Derajat Orang Berilmu dengan Ahli Ibadah Menurut Hadratusy Syaikh Hasyim Asy'ari
Dalam kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim, Hadratusy Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari mengawali pembahasan dengan ulasan tentang keutamaan ilmu, ulama, belajar, dan mengajarkan ilmu.
Beliau memaparkan beberapa dalil Al-Qur’an dan al-Hadits serta pernyataan para sahabat Nabi dan ulama yang menjelaskan hal itu. Tentang keutamaan ulama, di antaranya beliau mencantumkan ayat Al-Qur’an:
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجاتٍ
“Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu”. (QS Al-Mujadalah ayat 11).
Menurut KH. Hasyim Asy’ari, alasan Allah mengangkat derajat para ahli ilmu adalah karena mereka dapat mengaplikasikan ilmu di dalam kehidupan sehari-hari alias amal mereka benar-benar dilandasi oleh ilmu yang shohih.
Beliau memberikan tafsir ayat di atas sebagai berikut:
أي ويرفع العلماء منكم درجات بما جمعوا من العلم والعمل
“Maksudnya Allah mengangkat derajat ulama dari kalian sebab mereka mampu menggabungkan ilmu dan amal.”
Selanjutnya KH. Hasyim Asy’ari menjelaskan selisih derajat ulama dibandingkan orang Muslim pada umumnya dengan mengutip sabda Sahabat Ibnu ‘Abbas:
درجات العلماء فوق المؤمنين بسبعمائة درجة
درجة ما بين الدرجتين خمسمائة عام
“Para ulama mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang mukmin pada umumnya dengan selisih 700 derajat dan di antara dua derajat terpaut selisih 500 tahun.”
Apa yang disampaikan KH. Hasyim Asy’ari ini senada dengan penjelasan al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith dalam kitab al-Manhaj al-Sawi. Habib Zain menjelaskan alasan terpautnya selisih derajat yang sangat jauh antara orang berilmu dan selainnya, beliau berkata sebagai berikut:
قلت وذلك لأن العلم أساس العبادات ومنبع الخيرات كما أن الجهل رأس كل شر وأصل جميع البليات.
“Aku berkata, Demikian itu karena ilmu adalah asasnya ibadah-ibadah dan sumber beberapa kebaikan, sebagaimana kebodohan adalah pangkal setiap keburukan dan sumber seluruh musibah” (al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith, al-Manhaj al-Sawi, hal. 77).
Hadratusy Syaih selanjutnya mengutip ayat yang maknanya:
“Allah, para malaikat dan orang-orang yang berilmu bersaksi bahwa tiada tuhan selain-Nya.” (QS Ali Imran ayat 18).
Dalam ayat tersebut Allah ta'ala mengawali dengan penyebutan Allah sendiri, selanjutnya menyebutkan para malaikat-Nya dan terakhir menyebutkan para ahli ilmu, penyebutan ini sangat cukup untuk menyimpulkan bahwa ulama memiliki kedudukan yang tinggi menurut Allah.
KH. Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa ada dua ayat yang menunjukan bahwa ulama adalah makhluk Allah yang terbaik.
Pertama firman Allah:
إِنَّما يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبادِهِ الْعُلَماءُ
“Hamba Allah yang takut kepada Allah hanyalah para ulama”. (QS Fathir ayat 28).
Kedua firman Allah dalam surat al-Bayyinah:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحاتِ أُولئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, merekalah makhluk yang terbaik” (QS Al-Bayyinah ayat 7).
Setelah mengutip dua ayat di atas, Hadratusy Syaih memberi kesimpulan:
فاقتضت الآيتان أن العلماء هم الذين يخشون الله تعالى والذين يخشون الله هم خير البرية فينتج أن العلماء هم خير البرية
“Dua ayat di atas menyimpulkan bahwa para ulama adalah mereka yang takut kepada Allah dan orang-orang yang takut kepada Allah adalah makhluk terbaik. Hingga membuahkan kefahaman bahwa para ulama adalah makhluk terbaik.”
KH. Hasyim Asy’ari juga mendasari pendapatnya tentang keutamaan ulama dengan beberapa hadits Nabi, di antaranya yang maknanya adalah:
“Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka Allah akan memberikan pemahaman yang benar kepadanya dalam permasalahan agama.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits lain disebutkan yang maknanya:
“Para ulama merupakan pewaris para Nabi.” (HR al-Tirmidzi dan lainnya).
KH. Hasyim Asy’ari mengungkapkan bahwa derajat sebagai pewaris para nabi memberikan indikasi kuat bahwa ulama memiliki kedudukan yang sangat agung dan mulia, bahkan merupakan derajat yang terbaik sepeninggal para Nabi.
Beliau menyampaikan kesimpulan tersebut dengan argumentasi sebagai berikut:
وإذا كان لا رتبة فوق النبوة فلا شرف فوق شرف الوراثة لتلك الرتبة
“Ketika tidak ada derajat yang lebih mulia daripada derajat kenabian, maka tidak ada kemuliaan yang dapat mengalahkan kemuliaan para pewaris derajat kenabian tersebut (yaitu para ulama).”
Selanjutnya KH. Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa puncak dari keilmuan seseorang adalah pengamalan ilmu dalam kehidupan sehari-hari, sebab hal itu merupakan buah dari ilmu dan faedah kebaikan dari umur seseorang serta merupakan bekal yang akan berguna di akhirat kelak.
