ  عِلْمًا  (رواه أحمد) 

“Janganlah kalian mencaci Quraisy karena sesungguhnya -akan datang- seorang alim dari keturunan Quraisy yang ilmunya akan memenuhi seluruh pelosok bumi” (HR. Ahmad).

Terkait dengan sabda ini para ulama kemudian mencari siapakah yang dimaksud oleh Rasulullah dalam haditsnya tersebut? Para Imam madzhab terkemuka yang ilmunya dan para muridnya serta para pengikutnya banyak tersebur paling tidak ada empat orang; Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad ibn Hanbal. Dari keempat Imam yang agung ini para ulama menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hadits Rasulullah di atas adalah Imam asy-Syafi’i, sebab hanya beliau yang berasal dari keturunan Quraisy. Tentunya kesimpulan ini dikuatkan dengan kenyataan bahwa madzhab Imam asy-Syafi’i telah benar-benar tersebar di berbagai belahan dunia Islam hingga sekarang ini.

Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda:

يُوْشِكُ أنْ يَضْرِبَ النّاسُ ءَابَاطَ الإبِلِ فَلاَ يَجِدُوْنَ عَالِمًا أعْلَمُ مِنْ عَالِمِ الْمَدِيْنَة (رواه أحمد) 

“Hampir-hampir seluruh orang akan memukul punuk-punuk unta (artinya mengadakan perjalan mencari seorang yang alim untuk belajar kepadanya), dan ternyata mereka tidak mendapati seorangpun yang alim yang lebih alim dari orang alim yang berada di Madinah”. (HR. Ahmad).

Para ulama menyimpulkan bahwa yang maksud oleh Rasulullah dalam haditsnya ini tidak lain adalah Imam Malik ibn Anas, perintis Madzhab Maliki; salah seorang guru Imam asy-Syafi’i. Itu karena hanya Imam Malik dari Imam madzhab yang empat yang menetap di Madinah, yang oleh karenanya beliau digelari dengan Imâm Dâr al-Hijrah (Imam Kota Madinah). Kapasitas keilmuan beliau tentu tidak disangsikan lagi, terbukti dengan eksisnya ajaran madzhab yang beliau rintis hingga sekarang ini.

Tentang Imam Abu Hanifah, demikian pula terdapat dalil tekstual yang menurut sebagian ulama menunjukan bahwa beliau adalah sosok yang dimaksud oleh Rasulullah dalam sebuah haditsnya, bahwa Rasulullah bersabda:

لَوْ كَانَ الْعِلْمُ مُعَلَّقًا بِالثّريَّا لَنَالَهُ رِجَالٌ مِنْ أبْنَاءِ فَارِسٍ (رَوَاهُ أحْمَدُ) 

“Seandainya ilmu itu tergantung di atas bintang-bintang Tsurayya maka benar-benar ia akan diraih oleh orang-orang dari keturunan Persia” (HR. Ahmad).

Sebagian ulama menyimpulkan bahwa yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah Imam Abu Hanifah, oleh karena hanya beliau di antara Imam mujtahid yang empat yang berasal dari daratan Persia. Imam Abu Hanifah telah belajar langsung kepada tujuh orang sahabat Rasulullah dan kepada sembilan puluh tiga ulama terkemuka dari kalangan tabi’in. Tujuh orang sahabat Rasulullah tersebut adalah; Abu ath-Thufail Amir ibn Watsilah al-Kinani, Anas ibn Malik al-Anshari, Harmas ibn Ziyad al-Bahili, Mahmud ibn Rabi’ al-Anshari, Mahmud ibn Labid al-Asyhali, Abdullah ibn Busyr al-Mazini, dan Abdullah ibn Abi al-Awfa al-Aslami. 

Demikian pula dengan Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, para ulama kita menetapkan bahwa terdapat beberapa dalil tekstual yang menunjukan kebenaran akidah Asy’ariyyah. Ini menunjukan bahwa rumusan akidah yang telah dibukukan oleh Imam Abu al-Hasan sebagai akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah; adalah keyakinan mayoritas umat Nabi Muhammad sebagai al-Firqah an-Nâjiyah; kelompok yang kelak di akhirat akan selamat kelak.

