Metode Takwil Bersanad Dalam Memahami Ayat Mutasyabihat
Dalam Al Qur'an terdapat dua jenis Ayat secara garis besar, yaitu Ayat Muhkamat dan Ayat Mutsyabihat.
Mengingat ayat muhkamat hanya memiliki satu kemungkinan makna saja, maka untuk memahaminya dapat langsung dipahami berdasarkan makna ayat tersebut. Sedangkan untuk memahami ayat-ayat mutasyabihat seluruh para ulama baik salaf maupun kholaf sepakat untuk menggunakan satu metode yaitu takwil.
Takwil adalah metode memalingkan makna ayat dari makna dzahirnya pada makna batin ayat tersebut. Tanpa takwil, hal ini dikhawatirkan seseorang akan terjerumus dalam tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Rumus Imam Ar Rifa'i sudah menjelaskan dengan qaidah, yaitu:
Imam Ahmad ar Rifa’iy pernah menegaskan:
صُوْنُوْا عَقَائِدَكُمْ مِنَ التَّمَسُّكِ بِظَاهِرِ مَا تَشَابَهَ مِنَ اْلكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ أُصُوْلِ اْلكُفْرِ
“Jagalah akidah kalian dari berpegang teguh dengan makna dzahir ayat dan sunnah yang mutasyabihat karena hal itu di antara sumber kekufuran”
Abu Nashr al Qusyairi, juga telah menjelaskan diantara konsekuensi-konsekuensi buruk yang secara logis akan didapat oleh seseorang yang menolak takwil. Abu Nashr al Qusyairi, beliau merupakan seorang ulama yang mendapat gelar al Hafizh ‘Abdurrazzaq ath-Thabsi sebagai imam dari para imam, pada zamannya. Ini seperti dikutip oleh al Hafizh Ibnu ‘Asakir dalam kitabnya Tabyin Kadzib al Muftari.
Metode takwil terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Metode Salaf, yaitu metode yang dipergunakan oleh mayoritas orang-orang yang hidup pada qurun tiga abad hijriyah pertama. Metode mereka ini biasa disebut dengan takwil global (takwil ijmali), yaitu dengan mengimaninya serta meyakini bahwa maknanya bukanlah sifat-sifat jism (sesuatu yang memiliki ukuran dan dimensi), tetapi memiliki makna yang layak bagi ke-agung-an dan ke-maha-suci-an Allah tanpa menentukan apa makna tersebut. Mereka mengembalikan makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut kepada ayat-ayat muhkamat seperti firman Allah :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”.
Takwil ijmali ini adalah seperti yang dikatakan oleh imam asy-Syafi’i –radhiyallahu ‘anhu- :
ءَامَنْتُ بِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ عَلَى مُرَادِ رَسُوْلِ اللهِ
“Aku beriman dengan segala yang berasal dari Allah sesuai apa yang dimaksudkan Allah dan beriman dengan segala yang berasal dari Rasulullah sesuai dengan maksud Rasulullah”
Maksud beliau adalah bukan makna yang sesuai dengan yang terbayangkan oleh prasangka dan benak manusia yang merupakan sifat-sifat fisik dan benda (makhluk) yang tentunya mustahil bagi Allah.
2. Metode Kholaf, yaitu metode yang digunakan oleh para ulama yang hidup setelah tiga abad pertama hijriyah. Metode ini disebut dengan takwil tafshiliy. Takwil Tafshiliy adalah mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara terperinci yakni dengan menentukan makna-maknanya sesuai dengan penggunaan kata tersebut dalam bahasa Arab. Seperti halnya ulama salaf, mereka juga tidak memahami ayat-ayat tersebut sesuai dengan zhahirnya.
Metode ini bisa diambil dan diikuti, terutama ketika dikhawatirkan terjadi goncangan terhadap keyakinan orang awam, demi untuk menjaga dan membentengi mereka dari tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Sebagai contoh, firman Allah Ta'ala yang memaki Iblis :
مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ
Ayat ini boleh ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan al Yadayn adalah al ‘Inayah (perhatian khusus) dan al Hifzh (memelihara dan menjaga).
Namun perlu ditegaskan bahwa meskipun mayoritas ulama salaf menggunakan metode takwil ijmaliy dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat, tetapi di antara mereka juga ada yang menggunakan takwil tafshiliy. Dalam Shahih al Bukhari, kitab tafsir al Qur’an disebutkan :
سُوْرَةُ الْقَصَصِ، كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ ، إِلاَّ مُلْكَهُ وَيُقَالَ مَا يُتَقَرَّبُ بِهِ إِلَيْهِ اهـ.