Maka siapa saja yang dapat menggapai itu semua maka ia akan berbahagia baik di dunia maupun di akhirat, dan barang siapa yang tidak dapat mengamalkan ilmu maka ia akan berada dalam kerugian.
Hadratusy Syaikh juga menyampaikan hadits Nabi tentang perbandingan ahli ibadah dan ulama. Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa ada dua orang bertamu menghadap baginda Nabi Muhammad, salah seorang di antara mereka merupakan ahli ibadah, sedang yang lain merupakan ahli ilmu. Nabi mengatakan tentang perbandingan keduanya dalam sabda beliau “Keutamaan orang yang berilmu berada di atas orang yang ahli ibadah layaknya keutamaanku atas orang-orang yang paling rendah derajatnya di antara kalian” (HR al-Tirmidzi).
Berkaitan dengan keutamaan mencari ilmu (mengaji), KH. Hasyim Asy’ari menyebut hadits Nabi yang maknanya:
“Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memberinya kemudahan jalan menuju surga” (HR Ahmad, Abu Daud dan lainnya).
Dalam hadits lain Nabi bersabda yang maknanya:
“Mencari ilmu merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam, laki-laki dan perempuan. Setiap sesuatu yang ada di dunia ini akan memintakan pengampunan kepada Allah untuk para pencari ilmu, hingga ikan di laut pun ikut memintakan pengampunan baginya.” (HR Abu Daud, al-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Sebagai catatan tambahan, doa pengampunan ikan-ikan di laut untuk orang berilmu tidak hanya dipanjatkan saat mereka hidup, namun juga berlaku setelah wafat hingga akhir kiamat, sebab ilmu ulama akan senantiasa bermanfaat setelah mereka wafat hingga hari kiamat.
Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith menegaskan:
قلت واستغفار حيتان البحر للعالم يكون في حياته وبعد مماته إلى يوم القيامة لأن العلم ينتفع به بعد موت العالم إلى يوم القيامة وفي هذا دليل على شرف العلم وتقدم أهله وأن من أوتيه فقد أوتي فضلا عظيما
“Aku berkata, pengampunan ikan-ikan laut untuk orang alim terjadi di masa hidup dan setelah kewafatannya hingga hari kiamat. Sebab ilmu akan terus dimanfaatkan setelah kematian orang alim hingga hari kiamat. Ini adalah petunjuk atas kemuliaan ilmu dan unggulnya ahli ilmu, sesungguhnya orang yang diberi ilmu, maka sungguh diberi keutamaan yang agung.” (al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith, al-Manhaj al-Sawi, hal. 77).
Dalam riwayat lain disebutkan yang maknanya:
“Barangsiapa berangkat di pagi hari untuk mencari ilmu, malaikat memintakan ampunan untuknya dan diberkahi hidupnya” (HR Abu Umar al-Qurthubi).
Riwayat lain menyebutkan yang maknanya:
“Barangsiapa yang bergegas pergi ke Masjid dalam keadaan tidak menginginkan kecuali untuk belajar ilmu agama maka ia akan mendapatkan pahala layaknya pahala orang yang berhaji secara sempurna” (HR al-Thabrani).
Kedekatan orang alim dan para penuntut ilmu di-ibaratkan oleh Nabi seperti dua jari telunjuk dan jari tengah, keduanya saling menempel, derajat mereka berdua jauh meninggalkan manusia yang lain.
Dalam sebuah riwayat Nabi bersabda yang maknanya:
“Orang alim dan penuntut ilmu layaknya jari ini dan jari yang ini (beliau mengumpulkan antara jari telunjuk dan jari tengah yang berada di sampingnya), keduanya bersekutu dalam pahala, tiada kebaikan untuk segenap manusia selain kedua orang tersebut" (HR Ibnu Majah, Abu Nu’aim dan lainnya).
Nabi berpesan agar umatnya tidak melepaskan diri dari salah satu lima status, yaitu ahli ilmu, penuntut ilmu, pendengar dan pecinta mereka.
Dalam sebuah riwayat beliau bersabda yang maknanya:
“Jadilah orang yang alim ataupun orang yang belajar ilmu ataupun orang yang senantiasa mendengarkan ilmu atau orang yang suka akan hal itu dan jangan sampai kamu menjadi orang yang ke lima, sebab kamu akan menjadi orang yang rusak”. (HR al-Thabrani, al-Darimi dan lainnya).
Orang kelima yang dimaksud dalam hadits di atas adalah mereka yang membenci ilmu dan ulama.
Syaih Abdurrauf al-Manawi mengatakan:
قال عطاء وقال لي مسعر زدتنا خامسة لم تكن عندنا والخامسة أن تبغض العلم وأهله فتكون من الهالكين وقال ابن عبد الله البر: هي معاداة العلماء أو بغضهم ومن لم يحبهم فقد أبغضهم أو قارب وفيه الهلاك “
Atha’ berkata, berkata kepadaku Mis’ar, tambahkanlah yang kelima yang tidak ada di sisi kami, yaitu engkau membenci ilmu dan ahlinya, maka akibatnya engkau termasuk orang-orang yang rusak.
Berkata Ibnu Abd al-Barr, yang kelima adalah memusuhi ulama atau membencinya. Barangsiapa tidak cinta ulama maka ia telah membencinya atau mendekati benci dan di situlah letak kebinasaan”. (Syekh Abdurrauf al-Manawi, Faidl al-Qadir, juz 2, hal. 17).
Semoga Bermanfaat.
Posting Komentar untuk "Derajat Orang Berilmu dengan Ahli Ibadah Menurut Hadratusy Syaikh Hasyim Asy'ari"