Diantara Keyakinan Sesat Al Albani
Al-Albani Berkeyakinan Allah Meliputi Alam Ini Sebagaimana Sebuah Bola Meliputi Apa Yang Ada Di Dalamnya
Di antara keyakinan sesat al-Albani, yang dengannya ia sejalan dengan keyakinan sesat Ahmad ibn Taimiyah, adalah keyakinanya bahwa Allah meliputi alam ini dari seluruh arah, sebagaimana sebuah wadah (bejana) meliputi segala apa yang ada di dalamnya.
Keyakinan sesat semacam ini tidak pernah diungkapkan oleh siapapun dari golongan Ahlussunnah Wal Jama'ah, bahkan juga tidak pernah dinyatakan oleh orang- orang sebelum al-Albani dari golongan Musyabbihah (yang notabene golongan dirinya sendiri).
Al-Albani menyebutkan keyakinan rusaknya itu dalam karyanya berjudul Shahih at-Targhib Wa at-Tarhib. [Ini menjadi bukti kerancuannya]; bagaimana ia menselaraskan pemahaman rusaknya yang menetapkan Allah dengan Dzat-Nya di atas 'Arsy, lalu di saat yang sama ia juga mengatakan bahwa Allah meliputi alam ini dari seluruh arah?! Jelas, ini kontradiksi yang sangat nyata.
Keyakinan al-Albani ini berseberangan dengan keyakinan golongan dirinya sendiri, yaitu golongan Wahhabiyyah, golongan Musyabbihah Mujassimah, yang berkata Allah di atas 'Arsy saja. Faham ekstrem al-Albani ini menyempal dari golongannya sendiri.
Faham sesat al- Albani ini timbul dari pemahamannya yang rusak terhadap firman Allah: "Wa Kanallah bi kulli syai'in muhitha" (QS. an-Nisa': 126).
Padahal makna yang dimaksud adalah bahwa Allah maha mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya terhadap segala sesuatu serincinya, tidak ada suatu apapun yang tersembunyi dari-Nya.Lihat Tafsir al-Qurthubi (5/403), Tafsir ath-Thabari (7/530)
Sementara al-Albani, dari karena sikap serampangan [dan dengan se-enak perutnya] maka ia telah menyalahi dirinya sendiri dan kelompoknya, tanpa dia sadari.
Anda lihat, apa yang akan dikatakan oleh keompoknya sendiri, golongan Wahhabiyyah, karena ia telah menetapkan keyakinan yang jelas berseberangan dengan keyakinan mereka?! Apakah mereka akan menyesatkannya atau mereka akan mendiamkannya?! Karena sesungguhnya al-Albani ini adalah salah satu rujukan utama golongan Wahhabiyyah, pemimpin mereka, bahkan mereka menganggapnya sebagai mujaddid masa sekarang.
Paham al-Albani di atas jelas menyerupakan Allah dengan ciptaan-Nya. Ia menjadikan Allah meliputi alam ini dari berbagai arah penjuru. Menurutnya, Allah berada di bawah alam, di atas alam, di samping kanan alam, di samping kiri alam, di arah depannya dan di arah belakangnya. Padahal itu adalah keyakinan sesat yang tidak pernah diyakini oleh seorang muslim-pun, bahkan tidak ada seorang kafir-pun sebelumnya.
Berikut ini adalah tulisan al-Albani dalam menetapkan keyakinan rusak tersebut, berkata:
فائدة هامة، اعلم أن قوله في هذا الحديث: " فإن الله قبل وجهه"، وفي الحديث الذي قبله: "فإن الله عز وجل بين أيديكم في صلاتكم"، لا ينافي كونه تعالى على عرشه فوق مخلوقاته كلها كما تواترت فيه عنهم، ورزقنا الاقتداء بهم، فإنه الله نصوص الكتاب والسنة وآثار الصحابة والسلف الصالح رضي تعالى مع ذلك واسع محيط بالعالم وقد أخبر أنه حيثما توجه العبد فإنه مستقبل وجه الله عز وجل بل هذا شأن مخلوقه المحيط بما دونه فإن كل خط يخرج من المركز إلى المحيط، فإنه يستقبل وجه المحيط وبواجهه، وإذا كان عالي المخلوقات يستقبل سافلها المحاط بها بوجهه من جميع الجهات والجوانب، فكيف بشأن من هو بكل شئ محيط، وهو محيط ولا يحاط به؟ وراجع بسط هذا في كتب شيخ الاسلام ابن تيمية كالحموية والواسطية. اهـ
"Faedah penting, ketahuilan bahwa sabda Rasulullah dalam Hadits ini; "Fa inallah qibala wajhih, dan dalam Hadits sebelumnya; "Fa innallah baina aidikum fi shalatikum", itu semua tidak menafikan adanya Allah di atas 'Arsy- Nya di atas seluruh makhluk-Nya, sebagaimana telah banyak penyebutan demikian [mutawatir] dalam Al-Qur'an, Sunnah, Atsar Sahabat, dan Salaf saleh. -Allah memberi karunia bagi kita untuk mengikuti mereka-.