Imam al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Mufatrî menuliskan satu bab yang ia namakan: “Bab beberapa riwayat dari Rasulullah tentang kabar gembira dengan kedatangan Abu Musa al-Asy’ari dan para penduduk Yaman yang merupakan isyarat dari Rasulullah secara langsung akan kedudukan ilmu Abu al-Hasan al-Asy’ari”. Bahkan kabar gembira tentang kebenaran akidah Asy’ariyyah ini tidak hanya dalam beberapa hadits saja, tapi juga terdapat dalam al-Qur’an. Dengan demikian hal ini merupakan bukti nyata sekaligus sebagai kabar gembira dari Rasulullah langsung bagi orang-orang pengikut Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ  بِقَوْمٍ  يُحِبُّهُمْ  وَيُحِبُّونَهُ  أَذِلَّةٍ  عَلَى  الْمُؤْمِنِينَ  أَعِزَّةٍ  عَلَى الْكَافِرِينَ  يُجَاهِدُونَ فِي  سَبِيلِ اللهِ  وَلاَ  يَخَافُونَ  لَوْمَةَ  لآَئِمٍ ذَلِكَ  فَضْلُ  اللهِ  يُؤْتِيهِ  مَن  يَشَآءُ  وَاللهُ  وَاسِعٌ  عَلِيمٌ  (المائدة: 54)

Maknanya: “Wahai sekalian orang beriman barangsiapa di antara kalian murtad dari agamanya, maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah, mereka adalah orang-orang yang lemah lembut kepada sesama orang mukmin dan sangat kuat -ditakuti- oleh orang-orang kafir. Mereka berjihad dijalan Allah, dan mereka tidak takut terhadap cacian orang yang mencaci”. (QS. Al-Ma’idah: 54).

Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa ketika turun ayat ini, Rasulullah memberitakannya sambil menepuk pundak sahabat Abu Musa al-Asy’ari, seraya bersabda: “Mereka (kaum tersebut) adalah kaum orang ini!!”. Dari hadits ini para ulama menyimpulkan bahwa kaum yang dipuji dalam ayat di atas tidak lain adalah kaum Asy’ariyyah, karena sahabat Abu Musa al-Asy’ari adalah moyang dari Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Dalam penafsiran firman Allah di atas: “Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah....” (QS. Al-Ma’idah: 54), Imam Mujahid berkata: “Mereka adalah kaum dari negeri Saba’ (Yaman)”. Kemudian al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî menambahkan: “Dan orang-orang Asy’ariyyah adalah kaum yang berasal dari negeri Saba’” [7].

Penafsiran ayat di atas bahwa kaum yang dicintai Allah dan mencintai Allah tersebut adalah kaum Asy’ariyyah telah dinyatakan pula oleh para ulama terkemuka dari para ahli hadits. Lebih dari cukup bagi kita bahwa hal itu telah dinyatakan oleh orang sekelas Imam al-Hâfizh Ibn Asakir dalam kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî. Beliau adalah seorang ahli hadits terkemuka (Afdlal al-Muhaditsîn) di seluruh daratan Syam pada masanya. Imam Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah menuliskan: “Ibn Asakir adalah termasuk orang-orang pilihan dari umat ini, baik dalam ilmunya, agamanya, maupun dalam hafalannya. Setelah Imam ad-Daraquthni tidak ada lagi orang yang sangat kuat dalam hafalan selain Ibn Asakir. Semua orang sepakat dalam  hal ini, baik mereka yang sejalan dengan Ibn Asakir sendiri, atau mereka yang memusuhinya” [8].

