Haram Mensholati Orang yang Meninggal Kafir Munafiq
Ngaji Soal Jawab Bab Jenazah 34
*34. Soal:*
Ada segelintir oknum yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad ﷺ pernah sengaja menshalâti orang yang jelas-jelas mati kâfir munâfiq, bahkan ditulis dalam sebagian buku yang mengatasnamakan buku agama Islâm, bagaimanakah sebenarnya kejadian itu, karena tidak mungkin Nabi ﷺ sengaja menshalâti seseorang yang beliau tahu orang itu mati kâfir ?
*Jawab:*
Ketahuilah bahwa pernyataan segelintir oknum yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad ﷺ pernah sengaja menshalâti orang yang jelas-jelas beliau tahu bahwa orang itu kâfir munâfiq *tidaklah benar*, bahkan itu adalah pernyataan yang mengandung unsur penghinaan kepada Nabi dan menganggap Nabi mempermainkan al-Qur’ân dan ajaran Islâm yang jelas-jelas beliaulah yang menyerukannya.
Maka haruslah difahami hal berikut:
*Pertama:*
Wâjib diyakini bahwa tidak mungkin Rasûlullâh bermain-main dalam urusan agama, karena pernyataan mereka itu menjadikan Rasûlullâh bermain-main dalam masalah agama, dan barangsiapa yang menganggap bahwa Rasûlullâh ﷺ bermain-main dalam masalah agama, sungguh dia telah mencela Rasûlullâh ﷺ dengan penghinaan yang sangat keji, dan *wâjiblah bersyahâdat kembali masuk Islâm*, karena menghina seorang Nabi utusan Allâh hukumnya adalah kekufuran dan kemurtadan.
Allâh telah nyatakan bahwa Nabi ﷺ tidak akan mengikuti hawa nafsu belaka dalam tindak tanduk dan perkataannya, Allâh berfirman:
﴿وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى﴾ [سورة النجم: 3-4]
Maknanya:
“Dan tidaklah dia (Muhammad) berbicara dari hawa nafsu belaka, tidaklah yang dia sampaikan kecuali wahyu yang diwahyukan” (Q.S. an-Najm: 3-4)
*Kedua:*
Apa yang sebenarnya terjadi adalah berkaitan dengan orang-orang munafiq yang pada saat itu ada di sekitar kaum muslimin di Madinah, Nabi ﷺ tidak mengetahui kecuali yang diwahyukan saja tentang siapa di antara mereka yang munâfiq, adapun yang tidak Allâh wahyukan kepada Nabi ﷺ siapa yang munâfiq, maka beliau tidak mengetahui, sehingga beliau menghukumi mereka dan bermu’âmalat dengan mereka berdasarkan zhâhirnya, apa yang beliau lihat dan dengar dari orang di sekitarnya, hanya Allâh saja yang maha mengetahui perihal hati semua hamba-Nya, Allâh berfirman:
﴿يَعْلَمُ خَآئِنَةَ ٱلْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِى ٱلصُّدُورُ﴾ [سورة: [المؤمن: 19]
Maknanya:
“Dia (Allâh) maha mengetahui mata yang khianat dan apa-apa yang disembunyikan oleh hati-hati hamba” (Q.S. al-Mukmin: 19)
Para ulamâ’ menyebutkan bahwa pada masa Nabi ﷺ ada seorang bernama ‘Abdullâh ibn Ubai ibn Salûl hidup di zaman Nabi ﷺ dan tinggal di lingkungan kaum muslimîn.
Dia ini seorang gembong munâfiq dari daerah al-Khuzruj, yang menyelinap di barisan kaum muslimîn di Madinah, bahkan dia merupakan salah satu dedengkot (pemimpin) kaum musyrikîn yang menyembunyikan kekufuran di balik senyuman dan ucapan salâm, menunjukkan seolah-olah dia bersyahâdat dengan penuh keyakinan, namun itu tidak lain adalah tipu muslihat belaka, yang pada akhirnya dia berupaya menimbulkan perpecahan di antara kaum muslimîn (Muhajirin dan Anshor).
Pada akhirnya terbukalah kedoknya dan kelompoknya dengan wahyu dari Allâh kepada Nabi-Nya Muhammad ﷺ mengenai perihal mereka, namun pada saat ditangkap si ‘Abdullâh ibn Ubai ibn Salûl ini menampakkan keIslâman, tidak mengakui kemunafikan yang diberitakan kepada Nabi ﷺ, maka diapun dilepaskan dari hukuman mati, dimana Nabi ﷺ melepaskannya agar tidak menimbulkan fitnah.
Setelah itu dia tetap menunjukkan seolah-olah dia telah sebenarnya masuk Islâm dan benar-benar menampakkan perbuatan selayaknya seorang muslim sejati, bahkan anaknya yang seorang shahâbat bernama ‘Abdullâh ibn ‘Abdillâh ibn Ubai ibn Salûl juga menyangka bapaknya itu telah benar-benar seorang muslim.
Sampai akhirnya pada saat kematiannya si ‘Abdullâh ibn Ubai ibn Salûl menampakkan seolah-olah dia sudah menjadi salah satu sahabat Nabi yang sejati.
