Panduan Membina Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah
Membina Keluarga Shalihah
Pendahuluan
Keluarga shalihah adalah keluarga yang dibangun atas dasar ilmu agama, dengan tujuan menjadi keluarga sakinah mawaddah warahmah. Orang yang berkeluarga wajib mengetahui
- Ahkam an Nikah (hukum hukum dalam Nikah),
- Ahkam at Tholaq (Hukum perceraian),
- Kewajiban suami dan Istri serta
- Kewajiban wali terhadap anak-anaknya
Insya Allah seluruh permasalahan di atas akan dikaji dalam materi ini yaitu "Membina Keluarga Shalihah".
Definisi dan Hukum Nikah
Nikah adalah sebuah akad yang mengandung implikasi kebolehan untuk melakukan wathi (jima’) dengan lafadz inkah (menikahkan) atau tazwij (mengawinkan) atau terjemahnya dalam bahasa lain. Pada dasarnya hukum nikah adalah boleh, namun dapat berubah tergantung pada kondisi orang yang melakukannya. Berikut ini adalah perinciannya:
1. Sunnah, yaitu bagi orang yang membutuhkan (nafsunya menginginkan wathi’/jima’) dan memiliki biaya pernikahan (yaitu mahar, pakaian satu musim, nafkah untuk hari pernikahan). Sehingga dengan menikah dia dapat menjaga agamanya.
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“wahai sekelompok pemuda, barang siapa yang memiliki biaya nikah maka menikahlah, karena itu lebih bisa menjaga penglihatanmu (dari melihat sesuatu yang diharamkan) dan lebih bisa melindungi farjimu (alat kelaminmu) (dari perbuatan nista). Barang siapa yang tidak mampu (tidak memiliki biaya nikah), maka berpuasalah, karena sesungguhnya puasa itu bisa memecahkan syahwat/hasrat seksual. (H.R. Bukhari dan Muslim)
2. Makruh, yaitu bagi orang yang tidak membutuhkan (nafsunya tidak menginginkan untuk wathi’/jima’) dan tidak memiliki biaya pernikahan.
Bagi orang yang menginginkan wathi’ namun tidak memiliki biaya pernikahan hendaknya menghilangkan syahwatnya tersebut dengan cara puasa. Seseorang yang tidak berkeinginan untuk wathi’, namun dia memiliki biaya pernikahan sebaiknya dia menyibukkan diri dengan ibadah.
Dasar hukum pernikahan adalah al Qur’an dan Hadits. Allah ta’ala berfirman:
فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَعَ
“Maka nikahilah perempuan yang baik dua, tiga dan empat”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
تَزَوَّجُوْا الوَلُوْدَ اْلوَدُوْدَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأُمَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ
“Nikahilah perempuan walud (perempuan yang berpotensi memiliki banyak anak) dan wadud (perempuan yang besar kasih sayangnya), sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya jumlah kalian pada hari kiamat”
Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
النِّكَاحُ سُنَّتِيْ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ
“Nikah adalah sunnahku (syari’atku), maka barang siapa membenci sunnahku maka dia bukanlah bagian dariku”
Perlu diperhatikan bahwa Makna sunnah pada hadits di atas adalah syari’at bukan hukum sunnah; jika dikerjakan berpahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa. (Al Idlah fi ma'rifati muhimmaat an Nikah)
Syarat Nikah
Agar sebuah pernikahan sah maka terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Ada wali dan dua orang saksi
Disyaratkan mereka adalah seorang muslim, mukallaf –baligh dan berakal-, dan adil – secara lahhiriyah bukan pelaku dosa besar -. Khusus untuk dua orang saksi selain syarat tersebut juga disyaratkan orang tersebut bisa mendengar, melihat, dhabid dan bisa berbicara serta tidak berprofesi dengan profesi yang hina.
