Tafsir Imam Al Qurthubiy bahwa Allaah Ada Tanpa Tempat
Ahli tafsir terkemuka di kalangan Ahlussunnah,
al-Imâm al-Mufassir Muhammad ibn Ahmad al-Anshori al-Qurthubiy dalam kitab tafsirnya yang sangat terkenal; al-Jaami’ Li Ahkaam al-Qur’aan atau yang lebih dikenal dengan nama Tafsir al-Qurthubiy, menuliskan sebagai berikut:
" ﻭ " ﺍﻟﻌﻠﻲّ " ﻳﺮﺍﺩ ﺑﻪ ﻋﻠﻮ ﺍﻟﻘﺪﺭ ﻭﺍﻟﻤﻨﺰﻟﺔ ﻻ ﻋﻠﻮ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ، ﻷﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻨﺰﻩ ﻋﻦ ﺍﻟﺘﺤﻴﺰ "
“Nama Allaah “al-‘Aliyy” adalah dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan bukan dalam ketinggian tempat, karena Allaah maha suci dari bertempat” [1].
Pada bagian lain dalam kitab yang sama al-Imâm al-Qurthubiy menuliskan:
" ﻭﻣﻌﻨﻰ " ﻓَﻮْﻕَ ﻋِﺒَﺎﺩِﻩِ " ﻓﻮﻗﻴﺔ ﺍﻻﺳﺘﻌﻼﺀ ﺑﺎﻟﻘﻬﺮ ﻭﺍﻟﻐﻠﺒﺔ ﻋﻠﻴﻬﻢ، ﺃﻱ ﻫﻢ ﺗﺤﺖ ﺗﺴﺨﻴﺮﻩ ﻻ ﻓﻮﻗﻴﺔ ﻣﻜﺎﻥ "
“Makna Firman-Nya: “Fawqo ‘Ibaadih...” (QS. al-An’am: 18) , adalah dalam pengertian Fawqiyyah al-Istîlâ’ Bi al-Qahr Wa al-Ghalabah; artinya bahwa para hamba berada dalam kekuasaan-Nya, bukan dalam pengertian fawqiyyah al-makan , (tempat yang tinggi)” [2].
Masih dalam kitabnya yang sama al-Imâm al-Qurthubiy juga menuliskan sebagai berikut:
" ﻭﺍﻟﻘﺎﻋﺪﺓ ﺗﻨﺰﻳﻬﻪ - ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ - ﻋﻦ ﺍﻟﺤﺮﻛﺔ ﻭﺍﻻﻧﺘﻘﺎﻝ ﻭﺷﻐﻞ ﺍﻷﻣﻜﻨﺔ "
“Qaedah -yang harus kita pegang teguh-: Allaah maha suci dari gerak, berpindah-pindah, dan maha suci dari berada pada tempat” [3].
Lalu dalam menafsirkan firman Allaah:
ﺃَﻭْ ﻳَﺄْﺗِﻲَ ﺭَﺑُّﻚَ ﺃَﻭْ ﻳَﺄْﺗِﻲ ﺑَﻌْﺾُ ﺀَﺍﻳَﺎﺕِ ﺭَﺑِّﻚَ ( ﺍﻷﻧﻌﺎﻡ : 158 )
Al-Imâm al-Qurthubiy menuliskan:
" ﻭﻟﻴﺲ ﻣﺠﻴﺌﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺣﺮﻛﺔ ﻭﻻ ﺍﻧﺘﻘﺎﻻ ﻭﻻ ﺯﻭﺍﻻ ﻷﻥ ﺫﻟﻚ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﻜﻮﻥ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﺠﺎﺋﻲ ﺟﺴﻤﺎ ﺃﻭ ﺟﻮﻫﺮﺍ "
“Yang dimaksud dengan al-Majî’ pada hak Allaah adalah bukan dalam pengertian gerak, bukan pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, bukan pula dalam pengertian condong, karena sifat-sifat seperti demikian itu hanya terjadi pada sesuatu yang merupakan Jism atau Jawhar ” [4].