Maka sesungguhnya, walau demikian [walau Dia di atas "Arsy-Nya], namun Allah maha luas meliputi alam ini seluruhnya. Dan Dia [Allah] sendiri memberitakan bahwa seorang hamba ke arah manapun ia menghadap maka sesungguhnya ia menghadap kepada wajah Allah.
Sungguh, demikian itulah keadaan para makhluk-Nya, Dia meliputi dengan segala apa yang ada di bawah-Nya. Karena setiap garis [dari setiap hamba] yang [menghadap] keluar dari titik pusatnya maka ia menghadap ke arah yang meliputinya.
la [setiap hamba] menghadap ke arah wajah yang meliputinya [yaitu Allah], ia berhadap-hadapan dengan-Nya.
Dengan demikian, jika makhluk-Nya yang paling atas sekalipun ia itu menghadap ke arah bawahnya yang diliputi oleh wajah-Nya dari seluruh arahnya dan sisi-sisinya, [maka terlebih lagi yang ada di bawah-Nya], dengan demikian jelaslah Dia meliputi segala sesuatu [dari berbagai arah], dan Dia tidak diliputi oleh suatu apapun. Silahkan rujuk pembahasan luas masalah ini dalam kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seperti kitab al-Hamawiyyah dan al-Wasithiyyah".
[Demikian tulisan al- Albani, Shahih at-Targhib Wa at-Tarhib (1/116). Ini juga merupakan keyakinan Ibnu Taimiyah yang ia sebutkan dalam karyanya berjudul 'Arsy ar-Rahman, dicetak dalam himpunan kitab berjudul ar-Rasa-il Wa al-Masa-il (4/126-129)].
Tulisan al-Albani dengan teksnya tersebut di atas kita kutip seutuhnya supaya menjadi lebih jelas bagi para pembaca bahwa itulah keyakinan al- Albani, menetapkan bahwa Allah meliputi alam ini dari seluruh arahnya dengan Dzat-Nya, bukan meliputi alam ini dengan ilmu-Nya seperti apa yang telah diyakini oleh seluruh umat Islam, Salaf dan Khalaf.
Anda perhatikan pula, al-Albani [dalam tulisannya di atas] menggiring pembacanya untuk merujuk kepada karya-karya Ibnu Taimiyah, oleh karena ia sepaham dengan keyakinan sesat Ibnu Taimiyah dalam akidah tasybih dan tajsim.
Karena, memang keyakinan sesat al-Albani tersebut tidak ada dalam karya- karya ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah, keyakinan sesat semacam itu hanya ada dalam karya-karya golongan Musyabbihah Mujassimah, seperti Ibnu Taimiyah dan golongan Wahhabiyyah para pengikut Ibnu Taimiyah. Dan golongan Wahhabiyyah itu adalah bayangan bagi Ibnu Taimiyah, [artinya; sama sesatnya].
sabda Rasulullah dalam Hadits ini;
" فإن الله قبل وجهه"، وفي الحديث الذي قبله: "فإن الله عز وجل بين أيديكم في صلاتكم"
"Fa inallah qibala wajhih, dan dalam Hadits sebelumnya; "Fa innallah baina aidikum fi shalatikum",
Makna yang benar dimaksud oleh Hadits ini adalah bahwa rahmat Allah di hadapan seorang yang sedang melaksanakan shalat. Demikian pula makna Hadits berikutnya (yang dikutip oleh al-Albani), artinya rahmat Allah di hadapan seorang yang sedang shalat. [Penerjemah].