Melihat hal ini berbaik sangkalah si anak yang seorang shahâbat itu, dia sampaikanlah kepada Rasûlullâh akan kematian bapaknya. Maka Nabi ﷺ juga menyangka bahwa si ‘Abdullâh ibn Ubai ibn Salûl telah benar-benar mati dalam Islâm, pergilah beliau mengunjungi rumah duka shahâbatnya dan beliaupun melaksanakan shalât atas jenazah ‘Abdullâh ibn Ubai ibn Salûl *dalam persangkaan tadi*, namun *kemudian turunlah firman Allâh*:
وَلَا تُصَلِّ عَلٰٓى أَحَدٍ مِّنْهُمْ مَّاتَ أَبَدًا وَّلَا تَقُمْ عَلٰى قَبْرِهِۗۦ إِنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَاتُوْا وَهُمْ فٰسِقُوْنَ (سورة التوبة: 84)
Maknanya:
"Dan janganlah engkau (wahai Muhammad) melaksanakan shalât untuk seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munâfiq nan kâfir) selama-lamanya dan janganlah engkau berdiri (mendo’âkan) di atas Kuburnya, sesungguhnya mereka ingkar kepada Allâh dan Rasûl-Nya dan mereka mati dalam keadaan fâsiq". (Q.S. at-Taubah: 84)
Saat itu barulah Nabi ﷺ tahu bahwa si mayit ini adalah seorang kâfir munâfiq, dan bahwa ternyata penampakan keIslâmannya itu hanya kedok untuk selamat dari hukuman mati belaka, bukan karena keîmânan yang sesungguhnya, maka beliaupun meninggalkannya.
Jadi inilah yang sebenarnya, bukan Nabi ﷺ sengaja menshalâti si munâfiq itu dalam keadaan sudah tahu perihal kekufurannya, tidaklah seperti itu kebenarannya, akan tetapi yang terjadi adalah karena beliau benar-benar tidak tahu sebelum mendapatkan wahyu tersebut bahwa si Abdullah ibn Ubai ibn Salul ini seorang munâfik, menyimpan kekufuran di hatinya, sebab perkara hati orang lain adalah perkara yang ghaib.
Kemudian dapat diambil i’tibâr bahwa *Nabi ﷺ tidak akan melakukan shalât atas siapa saja yang beliau ketahui orang itu mati dalam kekufuran* dari hadîts yang diriwâyatkan oleh al-Imâm Abû Dâwûd dari ‘Ali ibn Abî Thâlib radhiyallâhu ‘anhu beliau berkata:
قُلْتُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "إِنَّ عَمَّكَ الشَّيخَ الضَّالَ قَدْ مَاتَ"، قَالَ «اذْهَبْ فَوَارِ أَبَاكَ ثُمَّ لَا تُحَدِّثَنَّ شَيْئًا حَتَّى تَأْتِيَنِي» فَذَهَبْتُ فَوَارَيْتُهُ وَجِئْتُهُ فَأَمَرَنِي فَاغْتَسَلْتُ وَدَعَا لِي
“Aku berkata kepada Nabi ﷺ ; “sesungguhnya paman anda, *orang tua yang sesat (musyrik) itu telah mati*”, beliau bersabda: “pergilah kamu kuburkan bapakmu, kemudian jangan kamu berbicara suatu halpun sampai kamu mendatangiku”, maka akupun pergi dan aku menguburkannya, kemudian aku mendatangi beliau dan beliau memerintahkanku untuk mandi dan akupun mandi, lalu beliau mendo’âkan kebaikan untukku” (H.R. Abû Dâwûd)
*Abû Thâlib* adalah paman kandung Nabi, mengasuhnya ketika di usia belia saat ditinggal wafat ibu dan kakeknya, namun demikian hukum Allah harus lebih diperhatikan daripada memikirkan sisi perasaan kemanusiaan, karena Abu Thalib tidak mau masuk Islam bahkan menjelang kematiannya diperintah untuk bersyahadat namun dia mengabaikannya hingga mati dalam kekâfirannya beliaupun sama sekali tidak pergi mengurus mayit Abû Thâlib, beliau hanya menyuruh Ali untuk mengubur mayit bapaknya itu, dengan hikmah yang di antaranya agar bau mayatnya tidak mengganggu kaum muslimîn jika dibiarkan tanpa dipendam.
Maka, waspadailah cerita orang yang mengatakan Nabi Muhammad ﷺ sengaja menshalâti orang munâfiq padahal sudah tahu dia munâfiq, karena ini adalah kedustaan dalam urusan aqîdah Islâm dan penghinaan terhadap aqîdah Nabi Muhammad ﷺ.
« حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الوَكِيْل »
اللّٰهُمَّ نَجِّنَا مِنَ النِّفَاقِ وَالْمُنَافِقِيْنَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
*Peringatan:*
روي عن الحسن البصري أنه قال : النفاق نفاقان نفاق عمل ونفاق التكذيب
Diriwayatkan dari Al Hasan Al Bashri
--rohimahuLlöh-- bahwa Ada dua macam nifäq [pelakunya disebut munäfiq], yaitu:
1. Nifäq perbuatan. Pelaku nya berdosa, masih tergolong umat Islam.
2. Nifäq pendustaan pada ALlöh, Rasul Nya atau apa yang menjadi ajarannya. Walaupun ia bersyahadat, sholat, puasa dan lain sebagainya, pelakunya bukan orang Islam. Alias Kafir.
Intaha
Bersambung
Allah Ada Tanpa Tempat
Posting Komentar untuk "Haram Mensholati Orang yang Meninggal Kafir Munafiq"