Pada bagian lain dalam menafsirkan firman Allaah tentang Nabiy Yunus:
ﻭَﺫَﺍ ﺍﻟﻨُّﻮﻥِ ﺇِﺫ ﺫَّﻫَﺐَ ﻣُﻐَﺎﺿِﺒًﺎ ﻓَﻈَﻦَّ ﺃَﻥ ﻟَّﻦ ﻧَّﻘْﺪِﺭَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻓَﻨَﺎﺩَﻯ ﻓِﻲ ﺍﻟﻈُّﻠُﻤَﺎﺕِ ﺃَﻥ ﻵﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻵ ﺃَﻧﺖَ ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺇِﻧِّﻲ ﻛُﻨﺖُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻈَّﺎﻟِﻤِﻴﻦَ ( ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ : 87 )
al-Imâm al-Qurthubiy menuliskan:
" ﻭﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻤﻌﺎﻟﻲ : ﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ " ﻻ ﺗﻔﻀﻠﻮﻧﻲ ﻋﻠﻰ ﻳﻮﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺘّﻰ " ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﻓﺈﻧﻲ ﻟﻢ ﺃﻛﻦ ﻭﺃﻧﺎ ﻓﻲ ﺳﺪﺭﺓ ﺍﻟﻤﻨﺘﻬﻰ ﺑﺄﻗﺮﺏ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻨﻪ ﻭﻫﻮ ﻓﻲ ﻗﻌﺮ ﺍﻟﺒﺤﺮ ﻓﻲ ﺑﻄﻦ ﺍﻟﺤﻮﺕ . ﻭﻫﺬﺍ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻟﺒﺎﺭﻯﺀ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﻟﻴﺲ ﻓﻲ ﺟﻬﺔ "
“Abu al-Ma’ali berkata: Sabda Rasulullaah berbunyi
“Lâ Tufadl-dlilûnî ‘Alâ Yûnus Ibn Mattâ” memberikan pemahaman bahwa Nabiy Muhammad yang diangkat hingga ke Sidrah al-Muntaha tidak boleh dikatakan lebih dekat kepada Allaah dibanding Nabiy Yunus yang berada di dalam perut ikan besar yang kemudian dibawa hingga ke kedalaman lautan. Ini menunjukan bahwa Allaah ada tanpa tempat dan tanpa arah”[5].
Kemudian dalam menafsirkan firman Allaah:
ﻭَﺟَﺂﺀَ ﺭَﺑُّﻚَ ﻭَﺍﻟْﻤَﻠَﻚُ ﺻَﻔًّﺎ ﺻَﻔًّﺎ ( ﺍﻟﻔﺠﺮ : 22 )
al-Imâm al-Qurthubiy menuliskan:
" ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺟﻞ ﺛﻨﺎﺅﻩ ﻻ ﻳﻮﺻﻒ ﺑﺎﻟﺘﺤﻮﻝ ﻣﻦ ﻣﻜﺎﻥ ﺇﻟﻰ ﻣﻜﺎﻥ، ﻭﺃﻧَّﻰ ﻟﻪ ﺍﻟﺘﺤﻮﻝ ﻭﺍﻻﻧﺘﻘﺎﻝ ﻭﻻ ﻣﻜﺎﻥ ﻟﻪ ﻭﻻ ﺃﻭﺍﻥ، ﻭﻻ ﻳﺠﺮﻱ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻗﺖ ﻭﻻ ﺯﻣﺎﻥ، ﻷﻥ ﻓﻲ ﺟﺮﻳﺎﻥ ﺍﻟﻮﻗﺖ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺸﻰﺀ ﻓﻮﺕ ﺍﻷﻭﻗﺎﺕ، ﻭﻣﻦ ﻓﺎﺗﻪ ﺷﻰﺀ ﻓﻬﻮ ﻋﺎﺟﺰ "
“Allaah yang maha Agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain, karena mustahil Dia disifati dengan sifat berubah atau berpindah. Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Karena sesuatu yang terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk”[6].