Al-Albani Berkeyakinan Bahwa Menafikan (Meniadakan) Semua Arah Dari Allah Adalah Sama Dengan Menafikan Keberadaan Allah
Al-Albani dalam kitab karyanya berjudul Mukhtashar al-'Uluww, berkata:
قال الألباني في كتابه المسمّى «مختصر العلو»:
«أراد بعضهم تنزيه الله عن المكان فوقعوا فيما هو شر منه، ألا وهو التعطيل المطلق المستلزم نفي وجوده تعالى أصلًا، فقالوا: الله ليس فوق ولا تحت ولا يمين ولا يسار ولا أمام ولا خلف، لا داخل العالم ولا خارجه، لا متصلًا ولا منفصلًا عنه».اهـ.
"Sebagaian mereka berkehendak mensucikan Allah dari tempat maka mereka terjatuh dalam apa yang lebih buruk dari itu, yaitu jatuh dalam pengingkaran yang mutlak (ta'thil muthlaq) yang berakibat kepada meniadakan wujud Allah sama sekali, maka mereka berkata: Allah tidak di atas, tidak di bawah, tidak di samping kanan, tidak di samping kiri, tidak di depan, tidak di belakang, tidak di dalam alam, tidak di luar alam, tidak menempel dengan alam, dan tidak terpisah darinya". [Demikian tulisan al- Albani, Mukhtashar al-Uluw, h. 122].
Bantahan:
Seandainya al-Albani memiliki pemahaman yang lurus maka tidak akan timbul pernyataan rusak terhadap Ahlussunnah seperti perkataannya di atas. Hanya saja, memang al-Albani ini seorang Musyabbih Mujassim, ber- taqlid kepada kesesatan Ibnu Taimiyah al-Mujassim yang mengatakan Allah bukan di dalam alam tetapi berada di luar alam.
قال ابن تيمية في «الرسالة التدمرية» ما نصّه: «وليس في الكتاب والسُّنَّة وصف له بأنه لا داخل العالم ولا خارجه ولا مباينه ولا مداخله».اهـ.
Dalam karyanya berjudul ar- Risalah at-Tadmuriyyah, Ibnu Taimiyah berkata:
"Dan tidak ada dalam Al- Qur'an dan dalam Hadits penyebutan sifat bagi Allah tidak di dalam alam, juga tidak di luarnya, juga tidak ada penyebutan sifat bagi-Nya] tidak terpisah dari alam, juga tidak menyatu di dalamnya". [Demikian tulisan Ibnu Taimiyah, ar-Risalah at-Tadmuriyyah, h. 52].
وقال ابن تيمية في تفسير سورة الأعلى ما نصّه: «والجهمية الذين يقولون: ليس هو داخل العالم ولا خارجه ولا يشار إليه البتة، هم أقرب إلى التعطيل والعدم».اهـ.
Dalam kitab Tafsir Surat al-A'la, Ibnu Taimiyah berkata:
"Dan golongan Jahmiyyah berkata: Dia [Allah] tidak di dalam alam, juga tidak di luar alam, dan tidak boleh sedikitpun ditunjukan kepada-Nya dengan isyarat, mereka itu lebih dekat kepada keyakinan ta'thil (atheisme; mengingkari wujud Allah)". [Demikian tulisan Ibnu Taimiyah, Majmu'ah at-Tafsir, h. 20].
وقال ابن تيمية في موضع ءاخر منه ما نصّه: «وإن قيل: إنه لا داخل العالم ولا خارجه كان ذلك تعطيلًا له، فهو منزه عن هذا».اهـ
Di bagian lain dalam kitab Tafsir Surat al-A'la, Ibnu Taimiyah menuliskan: "Jika dikatakan; Dia [Allah] tidak di dalam alam, juga tidak di luar alam; maka [pemahaan] demikian itu adalah ta'thil bagi-Nya (mengingkari keberadaan-Nya), maka Dia Allah maha suci dari pemahaman demikian itu". [Demikian tulisan Ibnu Tamiyah, Majmu'ah at-Tafsir, h. 290].
Jawab:
Katakan [bagi mereka], Allah meniadakan keserupaan bagi Dzat-Nya dengan suatu apapun, secara mutlak, dengan firman-Nya: "Dia (Allah) tidak menyerupai suatu apapun dari ciptaan-Nya" (QS. asy-Syura: 11), tidak dikhususkan dengan menyebutkan sesuatu tanpa sesuatu yang lain, ayat ini bermakna menyeluruh, mutlak.
Dengan demikian maka jika Allah menempel dengan sesuatu maka akan ada banyak yang serupa bagi-Nya tidak terhingga, demikian pula jika Allah terpisah dari sesuatu maka ada banyak yang sama dengan-Nya tidak terhingga.