Adapun urutan wali adalah; ayah, kakek dari ayah, saudara laki-laki seayah dan seibu, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki saudara seayah seibu, anak laki-laki saudara seayah, paman seayah seibu, paman seayah, anak paman seayah seibu, anak paman seayah. Apabila ada wali yang lebih dekat maka tidak boleh wali yang lebih jauh menikahkan, apabila dilakukan maka nikahnya tidak sah.
2. Ada Shighah Akad Nikah (ijab dari wali dan qabul dari calon suami)
Seorang wali misalnya berkata kepada seorang laki-laki: “aku nikahkan kamu dengan fulanah”, kemudian suami mengatakan: “aku terima nikahnya”. Shighah tersebut harus menggunakan kata ankahtu atau zawwajtu atau terjemahnya “aku nikahkan atau aku kawinkan”. Dalam shighah akad nikah tidak boleh ada penyebutan batas waktu. Apabila seorang wali misalnya mengatakan: “aku nikahkan kamu dengan anakku selama satu tahun” maka nikahnya tidak sah.
3. Ada calon suami dan istri yang tidak terhalang untuk menikah.
Bagi perempuan yang muslimah, suaminya haruslah seorang muslim. Bagi laki-laki muslim, istrinya haruslah seorang muslimah atau ahli kitab (perempuan Yahudi dan Nasrani yang memiliki garis keturunan Yahudi dan Nasrani sebelum nabi, namun ini sangatlah jarang sekali). Calon istri harus telah lepas dari iddah, bagi selain suami.
Nadhor Calong (Melihat Calon Istri/suami)
Bagi masing-masing calon mempelai halal dan disunnahkan memandang satu sama lainnya (jawa red: nontoni/tilik) dengan ketentuan:
1. Sudah memiliki tujuan/keinginan kuat (‘azm) untuk mengikat tali pernikahan
2. Memandang pada selain aurat, yaitu telapak tangan dan wajah saja.
Sedangkan bagi perempuan, hanya boleh memandang selain anggota antara pusar dan lutut.
3. Kesunnahan memandang berlaku sesuai kebutuhan.
Memandang berkali-kali bahkan sampai melebihi tiga kali asal masih dibutuhkan maka tidak apa-apa. Hal ini penting agar kondisi/keberadaan orang-orang yang dilihat benar-benar jelas dan tidak menimbulkan kekecewaan sehingga ia yakin dengan keputusan yang ia ambil.
4. Kesunnahan memandang dilakukan setelah memiliki tujuan untuk menikahinya sampai pertunangan (lamaran).
Adapun jika memandang itu dilakukan setelah peminangan (khithbah) maka hukumnya boleh/halal namun tidak sunnah lagi.
5. Tidak memiliki dugaan kuat atas menolaknya perempuan ketika nanti dipinang
6. Memiliki prasangka/keyakinan bahwa perempuan itu bukan dalam ikatan perkawinan seperti masih istri orang lain atau sudah dipinang orang lain dan bukan perempuan yang masih dalam status ‘iddah yang haram meminangnya secara sindiran seperti perempuan yang dalam masa ‘iddah raj’i.
Khithbah (meminang)
Khithbah adalah permintaan seorang laki-laki (pelamar) kepada pihak perempuan (calon istrinya) untuk mengikat tali pernikahan (perjodohan). Khitbah itu ada dua macam yaitu secara terang-terangan (tashriih) dan secara sindiran (ta'riidl).
1. Khithbah tashriih yaitu perkataan khaathib (orang yang meminang) yang secara jelas berisi ajakan pernikahan seperti: “aku ingin menikahimu”.
2. Khithbah ta’ridl, yaitu perkataan khaatib yang masih mungkin menjurus pada ajakan pernikahan atau selainnya seperti “kamu adalah perempuan yang cantik”, banyak sekali orang yang cinta padamu”.
Hukum meminang adalah halal (boleh) dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Perempuan yang dipinang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- a) Tidak terikat oleh pernikahan
- b) Tidak merupakan perempuan yang sedang dalam iddah raj’i
- c) Bukan perempuan yang diharamkan dinikah seperti mahram sendiri
- d) Tidak berstatus perempuan yang dipinang oleh laki-laki lain.
