Definisi Tempat dan Arah Menurut Para Ulama
Definisi Tempat
Ahli bahasa terkemuka (al-Lughawiy) Abul Qasim al-Husain bin Muhammad yang dikenal dengan sebutan ar-Raghib al-Ashbahani (w 502 H) berkata:
المكان عند أهل اللغة الموضع الحاوي للشىء. اهـ
“Tempat (al-Makân) menurut ahli bahasa adalah ruang yang meliputi bagi sesuatu”
_
Al-Mufradat Fi Gharib al-Qur’an, h. 471
=====
Al-Lughawiy Majduddin Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi, penulis kitab al-Qâmûs, (w 817 H) menuliskan:
المكان: الموضع، ج أمكنة وأماكن. اهـ
“Tempat (al-Makân) adalah ruang, bentuk jamaknya Amkinah dan Amâkin”
___
Al-Qâmûs al-Muhîth, h. 1594
=====
Al-‘Allâmah Kamaluddin Ahmad bin Hasan al-Bayyadli al-Hanafi (w 1098 H) berkata:
المكان هو الفراغ الذي يشغله الجسم. اهـ
“Tempat (al-Makân) adalah ruang yang dipenuhi oleh benda”
__
Isyarât al-Marâm, h. 197
=====
Asy-Syaikh Yusuf bin Sa’id ash-Shafati al-Maliki (w 1193 H) menuliskan:
قال أهل السُّنة : المكان هو الفراغ الذي يحُلُّ فيه الجسم.
“Ahlussunnah berkata: “Tempat adalah ruang kosong yang menyatu (berada) di dalamnya suatu benda”
__
Hâsyiyah ash-Shafati, Nawâqidl al-Wudlû’, h. 27
=====
Al-Imâm al-Hâfizh al-Muhaddits al-Faqîh al-Lughawiy; Sayyid Muhammad Murtadla az-Zabidi al-Hanafi (w 1205 H) berkata:
المكان : الموضع الحاوي للشىء.
“Tempat (al-Makân) adalah ruang yang meliputi bagi sesuatu”
__
Tâj al-‘Arûs, j. 9, h. 348
=====
Asy-Asy-Syaikh Salamah al-Qudla’i al-‘Azami asy-Syafi’i (w 1376 H) menuliskan:
المكان هو الموضع الذي يكون فيه الجوهر على قدره، والجهة هي ذلك المكان
“Tempat (al-Makân) adalah ruang yang ada di dalamnya suatu benda yang mencukupinya, dan arah (al-Jihah) adalah tempat tersebut”
___
Furqân al-Qur’ân, h. 62 (Dicetak bersama kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat karya al-Bayhaqi)
=====
Al-Muhaddits al-Faqîh al-‘Allâmah asy-Asy-Syaikh Abdullah al-Harari yang dikenal dengan sebutan al-Habasyi (w 1429 H) berkata:
المكان هو ما يأخذه الحجم من الفراغ
“Tempat (al-Makân) adalah ruangan yang diambil oleh suatu benda”.
Pernyataan yang kita kutip di atas ini adalah ketetapan dari para ahli bahasa dalam definisi tempat; ini sebagai dalil bahwa Rasulullah dan para sahabatnya berkeyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak bertempat di arsy, tidak pula bertempat di langit. Sesungguhnya al-Qur’an turun dengan bahasa Arab, sebagaimana firman Allah: “Bi Lisânin ‘Arabiyyin Mubîn” (QS. Asy-Syu’ara: 195), dan Rasulullah adalah seorang Arab yang sangat tahu benar seluk-beluk dan penggunaan bahasa Arab. Dengan demikian jelas sesat kaum Musyabbihah Mujassimah yang berpegangteguh dengan teks-teks zahir ayat-ayat dan hadits-hadits mutasyabihat yang seakan menyebutkan bahwa Allah memiliki tempat. Sesungguhnya teks-teks mutasyabihat itu tidak boleh dipahami dalam makna zahirnya sebagaimana disepakati oleh para ulama Salaf dan Khalaf; oleh karena itu mereka semua berkeyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat, karena Dia bukan benda, sebagaimana kesucian Allah ini telah ditetapkan oleh al-Qur’an, hadits, konsensus ulama, para pakar bahasa, dan lainnya.
Definisi Arah
Berikut ini adalah perkataan sebagian ulama terkemuka dalam menjelaskan definisi arah (al-Jihah) dan tuntutan-tuntutan yang terkait dengannya (al-Lawazim), di antaranya:
﴾ 1 ﴿ Ahli bahasa terkemuka; asy-Syaikh Muhammad bin Mukarram al-Ifriqiy al-Mishriy yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnul Manzhur (w 711 H), seorang ulama terkemuka pakar Nahwu, pakar bahasa, dan pakar sastra, berkata:
والجِهةُ والوِجْهةُ جميعًا: الموضع الذي تتوجه إليه وتقصده.
“Al-Jihah dan al-Wijhah (arah) memiliki makna yang sama, yaitu suatu tempat yang kamu menghadap kepadanya dan yang kamu tuju”[1].