Dan jika Allah bergerak maka Dia memiliki banyak kesamaan, juga jika Allah diam maka Dia memiliki banyak kesamaan, demikian pula jika Allah kadang bergerak dan kadang diam maka Dia memiliki banyak kesamaan.
Dan jika Allah memiliki bentuk dan ukuran maka ada banyak yang serupa dengan-Nya yang tidak terhingga.
Dengan demikian maka dengan ayat ini Allah menjelaskan kepada kita bahwa Dia maha suci dari seluruh sifat-sifat benda seperti demikian itu.
Kemudian, jika ada orang berkata: "Jika Allah tidak memiliki sifat-sifat seperti demikian itu maka berarti Allah tidak ada!"
Jawab:
Bukanlah syarat keberadaan itu harus dapat dibayangkan [digambarkan] dalam akal pikiran. Pada makhluk saja ada sesuatu yang tidak dapat dibayangkan oleh akal pikiran, yaitu adanya masa (waktu) yang pada masa tersebut tidak ada cahaya dan juga tidak ada kegelapan, sementara beriman dengan adanya masa (waktu) demikian itu wajib, dengan dalil firman Allah:
"Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit-langit dan bumi dan yang telah menjadikan segala kegelapan dan cahaya" (QS. al-An'am: 1).
Makna ayat ini, Allah yang telah menciptakan cahaya dan kegelapan dari semula keduanya tidak ada. Sementara itu, cahaya dan kegelapan adalah bukan makhluk Allah yang pertama diciptakan oleh-Nya. Makhluk pertama yang diciptakan oleh Allah adalah air, kemudian "Arsy, kemudian al-Qalam al-A'la dan al-Lauh al- Mahfuzh, dengan dalil Hadits riwayat 'Imran ibn al-Hushain, bahwa Rasulullah bersabda:
كان الله ولم يكن شيء غيره، وكان عرشه على الماء، وكتب في الذكر كل شيء (رواه البخاري)
"Allah ada [tanpa permulaan] dan belum ada suatu apapun selain-Nya, dan 'Arsy-Nya adalah di atas air, dan Dia (Allah) menetapkan dalam adz-Dzikr akan segala sesuatu".
[Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab Bod'il khalq, bab tentang apa yang datang dalam firman Allah: "Wa Huwa yabda' al-khalq tsumma yu'iduh" (Qs. ar-Rum: 27)]
Yang dimaksud adz-Dzikr dalam Hadits ini adalah al- Lauh al-Mahfuzh. Kemudian juga Hadits lainnya sabda Rasulullah
أول ما خلق الله تعالى القلم، فقال له اكتب، فقال: وما أكتب؟ فجرى القلم بما كان وما يكون (رواه الطيالسي)
"Awal apa yang diciptakan oleh Allah adalah al-Qalam, maka Allah berfirman kepadanya: Tulislakh oleh engkau!, maka al-Qalam berkata: Apakah yang aku tulis?, maka al-Qalam tersebut berjalan [menulis di atas al-Lauh] dengan segala apa yang telah terjadi dan segala apa yang akan terjadi".
[Diriwayatkan ath-Thayalisi dalam kitab Musnad dengan redaksi seperti [mendekati] redaksi di atas, h. 79]
[Yang dimaksud awal dalam Hadits ini adalah awwaliyyah nisbiyyah; artinya di antara makhluk-makhluk yang awal diciptakan, adapun yang mutlak pertama kali diciptakan oleh Allah adalah air, sebagaimana tersurat dalam Hadits di atas sebelumnya].
Dari dua Hadits di atas diketahui bahwa cahaya dan kegelapan belum diciptakan oleh Allah sebelum makhluk yang empat; air, "Arsy, al-Qalam al- A'la dan al-Lauh al-Mahfuzh.
Cahaya dan kegelapan baru kemudian diciptakan oleh Allah setelah penciptaan empat makhluk tersebut.
Artinya, kita tidak dapat menggambarkan (membayangkan) dalam pikiran kita adanya suatu masa di mana pada masa tersebut tidak ada cahaya dan kegelapan di dalamnya.
Akal kita hanya dapat memikirkan suatu keadaan salah satu antara adanya cahaya dan atau adanya kegelapan.
Dari sini kita katakan, demikian pula dengan wujud Allah, tanpa dengan disifati dengan sifat-sifat kebendaan seperti tersebut di atas; maka itu bukan berarti menafikan wujud Allah.