2. Cara mengajukan pinangan harus berupa:
- a) Ta’ridl (sindiran) atau tashrih (terang-terangan) jika yang dipinang adalah gadis atau janda yang sudah habis masa iddahnya
- b) Ta’ridl saja, tidak boleh secara tashrih (terang-terangan) jika perempuan yang dipinang itu masih dalam masa iddah Thalaq bain, iddah faskh, infisakh atau dalam masa iddah ditinggal wafat oleh suaminya.
Perempuan yang Haram Dinikah
Perempuan yang haram dinikahi untuk selamanya
- Ibu walaupun sampai ke atas (nenek, buyut, dst)
- Anak perempuan walaupun sampai ke bawah (cucu perempuan, cicit, dst)
- Saudara perempuan seayah seibu, seayah, seibu
- Saudara perempuan ayah (‘ammah; bibik, bibiknya ayah, dst)
- Saudara perempuan ibu (khalah; bibik, bibiknya ibu dst)
- Anak perempuan saudara laki-laki (kemenakan)
- Anak perempuan saudara perempuan (kemenakan)
- Perempuan yang menyusui (ummul murdli’ah)
- Saudara perempuan tunggal susuan/ sepersusuan (ukhtur radla’ah)
- Ibu istri (mertua perempuan) walaupun sampai ke atas, baik ibu kandung istri atau ibu sepersusuan istri, baik sudah menggauli (bersetubuh dengan) istri tersebut atau belum.
- Anak tiri, jika sudah menggauli (bersetubuh dengan) ibunya
- Istri ayah walaupun sampai ke atas, meskipun belum digauli oleh ayah tersebut.
- Istri anak kandung (menantu) walaupun sampai ke bawah meskipun belum digauli (disetubuhi) oleh anak tersebut.
Perempuan yang haram dinikahi tidak untuk selamanya (sementara)
THALAQ (CERAI)
- istri dalam keadaan hamil
- istri dalam keadaan menopause
- ditujukan pada istri yang belum baligh
- ditujukan pada istri yang belum didukhul.
- Telah habis iddah dari suami pertama
- Istri telah menikah dengan laki-laki lain
- Istri telah didukhul oleh suami kedua
- Istri telah dicerai oleh suami kedua
- Telah habis iddah dari suami kedua
- Nikah dilakukan dengan akad nikah yang baru.
Khulu’
- Terjadi perselisihan di antara keduanya
- Salah satu dari keduanya takut tidak mampu memenuhi hak pasangannya
- Istri benci terhadap suaminya, karena akhlaknya yang buruk atau agamanya yang buruk.
- Suami benci pada istrinya, karena si istri melakukan zina atau semacamnya, meninggalkan shalat.
- Untuk menghindari jatuhnya tholaq tiga, yaitu apabila suami bersumpah untuk menthalaq tiga istrinya jika melakukan sesuatu yang pasti akan dilakukan oleh si istri. yaitu jika mengikuti pendapat yang mengatakan khulu' itu fasakh.
- Ketika suami boleh mengambil manfaat farji seorang perempuan dengan iwadl, demikian juga dia boleh menghilangkan kepemilikan tersebut dengan iwadl
- Seperti membeli dan menjual, nikah seperti beli dan khulu' seperti menjual.
- Disyaratkan untuk suami, dia seorang suami yang sah tholaqnya (yaitu baligh, berakal dan tidak dipaksa)
Fasakh
Mahar/Shodaq
- Berdasarkan kesepakan antara suami istri
- Ditentukan oleh hakim, yaitu apabila ada perselisihan di antara suami dan istri tentang besaran mahal
- Jika sudah di-dukhul maka wajib mahar mitsil (yaitu mahar dengan ukuran saudari atau kerabatnya yang telah menikah)
Posting Komentar untuk "Panduan Membina Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah"