Hukum Tentang tentang Dukun dan Peramal
Setiap Akhir tahun baik Masehi maupun hijriyah ataupun kaleder yang lain seperti china, selalu banyak ramalan yang disampaikan oleh para peramal mengenai peristiwa apa saja yang terjadi pada tahun berikutnya. Bahkan setiap ada Pemilu dan event-event lainnya, seperti pemilihan pemimpin daerah ataupun penyelenggaraan turnamen olahraga atau pun tentang jodoh dan lainnya, selalu ada orang yang meramal ini itu dan sebagainya.
Bagaimana Islam memandang hal itu? Dan Apa hukumnya mempercayai ramalan para peramal? Dan Hukum orang yang meramal?
Salah satu diantara kewajiban hati adalah bertawakkal kepada Allah, yaitu bersandar dalam segala urusan kepada Allah Ta'ala. Wajib bagi kita berserah diri kepada Allah, karena Allah-lah pencipta manfaat dan mudharat serta pencipta segala sesuatu. Tidak ada yang menimpakan bahaya dan memberikan manfaat secara hakiki kecuali hanya Allah. Jika seorang hamba telah meyakini hal itu maka dia akan dapat berserah diri kepada Allah dalam segala urusan, baik rezeki, jodoh dan lainnya termasuk urusan keselamatan dari berbagai macam bahaya. Jadi, tawakkal hakikatnya adalah percaya sepenuh hati kepada Allah ta’ala.
Imam al-Junaid al-Baghdadi berkata:
اَلتَّوَكُّلُ هُوَ تَرْكُ الْاِعْتِمَادِ الْحَقِيْقِيِّ عَلَى غَيْرِ اللهِ
“Tawakkal adalah meninggalkan bersandar (berserah diri) secara hakiki kepada selain Allah.”
Orang yang bertawakkal kepada Allah akan menjauhi perbuatan yang diharamkan oleh Allah, seperti melakukan praktik sihir dan mendatangi para dukun dan peramal. Karena Nabi shallallahu ‘alaih wasallam telah bersabda:
مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ (رواه الحاكم)
Maknanya: “Barang siapa mendatangi peramal atau dukun lalu mempercayai apa yang ia katakan (meyakini bahwa dukun dan peramal mengetahui semua yang ghaib), maka dia telah kafir terhadap ajaran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad” (HR al-Hakim).
Kahin (peramal) adalah orang yang memberikan informasi tentang hal-hal yang akan terjadi di masa yang akan datang. Biasanya peramal bekerja sama dengan jin. Jin mendatanginya dengan berbagai macam informasi. Lalu peramal berpedoman kepada informasi dari jin itu dan berbicara kepada orang-orang bahwa akan terjadi ini dan itu. dan juga biasanya hanya faktor cocokologi saja. dengan kata lain adalah silat lidah.
'Arraf (dukun) adalah orang yang berbicara tentang peristiwa yang telah terjadi dan berlalu, seperti tentang barang yang dicuri dan semacamnya. Dukun juga demikian menggunakan cocokologi saja atau hanya dengan silat lidah dengan menggali informasi dari yang telah berlalu dari pasiennya.
Hadits di atas bermakna bahwa barang siapa mendatangi peramal atau dukun dan meyakininya mengetahui semua yang ghaib, maka dia telah kufur kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena tidak ada satu pun yang mengetahui segala yang ghaib secara keseluruhan kecuali Allah.
Allah ta’ala berfirman:
قُلْ لَّا يَعْلَمُ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ الْغَيْبَ اِلَّا اللّٰهُۗ (سورة النمل: ٦٥)
Maknanya: “Katakanlah: Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah” (QS an-Naml: 65).
Akan tetapi jika seseorang menduga bahwa apa yang dikatakan peramal atau dukun itu bisa benar sesuai kenyataan atau salah, maka ia tidak kafir. Melainkan ia telah jatuh pada perbuatan maksiat, karena bertanya kepada mereka adalah sesuatu yang dilarang dalam agama.
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa sebagian dari jin terkadang mencuri dengar dari para malaikat yang ditugaskan untuk menurunkan hujan ketika para malaikat tersebut berada di awan. Para jin naik ke sebuah tempat di dekat awan. Para jin mencuri dengar ketika para malaikat sedang berbicara di antara mereka tentang peristiwa-peristiwa yang akan terjadi seperti kematian seseorang, kelahiran bayi, diangkatnya seseorang menduduki jabatan tertentu atau dipecatnya seseorang dari sebuah jabatan dan hal-hal lain yang Allah beritahukan kepada para malaikat.