“Surat al Qashas: 88) yakni kecuali kekuasaan dan pengaturan-Nya terhadap makhluk-Nya atau amal yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada-Nya”.
Imam Ahmad yang juga termasuk ulama salaf, beliau mentakwil secara tafshili (terperinci) pada firman Allah:
وَجَاءَ رَبُّكَ
Beliau mengatakan: yakni datang kekuasaan-Nya (tanda-tanda kekuasaan-Nya)“.
Belajar Agama dengan berguru yang Tsiqoh di Global University
Di Global University waktu libur musim panas menjadi sangat menarik setiap tahunya, terutama ditahun ini, karena ada dauroh ayat ahkam dimana dikaji dari berbagai literatur kitab, bagaimana para ulama mengambil hukum dari Alqur'an dan hadits, para masyayikh (guru kami) telah mengumpulkan dari beberapa referensi (tentunya semua sudah pernah ditalaqikan) dari berbagai kitab, misalnya dalam fiqih diambil dari Fathul Wahab, Asnal Matholib, Nihayatul Muhtaj, juga bagaiamana istidlalnya Syafi'iyah dengan mengutip ibaroh dari As Suyuthi dalam kitab Al Iklil, dalam tafsir diambil dari Tafsir An Nasafi, Baghowi serta tafsir Al Khozin juga. Sedangkan alhadits ahkam dibaca kitab Bulughul Marom karya Al Hafidz Ibnu Hajar.
Dengan mempelajari sedikit dari istidlalnya para ulama ini seseorang akan tahu bagaiamana kecerdasan para ulama dalam mengambil hukum dan menjadikan seseorang lebih hati hati lagi, tidak grusa grusu (terburu buru) dalam menyampaikan sesuatu, tidak menukil sesuatu kecuali sudah ditalaqikan atau di tahrir kepada seoarang guru yang tsiqoh, dan akan tahu bagaimana memposisikan diri, tidak seperti sebagian orang yang dengan sembrononya berani mengambil hukum sendiri dari Al quran.
Misalnya dalam satu ayat terkadang asbabul nuzul berbeda sehingga itu juga berpengaruh pada hukum , misalnya dalam firman Allah Ta'ala
{ وَإِذَا ضَرَبۡتُمۡ فِی ٱلۡأَرۡضِ فَلَیۡسَ عَلَیۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَقۡصُرُوا۟ مِنَ ٱلصَّلَوٰةِ إِنۡ خِفۡتُمۡ أَن یَفۡتِنَكُمُ ٱلَّذِینَ كَفَرُوۤا۟ۚ إِنَّ ٱلۡكَـٰفِرِینَ كَانُوا۟ لَكُمۡ عَدُوࣰّا مُّبِینࣰا }
[Surat An-Nisa': 101]
Ayat ini menjelaskan sholatnya orang yang kondisi berpergian maka boleh baginya untuk mengoshor sholat kemudian disebutkan " Jika kalian takut orang orang kafir akan melukaimu atau membunuhmu"
Ternyata syarat ini bukanlah syarat qoshor sholat karena turunya syarat ini adalah ketika nabi berperang dan orang musyirk mau menyerang jadi syarat yang disebutkan dalam ayat ini bukan syarat untuk sholat qoshr yang disebutkan dalam penggalan pertama ayat ini melainkan syarat didalam sholat khouf( Sholat dalam peperangan).
Walaupun orang orang khowarij menghukumi secara dzohir ayat ini dan menjadikan kondisi takut dari musuh syarat dibolehkanya qoshr bagi seoarang musafir.
Dalam madzhab Syafi'ie qoshr itu merupaka keringanan bukan sebuah kewajiban , karena lafadz لا جناح " tidak berdosa " itu terletak pada keringanan. Jadi seseorang boleh dalam safar untuk mengosor sholat atau mengerjakan secara sempurna.
Dalam madzhab Hanafi qoshr merupakan kewajiban ,maka tidak boleh seseoarng sholat secara sempurna dalam safar, harus mengerjakanya secara qoshr .Sedangkan dalam menjelaskan firman Allah لا جناح mereka mengatakan
وأما الاية فكانهم ألفوا الإتمام فكانوا مظنة لأن يخطر ببالهم أن عليهم نقصانا في القصر فنفى عنهم الجناح لتطيب انفسهم بالقصر و يطمئنوا اليه
Adapaun ayat لا جناح maka seoalah mereka sudah terbiasa untuk menyempurnakan sholat maka hal itu bisa menjadi tempat sangkaan untuk terbesit dihati mereka bawha ketika melakukan sholat secara qoshr mereka mendapatkan sebuah kekurangan maka di ingkari dosa dari perbuatan tersebut agar mereka menjadi tenang dalam mengqoshr sholat.