Lebih dari pada itu Ibn Asakir sendiri dalam kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî telah mengutip pernyataan para ulama hadits terkemuka (Huffâzh al-Hadîts) sebelumnya yang telah menafsirkan ayat tersebut demikian, di antaranya ahli hadits terkemuka Imam al-Hâfizh Abu Bakar al-Bayhaqi penulis kitab Sunan al-Bayhaqi dan berbagai karya besar lainnya.

Al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî menuliskan pernyataan Imam al-Bayhaqi dengan sanad-nya dari Yahya ibn Fadlillah al-Umari, dari Makky ibn Allan, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami al-Hâfizh Abu al-Qasim ad-Damasyqi, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami Syaikh Abu Abdillah Muhammad ibn al-Fadl al-Furawy, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami al-Hâfizh Abu Bakar Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Bayhaqi, bahwa ia (al-Bayhaqi) berkata:

“Sesungguhnya sebagian para Imam kaum Asy’ariyyah -semoga Allah merahmati mereka- mengingatkanku dengan sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Iyadl al-Asy’ari, bahwa ketika turun firman Allah: (Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah) QS. Al-Ma’idah: 54, Rasulullah kemudian berisyarat kepada sahabat Abu Musa al-Asy’ari, seraya berkata: “Mereka adalah kaum orang ini”. Dalam hadits ini terdapat isyarat akan keutamaan dan derajat mulia bagi Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, karena tidak lain beliau adalah berasal dari kaum dan keturunan sahabat Abu Musa al-Asy’ari. Mereka adalah kaum yang diberi karunia ilmu dan pemahaman yang benar. Lebih khusus lagi mereka adalah kaum yang memiliki kekuatan dalam membela sunah-sunnah Rasulullah dan memerangi berbagai macam bid’ah. Mereka memiliki dalil-dalil yang kuat dalam memerangi bebagai kebatilan dan kesesatan. Dengan demikian pujian dalam ayat di atas terhadap kaum Asy’ariyyah, bahwa mereka kaum yang dicintai Allah dan mencintai Allah, adalah karena telah terbukti bahwa akidah yang mereka yakini sebagai akidah yang hak, dan bahwa ajaran agama yang mereka bawa sebagai ajaran yang benar, serta terbukti bahwa mereka adalah kaum yang memiliki kayakinan yang sangat kuat. Maka siapapun yang di dalam akidahnya mengikuti ajaran-ajaran mereka, artinya dalam konsep meniadakan keserupaan Allah dengan segala makhluk-Nya, dan dalam metode memegang teguh al-Qur’an dan Sunnah, sesuai dan sejalan dengan faham-faham Asy’ariyyah maka ia berarti termasuk dari golongan mereka” [9].

Imam Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah mengomentari pernyataan Imam al-Bayhaqi di atas, berkata:

“Kita katakan; -tanpa kita memastikan bahwa ini benar-benar maksud Rasulullah-, bahwa ketika Rasulullah menepuk punggung sahabat Abu Musa al-Asy’ari, sebagaimana dalam hadits di atas, seakan beliau sudah mengisyaratkan akan adanya kabar gembira bahwa kelak akan lahir dari keturunannya yang ke sembilan Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Sesungguhnya Rasulullah itu dalam setiap ucapannya terdapat berbagai isyarat yang tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang yang mendapat karunia petunjuk Allah. Dan mereka itu adalah orang yang kuat dalam ilmu (ar-Râsikhûn Fi al-‘Ilm) dan memiliki mata hati yang cerah. Firman Allah: “Seorang yang oleh Allah tidak dijadikan petunjuk baginya, maka sama sekali ia tidak akan mendapatkan petunjuk” (QS. An-Nur: 40)” [10].