Karena memang Allah memberitahu para malaikat, para nabi dan para wali tentang sebagian perkara ghaib dan tidak memberitahukan kepada mereka seluruh perkara ghaib. Sesudah para jin tersebut mencuri dengar dari para malaikat, maka mereka turun ke bumi. Lalu mereka memberitahukan hal itu kepada orang-orang yang berteman dengan mereka dari kalangan manusia. Karena yang dilakukan oleh para jin itu adalah mencuri dengar, maka apa yang mereka dengar bisa jadi sesuai dengan apa yang dibicarakan oleh para malaikat, dan bisa jadi tidak sesuai. Banyak salahnya ketimbang benarnya.
Marilah kita waspadai juga orang-orang yang mengaku mampu menghadirkan malaikat dan roh orang telah meninggal, padahal kenyataannya yang mereka datangkan adalah jin. Ingatlah, Roh (nyawa) orang yang bertakwa tidak ingin kembali ke dunia, meskipun mereka menguasai dunia dan seluruh isinya. Sedangkan roh orang kafir berada di bawah kekuasaan para malaikat penyiksa. Jelas para pembohong tersebut tidak akan mampu menarik dan merebut roh orang kafir dari para malaikat penyiksa.
Jadi yang datang ke hadapan mereka, tiada lain adalah jin yang dulu mengetahui keadaan orang yang telah meninggal itu dan hidup bersamanya. Bisa jadi adalah jin qarin-nya atau jin lain yang mengetahui orang tersebut, sehingga ia berbohong dan berkata: “Aku adalah rohnya si Fulan.”
Sedangkan orang yang mengulang-ulang bacaan ayat tertentu dengan jumlah tertentu untuk tujuan yang baik, maka hal itu tidaklah menyalahi syariat. Karena orang seperti ini bisa saja didatangi oleh mala’ikatur-rahmah (para malaikat pembawa rahmat) disebabkan berkah ayat tersebut. Sedangkan orang yang bertujuan dunia tidak akan didatangi oleh mala’ikatur-rahmah.
Marilah kita mendekat kepada para ulama yang sebenarnya. Yaitu para ulama yang betul-betul menjadi pewaris para nabi yang sanad keilmuannya bersambung hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan menimba ilmu dari mereka, kita akan mampu membedakan antara ulama yang sebenarnya dan yang hanya mengaku-ngaku sebagai ulama padahal sejatinya ia hanyalah seorang dukun atau peramal.
Syekh ‘Abdul Wahhab asy-Sya’rani rahimahullah dalam kitabnya, Latha-if al-Minan wa al-Akhlaq mengutip dari Ibnu ‘Arabi bahwa ia berkata:
مَنْ أَرَادَ أَنْ لَا يَضِلَّ فَلَا يَرْمِ مِيْزَانَ الشَّرِيْعَةِ مِنْ يَدِهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ بَلْ يَسْتَصْحَبُهَا لَيْلاً وَنَهَارًا عِنْدَ كُلِّ قَوْلٍ وَفِعْلٍ وَاعْتِقَادٍ
“Barang siapa ingin tidak tersesat, maka janganlah dia membuang timbangan syari’at dari tangannya meskipun sekejap mata, sebaliknya hendaklah selalu membawanya di malam dan siang hari, mengiringi setiap perkataan, perbuatan dan keyakinan.”
Kita tidak akan memiliki timbangan syariat tanpa menimba ilmu agama dari para ulama Ahlussunnah wal jamaah yang terpercaya. Setiap kita menghadiri majelis-majelis ilmu agama, maka akan semakin kuat timbangan syariat di tangan kita. Seseorang yang mempelajari dan memahami ilmu agama dengan baik, maka ia akan mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang terpuji dan yang keji, antara yang halal dan yang haram, antara kekufuran dan keimanan, antara kiai dan peramal, antara ustadz dan dukun dan antara ulama dan penyihir.
Semoga ini bermanfaat bagi kita untuk menghindari persinggungan dengan praktik perdukunan dan ramalan, dan senantiasa bertawakal secara penuh kepada Allah, sang pemilik hakiki bahaya dan manfaat, Dzat yang Maha Mengetahui segala yang ghaib.
Posting Komentar untuk "Hukum Tentang tentang Dukun dan Peramal"