Karena itu maka para imam Ahlussunnah, seperti Ahmad ibn Hanbal, Dzun-Nun al-Mishri, dan para imam terkemuka lainnya berkata:
«مهما تصورت ببالك فالله بخلاف ذلك».اهـ
"Apapun yang terlintas dalam hatimu tentang Allah maka Dia tidak seperti demikian itu".
Artinya bahwa Allah tidak dapat dibayangkan, dan tidak dapat diraih oleh akal pikiran.
Al-Hafizh Ibnu Asakir meriwayatkan perkataan tersebut dari Dzun-Nun al-Mishri [dalam Tarikh Madinah Damasyqa (17/404)], dan Abul Fadhl at-Tamimi meriwayatkannya dari Ahmad ibn Hanbal [dalam kitab I'tiqad al-Imam al- Mubajjal Ahmad ibn Hanbal h. 116].
Sejalan dengan perkataan tersebut apa yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah ibn Abbas, bahwa ia berkata:
تفكروا في خلق الله، ولا تفكروا في ذات الله (رواه البيهقي)
"Berpikirlah kalian tentang makhluk Allah, dan jangan berpikir kalian tentang Dzat Allah".
Perkataan Ibnu Abbas ini diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Baihaqi dalam kitab al-Asma' Wa ash-Shifat dengan sanad jayyid [Dalam al-Asma' Wa ash-Shifat (h. 420), Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Fath al-Bari berkata: "Sanad-nya jayyid". (13/383)].
Demikian itu oleh karena Dzat Allah; [artinya hakekat Allah], tidak dapat diraih oleh akal pikiran manusia.
Perkataan yang sama juga diungkapkan oleh para ulama dari empat madzhab, seperti Abu Sa'id al-Mutawalli (w 478 H), seorang imam agung dengan tingkatan Ash-hab al-Wujuh dalam madzhab Syafi'i, derajat keilmuan yang sangat tinggi di bawah tingkatan al-Imam Syafi'i [yaitu dibawah derajat. Mujtahid mutlak].
Perkataan tersebut juga diungkapkan oleh an-Nawawi (w 656 H), Ibnu Hajar al-Haitami (w 973 H), dan lainnya. Dari ulama madzhab Maliki, seperti Abu Abdillah Muhammad ibn Jalal, Muhammad ibn Ahmad Mayyarah, dan lainnya. Dari ulama madzhab Hanafi, seperi Abul Mu'ain an- Nasafi, Mahmud ibn Muhammad al-Qunawi; penulis kitab Syarh al-'Aqidah ath-Thahawiyyah, dan lainnya.
Kemudian, dalam risalah al-'Aqidah ath- Thahawiyyah, karya al-Imam Abu Ja'far ath-Thahawi (w 321 H), [salah seorang ulama Salaf terkemuka] ditegaskan:
تعالى – يعني: الله – عن الحدود والغايات»
"Maha suci Allah dari segala batasan (ukuran/bentuk) dan suci dari segala penghabisan",
[Al-'Aqidah ath-Thahawiyyah dengan Syarh Izh-har al-'Aqidah as-Sunniyyah, h. 186]
ini artinya bahwa Allah bukan benda yang memiliki bentuk, ukuran kecil maupun besar, dan Dia maha suci dari sifat menempel dan berpisah.
Kemudian, dari ulama madzhab Hanbali, seperti al-Hafizh Abul Faraj Abdur-Rahman Ibnul Jauzi dan lainnya.
Penegasan Imam Abu Ja'far ath-Thahawi di atas adalah keyakinan seluruh ulama Salaf dalam mensucikan Allah dari sifat-sifat kebendaan, seperti menempel, dan berpisah, oleh karena beliau mengatakan; "Maha Suci Allah dari segala batasan (ukuran/bentuk)".
Batasan dalam bahasa Arab disebut al-hadd, dan yang dimaksud adalah bentuk (al-jirm). Dalam istilah ulama tauhid disebut pula dengan al-jauhar, yaitu benda terkecil yang telah sampai kepada puncak terkecilnya hingga tidak dapat dibagi-bagi lagi.
Al-jauhar ini adalah pokok (pangkal/asal) bagi jism (benda), [maka jism adalah sesuatu yang tersusun dari jauhar-jauhar]. Dalam tinjuan bahasa kata jauhar artinya asal (pokok), sebagaimana dinyatakan oleh al-Hafizh az-Zabidi, salah seorang pakar bahasa terkemuka [dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin (2/99)].