Slogan “Pepesan Kosong”

Dewasa ini timbul pendapat pada sebagian masyarakat kita mengatakan bahwa ilmu-ilmu dalam Islam dapat dipelajari sendiri tanpa harus memiliki sanad. Ironisnya, kelompok ini dalam praktek belajar ilmu-ilmu agama hanya terpaku kepada selebaran, buletin, jurnal, browsing internet, secara virtual, dan berbagai media elektronik lainnya. Betul, kita tindak mengingkari ada banyak nilai-nilai positif dari media teknologi yang di manapun dan kapanpun dapat kita “nikmati”, sebagaimana kita juga tidak bisa menutup mata dari sisi-sisi negatifnya. Seharusnya, kita tetap memposisikan media teknologi informasi tersebut murni sebagai pembawa “Informasi” yang sangat butuh kepada klarifikasi (tabayyun), tidak menjadikannya guru utama (guru besar), atau menjadikannya sebagai rujukan apapun dalam segala pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu agama. Kita semua yakin bahwa media internet dengan segala konten di dalamnya mengandung berbagai sisi baik, juga mengandung sisi buruk. Kalau boleh sedikit “kasar”, penulis menyebutnya laksana tong sampah; di dalamnya apapun ada. Sesungguhnya, seorang yang memiliki sanad maka berarti ia dapat mempertanggungjawabkan kebenaran cara beragama yang dipraktekannya. Sikap apriori dari beberapa kelompok masyarakat kita yang “anti” terhadap naskah-naskah klasik (Kitab Kuning) tidak lain adalah karena didasarkan kepada hawa nafsu belaka dan karena mereka sendiri tidak memiliki sanad dalam keilmuan dan dalam cara beragama mereka.

Ada pula sebagian orang pada masyarakat kita mengatakan bahwa mereka tidak butuh kepada pendapat para ulama terdahulu dengan alasan bahwa mereka sendiri telah dapat memahami teks-teks syari’at. Bahkan terkadang ungkapan mereka ini diselingi dengan “caci maki” terhadap para imam madzhab empat, atau terhadap para ulama terkemuka lainnya. Biasanya mereka membuat propaganda dengan slogan-slogan “pepesan kosong”, seperti: “Kami tidak membutuhkan madzhab”, atau: “Madzhab kami hanya al-Qur’an dan Sunnah”, atau kadang mereka berkata: “Nahnu Rijâl Wa Hum Rijâl (Kita manusia dan mereka --para ulama-- juga manusia)”, atau: “Sumber kita murni; al-Qur’an dan Sunnah, kita tidak mengambil dari karya-karya para ulama (kitab kuning)”. Bahkan ada yang lebih parah dari itu semua dengan mengatakan bahwa taqlid kepada para Imam madzhab adalah perbuatan syirik. Na’udzu Billah. Perkataan orang-orang semacam ini justru menegaskan bahwa mereka tidak paham terhadap kandungan al-Qur’an dan Sunnah. Segala praktek ibadah dan keyakinan orang-orang semacam ini patut dipertanyakan. Dari manakah mereka memahami teks-teks syari’at? Siapakah yang telah membawa teks-teks syari’at tersebut hingga turun kepada mereka? Atau kita mulai dengan pertanyaan sederhana ini; “Apakah mereka faham bahasa Arab?”, “Apakah mereka hafal dan faham ayat-ayat dan hadits ahkam dengan berbagai aspek di dalamnya; semisal ‘am khash, mutlaq muqayyad, nasikh mansukh, sabab an-nuzul dan lainnya?”, “Tahukan mereka apa definisi istirkha’ dan istibra’? “Tahukan mereka perbedaan antara al-ku’ dan al-bu’? Apakah mereka merasa lebih paham terhadap ajaran agama ini dibanding para ulama? Sungguh penulis sangat “khawatir”, jangan-jangan mereka yang sangat anti terhadap madzhab tidak mengetahui berapa rukun wudlu.

Catatan Kaki

[7] Thabaqât asy-Syafi’iyyah, j. 3, h. 364 mengutip dari Tabyîn Kadzib al-Muftarî.

[8] Ibid.

[9] Tabyîn Kadzib al-Mufarî, h. 49-50. Tulisan Ibn Asakir ini dikutip pula oleh Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 3, h. 362-363

[10] Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 3, h. 363

Posting Komentar untuk "Mengapa Kita Harus Empat Madzhab?"