﴾ 2 ﴿ Asy-Syaikh Musthafa bin Muhammad ar-Rumiy al-Hanafiy yang dikenal dengan sebutan al-Kastulliy (w 901 H) berkata:
قد يطلق الجهة ويراد بها منتهى الإشارات الحِسيّة أو الحركات المستقيمة فيكون عبارة عن نهاية البُعد الذي هو المكان، ومعنى كون الجسم في جهة أنه متمكّن في مكان يلي تلك الجهة، وقد يُسمى المكان الذي يلي جهة ما باسمها كما يقال فوق الأرض وتحتها، فيكون الجهة عبارة عن نفس المكان باعتبار إضافة ما. اهـ
“Penyebutan kata al-Jihah (arah); terkadang yang dimaksud adalah bagi sebuah penghabisan dari isyarat indrawi atau gerakan-gerakan yang lurus. Dengan demikian kata al-Jihah adalah ungkapan bagi penghabisan jarak terjauh; yang itu merupakan tempat. Kadang pula kata al-Jihah yang dimaksud adalah tempat yang mengikut dengan arah yang dinamakan dengan nama demikian (artinya dinamakan dengan al-Jihah/arah), seperti bila dikatakan “fawq al-ardl” (di atas bumi), atau “taht al-ardl” (di bawah bumi). Dengan demikian arah (al-Jihah) adalah ungkapan bagi makna tempat dengan adanya sandaran apapun baginya (arah bawah, arah atas, dan seterusnya)”[2].
﴾ 3 ﴿ Pakar bahasa Majduddin Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi (w 817 H) berkata:
والجهة : الناحية، ج: جهات
“al-Jihah sama dengan an-Nâhiyah (arah; puncak atau penghabisan yang kita tuju), kata jamaknya al-Jihat”[3].
﴾ 4 ﴿ Al-‘Allâmah asy-Syaikh Kamaluddin Ahmad bin Hasan yang dikenal dengan sebutan al-Bayyadli (w 1098 H), pernah memangku jabatan hakim wilayah kota Halab (Aleppo), berkata:
والجهة اسم لمنتهى مأخذ الإشارة ومقصد المتحرك فلا يكونان إلا للجسم والجسمانيّ، وكل ذلك مستحيل ـ أي على الله
“Definisi al-Jihah (arah) adalah nama bagi penghabisan dari sebuah isyarat, penghabisan tempat bagi sesuatu yang bergerak kepadanya; maka demikian dua sifat ini tidak terjadi kecuali hanya pada benda dan sifat benda saja. Itu semua adalah perkara mustahil bagi Allah”[4].
﴾ 5 ﴿ Al-‘Allâmah asy-Syaikh Abdul Ghaniy an-Nabulsiy (w 1143 H) berkata:
والجهة عند المتكلمين هي نفس المكان باعتبار إضافة جسم ءاخر إليه
“Definisi al-Jihah (arah) menurut para ahli teologi adalah sama dengan tempat dengan melihat adanya suatu benda yang bersandar kepadanya (berada padanya)”[5].
﴾ 6 ﴿ Al-‘Allâmah asy-Syaikh Salamah al-Qudla’i asy-Syafi’i (w 1376 H) berkata:
واعلم أن بين المقدرات من الجواهر التي هي الأجسام فما دونها وبين المكان والجهة لزومًا بَيّنًا، وهو ما لا يحتاج عند العقلاء إلى دليل، فإن المكان هو الموضع الذي يكون فيه الجوهر على قدره، والجهة هي ذلك المكان لكن بقيد نسبته إلى جزء خاص من شىء ءاخر. اهـ
“Ketahuilah bahwa segala sesuatu yang memiliki ukuran; -dari segala benda- yang pastilah dia itu merupakan tubuh (al-Jism), atau yang lebih kecil dari tubuh (seperti al-Jawhar al-Fard; yaitu benda yang telah sampai batas terkecil yang tidak lagi dapat dibagi-bagi); itu semua dengan tempat dan arah memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Bagi orang-orang berakal ini adalah perkara jelas yang tidak membutuhkan kepada argumen; (artinya bahwa segala benda pasti memiliki tempat dan arah), karena definisi tempat adalah suatu ruang yang berada padanya suatu benda seukuran tempat itu sendiri, dan definisi arah adalah tempat itu sendiri dengan ikatan adanya penyandaran suatu benda lain kepadanya”[6].
﴾ 7 ﴿ Al-‘Allâmah al-Muhaddits al-Faqîh asy-Syaikh Abdullah al-Harari asy-Syafi’i al-Asy’ari yang dikenal dengan sebutan al-Habasyi berkata:
وإذا لم يكن - الله - في مكان لم يكن في جهة لا علو ولا سفل ولا غيرهما لأنها إما حدود وأطراف للأمكنة أو نفس الأمكنة باعتبار عروض الإضافة إلى شىء
“Oleh karena Allah ada tanpa tempat; maka berarti Dia ada tanpa arah, tidak di arah atas, tidak di arah bawah, juga tidak di arah lainnya. Karena definisi arah itu adalah batasan dan ujung dari tempat, atau bahwa arah itu adalah tempat itu sendiri dengan melihat dari adanya sesuatu yang lain yang disandarkan kepadanya”[7].
____
[1] Lisân al-‘Arab, j. 13, h. 556
[2] Hâsyiyah al-Kastulli ‘Alâ Syarh al-‘Aqâ-id Li at-Taftzâni, h. 72
[3] Al-Qâmûs al-Muhîth, h. 1620
[4] Isyârât al-Marâm, h. 197
[5] Râ’ihah al-Jannah Syarh Idlâ’ah ad-Dujinnah, h. 49
[6] Furqan al-Qur’an (dicetak bersama al-Asma’ Wa ash-Shifat karya al-Bayhaqi), h. 62
[7] Al-Habasyi, Al-Mathalib al-Wafiyyah Bi Syarh al ‘Aqidah an-Nasafiyyah, h. 47
Posting Komentar untuk "Definisi Tempat dan Arah Menurut Para Ulama"