Lalu, jauhar ini apabila bekumpul dua atau atau lebih secara bahasa disebutlah dengan jism (benda).
Allah bukan jauhar dan bukan jism, artinya bukan sebagai benda, baik dengan bentuk terkecil maupun bentuk yang besar.
Dengan demikian maka Allah tidak disifati dengan sifat-sifat kebendaan, seperti menempel atau berpisah, [bergerak atau diam].
Dengan penjelasan ini maka jangan anda terkecoh dengan perkataan golongan Musyabbihah yang mengatakan jika Allah tidak menempel dengan alam, juga tidak terpisah darinya, tidak di dalam alam, juga tidak di luar alam maka itu adalah sama dengan menafikan keberadaan- Nya.
Anda katakan kepada mereka; Itu adalah pemahaman sesat kalian, di mana kalian membangun pemahaman sesat tersebut di atas pokok batil [rusak], yaitu kalian menetapkan syarat keberadaan sesuatu itu harus menempel atau terpisah, di dalam alam atau di luar alam, [bergerak atau diam]. [Ini adalah pangkal kesesatan, kalian berangkat dari pemahaman adanya keserupaan antara Allah dengan ciptaan-Nya].
Anehnya, golongan Musyabihah meyakini bahwa Allah ada sebelum alam ini diciptakan. Karena itu maka Ahlussunnah berkata: Demikian pula setelah alam ini diciptakan maka Allah ada sebagaimana sifat-Nya semula, yaitu ada tanpa alam, tidak membutuhkan kepadanya, tidak dikatakan di dalam alam, juga tidak dikatakan di luar alam.
Dengan demikian maka jelaslah apa yang diyakini golongan Musyabbihah adalah kesataan yang nyata dan batil.
Ibnu Taimiyah [dalam Muwafaqat Sharih al-Ma'qul (1/210), dan (2/26)] , dalam kutipannya dari salah seorang pemuka golongan Musyabbihah, yaitu Utsman ibn Sa'id ad-Darimi, mengatakan bahwa di antara syarat hidup adalah adanya gerak, [yang dengan pemahaman rusak ini] ia meyakni Allah bergerak.
Cukup sebagai bantahan terhadapnya adalah firman Allah: "Dia Allah tidak menyerupai suatu apapun" (QS. Syura: 11). Dalam ayat ini mengandung penjelasan gamblang bahwa Allah suci dari sifat menempel dengan alam, terpisah darinya, di dalam alam, atau diluarnya; oleh karena alam adalah benda dan sifat benda. Kemudian, benda, adakalanya benda katsif, yaitu benda yang dapat disentuh dengan tangan, seperti manusia, dan benda-benda padat lainnya, dan adakalanya benda lathif, yaitu benda yang tidak dapat disentuh dengan tangan, seperti cahaya, kegelapan, dan angin. Adapun sifat benda, yaitu seperti gerak, diam, dan lainnya.
Jika Allah sebagai benda dan bertempat seperti manusia maka akan ada banyak keserupaan bagi-Nya. Demikian pula jika Allah bersifat menempel dan atau berpisah maka akan ada banyak yang semisal dengan- Nya. Dan apabila di dalam alam maka berarti Allah diliputi olehnya, dan demikian itu menuntut adanya ukuran bagi-Nya, dan bila demikian maka ada banyak yang serupa bagi-Nya. Juga, apabila Allah di luar alam maka berarti Allah membayangi alam, Dia menjadi seukuran alam itu sendiri, atau lebih kecil, atau lebih besar, dan keyakinan demikian itu menetapkan bentuk dan ukuran bagi Allah, juga menetapkan bagian-bagian bagi-Nya, tentu demikian itu manafikan sifat ke-azalian-Nya dan sifat Qidam-Nya.
Padahal, Allah yang telah menciptakan segala makhluk dengan segala bentuk dan ukurannya masing-masing, jika Allah memiliki bentuk dan ukuran maka Dia memiliki keserupaan yang sangat banyak. Mustahil Allah serupa dengan ciptaan- ciptaan-Nya.
Sumber: Fatawa al-Albani Fi Mizan asy-Syari’ah
Karya: Syekh Prof. Dr. Tarek Lahham
Penerjemah: Kholil Abou Fateh
Posting Komentar untuk "Diantara Keyakinan Sesat Al Albani"