Orang yang menolak Metode Takwil
Jika mereka benar-benar menolak segala macam bentuk takwil, maka berarti mereka telah menolak syari’at dan ilmu-ilmunya secara keseluruhan. Karena tidak ada teks apapun, walau hanya satu ayat atau hadits Nabi, kecuali semua itu membutuhkan kepada takwil dan pemikiran akal, kecuali pada ayat yang muhkam, seperti pada firman Allah:
“Dia Allah pencipta segala sesuatu, dan Dia Allah terhadap segala sesuatu Maha Mengetahui”. (QS. al-An’am: 101),
karena memang sesungguhnya seluruh teks syari’at pasti membutuhkan kepada takwil, sebagaima hal tersebut telah disepakati oleh orang-orang yang berakal. Kecuali mereka orang-orang mulhid (menjadi ateis) yang memendam kesesatan yang bertujuan menafikan syari’at; mereka berpendapat bahwa mempergunakan takwil sama saja dengan mengingkari teks-teks syari’at. Padahal justru merekalah yang sesat.
Kemudian jika mereka berkata: ”Takwil hanya boleh dipakai dalam beberapa teks syari’at, adapun pada sifat-sifat Allah tidak boleh dipakai”.
Kita katakan kepada mereka: "Berpendapat semacam ini berarti sama saja dengan mengatakan bahwa segala perkara yang tidak terkait dengan Allah wajib diketahui, sementara perkara yang terkait dengan Allah wajib dijauhi. Tentunya pendapat semacam ini tidak akan diterima oleh seorang muslim siapapun."
Sebenarnya, orang-orang yang mengingkari takwil adalah orang-orang yang memendam keyakinan tasybih, hanya saja mereka sembunyikan keyakinan buruk tersebut dalam hati mereka, lalu untuk mengelabui orang-orang awam mereka berkata: “Allah punya tangan tapi tidak seperti tangan kita, Dia punya kaki tapi tidak seperti kaki kita, Dia besemayam dengan Dzat-Nya di atas arsy tapi tidak seperti yang seperti kita bayangkan...”.
Seorang yang kritis dan teliti, akan mengatakan bahwa pernyataan semacam itu membutuhkan kepada penjelasan, bahwa mereka yang mengatakan: “Kita harus memberlakukan teks-teks tersebut sesuai makna zhahirnya, dan teks-teks tersebut tidak diketahui maknanya”, adalah pernyataan yang saling bertentangan. Karena jika teks-teks mutasyabihat tersebut diberlakukan sesuai makna zhahirnya, maka makna zhahir dari kata “Saq” dalam firman Allah: ”Yauma Yuksyafu ‘An Saq” (QS. al-Qalam: 42), adalah betis; yaitu salah satu anggota badan yang tersusun dari kulit, daging, tulang, urat, dan sumsum. Jika makna zhahir anggota badan ini dipegang teguh dan diambil untuk memahami kandungan ayat QS. al-Qalam: 42 tersebut maka jelas itu adalah kekufuran.
Dan jika makna dzhahir anggota badan ini tidak diambil, lantas apakah kemudian pernyataan mereka: “Kita harus memberlakukan teks-teks mutasyabihat sesuai makna zhahirnya”?! Bukankah mereka tahu bahwa Allah maha suci dari anggota dzhahir semacam itu?! Artinya, secara tidak sadar jika orang-orang itu tidak memberlakukan pengertian anggota badan tersebut maka sebenarnya mereka telah meninggalkan makna zhahir teks. Dengan demikian, mereka telah membatalkan pernyataan mereka sendiri bahwa kita harus mengambil makna-makna zhahir teks.
Kemudian jika orang ini berkata: ”Makna-makna dzhahir yang disebutkan dalam teks-teks mutasyabihat tersebut tidak memiliki makna”.
Maka Kita jawab: "Jika demikian berarti teks-teks tersebut adalah kesia-siaan belaka, maka untuk apakah kemudian teks-teks tersebut disampaikan kepada kita jika tidak memiliki makna?! Tentunya kesia-siaan teks semacam itu adalah sesuatu yang mustahil..."
Dan semoga mereka segera bertaubat dan kembali kepada pangkuan ahlussunnah wal jamaah.
Posting Komentar untuk "Metode Takwil Bersanad Dalam Memahami Ayat Mutasyabihat"