Kemudian dalam menafsirkan firman Allaah:
ﺀَﺃَﻣِﻨﺘُﻢ ﻣَّﻦ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺂﺀِ ﺃَﻥ ﻳَﺨْﺴِﻒَ ﺑِﻜُﻢُ ﺍْﻷَﺭْﺽَ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻫِﻲَ ﺗَﻤُﻮﺭُ ( ﺍﻟﻤﻠﻚ : 16)
al-Imâm al-Qurthubiy menuliskan:
" ﻭﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﻬﺎ ﺗﻮﻗﻴﺮﻩ ﻭﺗﻨﺰﻳﻬﻪ ﻋﻦ ﺍﻟﺴﻔﻞ ﻭﺍﻟﺘﺤﺖ، ﻭﻭﺻﻔﻪ ﺑﺎﻟﻌﻠﻮِّ ﻭﺍﻟﻌﻈﻤﺔ ﻻ ﺑﺎﻷﻣﺎﻛﻦ ﻭﺍﻟﺠﻬﺎﺕ ﻭﺍﻟﺤﺪﻭﺩ ﻷﻧﻬﺎ ﺻﻔﺎﺕ ﺍﻷﺟﺴﺎﻡ . ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺗﺮﻓﻊ ﺍﻷﻳﺪﻱ ﺑﺎﻟﺪﻋﺎﺀ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻷﻥ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻣﻬﺒﻂ ﺍﻟﻮﺣﻲ ﻭﻣﻨﺰﻝ ﺍﻟﻘﻄﺮ ﻭﻣﺤﻞ ﺍﻟﻘُﺪﺱ ﻭﻣﻌﺪﻥ ﺍﻟﻤﻄﻬﺮﻳﻦ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻼﺋﻜﺔ، ﻭﺍﻟﻴﻬﺎ ﺗﺮﻓﻊ ﺃﻋﻤﺎﻝ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩ، ﻭﻓﻮﻗﻬﺎ ﻋﺮﺷﻪ ﻭﺟﻨﺘﻪ، ﻛﻤﺎ ﺟﻌﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻜﻌﺒﺔ ﻗِﺒﻠﺔ ﻟﻠﺪﻋﺎﺀ ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ، ﻭﻷﻧﻪ ﺧﻠﻖ ﺍﻷﻣﻜﻨﺔ ﻭﻫﻮ ﻏﻴﺮ ﻣﺤﺘﺎﺝ ﺇﻟﻴﻬﺎ، ﻭﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺃﺯﻟﻪ ﻗﺒﻞ ﺧﻠﻖ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﻭﺍﻟﺰﻣﺎﻥ ﻭﻻ ﻣﻜﺎﻥ ﻟﻪ ﻭﻻ ﺯﻣﺎﻥ، ﻭﻫﻮ ﺍﻵﻥ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻛﺎﻥ "
“Yang dimaksud oleh ayat ini adalah keagungan Allaah dan kesucian-Nya dari arah bawah. Dan makna dari sifat Allaah al-‘Uluww adalah dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan bukan dalam pengertian tempat-tempat, atau arah-arah, juga bukan dalam pengertian batasan-batasan, karena sifat-sifat seperti demikian itu adalah sifat-sifat benda. Adapun bahwa kita mengangkat tangan ke arah langit dalam berdoa adalah karena langit tempat turunnya wahyu, tempat turunnya hujan, tempat yang dimuliakan, juga tempat para Malaikat yang suci, serta ke sanalah segala kebaikan para hamba diangkat, hingga ke arah arsy dan ke arah surga. Hal ini sebagaimana Allaah menjadikan Ka’bah sebagai kiblat dalam doa dan shalat kita (bukan artinya Allaah di dalam Ka’bah). Karena sesungguhnya Allaah yang menciptakan segala tempat maka Dia tidak membutuhkan kepada ciptaannya tersebut. Sebelum menciptakan tempat dan zaman, Allaah ada tanpa permulaan (Azaliy) , tanpa tempat, dan tanpa zaman. Dan Dia sekarang setelah menciptakan tempat dan zaman tetap ada sebagaimana sifat-Nya yang Azaliy tanpa tempat dan tanpa zaman” [7].
Referensi
[1] al-Jaami’ Li Ahkâm al-Qur’aan, j. 3, hal. 278, QS. al-Baqarah: 255
[2] al-Jaami’ Li Ahkâm al-Qur’aan, j. 6, hal. 399, QS. al-An’am: 18
[3] al-Jaami’ Li Ahkâm al-Qur’aan, j. 6, hal. 390, QS. al-An’am: 3
[4] al-Jaami’ Li Ahkâm al-Qur’aan, j. 7, hal. 148, QS. al-An’am: 158
[5] al-Jaami’ Li Ahkâm al-Qur’aan, j. 11, hal. 333-334, QS. al-Anbiya’: 87
[6] al-Jaami’ Li Ahkâm al-Qur’aan, j. 20, hal. 55, QS. al-Fajr: 22
[7] al-Jaami’ Li Ahkâm al-Qur’aan, j. 18, hal. 216, QS. al-Mulk: 16
------
لَيْسَتْ العِبْرَةُ بِعُلُوِّ المَكَانِ وَلَكِنْ العِبْرَةُ بِعُلُوِّ المَكَانَةِ
Kemuliaan seseorang tidak diukur dengan ketinggian tempatnya, akan tetapi diukur dengan ketinggian derajatnya.
Posting Komentar untuk "Tafsir Imam Al Qurthubiy bahwa Allaah Ada Tanpa Tempat"