Menjauhi Setetes Racun Lebih Utama dari mendapatkan Madu Berlimpah
قال أحد الصالحين
تجنب قطرة سم خير من الحصول على قنطار عسل
Salah satu orang soleh berkata:
"Menjauhi setetes racun itu lebih utama daripada berusaha mendapatkan madu yang berlimpah."
Racun itu biasa nya dibubuhkan di makanan yang lezat. Yang tidak bisa dan tidak biasa membedakan mana racun dan mana makanan bergizi sangat rawan sekali mengonsumsinya walaupun sama sekali ia tidak menghendaki meminumnya. Ia baru menyadari setelah kejang-kejang dan sekarat. Maka sungguh beruntung yang dapat membedakan nya.
Sebagaimana di dalam ibadah --secara umum-- terdapat syarat-syarat, rukun-rukun, dan kesunahan-kesunahan menurut syara' juga terdapat hal-hal yang membatalkannya (mubthilaat) juga dalam pandangan syara'. Sekali lagi, menurut syara'; bukan menurut pendapat pribadi, dudu jare dewek tok. Batal atau tidak batal nya ibadah adalah urusan syara', bukan pandangan pribadi.
Ada orang bertanya,
"Apakah batal wudlu seseorang jika ia buang angin (kentut), namun dia belum tahu bahwa kentut dapat membatalkan wudlu?"
Pasti!
Yang mengetahui ilmu agama --dan memandang saudara nya dengan pandangan kasih sayang yakni agar ibadah saudaranya benar-benar sesuai aturan syara' (khithob taklifi), dengan tetap mengedepankan hikmah akan menjawab 'wudlunya batal'. Walaupun ia --yang kentut-- pada kenyataannya memang belum mempelajari dan mengetahui hukum-hukum tentang hal yang membatalkan wudlu.
Mereka yang sayang pada saudara-nya tidak mungkin akan mengatakan "Karena saya kasihan dan sayang sama --orang awam, orang yang belum ngaji seperti-- kamu, maka khusus buat kamu, hukum wudlu-mu tidak batal."
Jika itu terjadi, sebenarnya ia tidak sayang pada saudaranya sendiri. Justru ia menjadi penyebab rusaknya ibadah saudaranya.
Maka, muslim yang baik akan mengaji, mengajarkan, dan semaksimal mungkin mengamalkan ilmul hal (dloruri) agar ibadah nya sah (terpenuhi syarat dan rukunnya) dan sekaligus hal-hal yang membatalkannya agar terhindar dari rusaknya ibadah baik dalam artian tidak sah atau tidak berpahala.
Demikian pula tentang keimanan. Seorang muslim yang peduli dan sayang pada dirinya sendiri, keluarga dan saudaranya agar keimanannya sah menurut syara', yang merupakan syarat sahnya amal ibadah lain, hati nya akan tergerak untuk mengaji tentang kandungan-kandungan makna dua kalimat syahadat secara memadai. Bukan hanya terjemah harfiah semata.
Diharapkan ia mengetahui ushuluddin (pokok-pokok ajaran Islam) yang menjadi cakupan kandungan makna dua kalimat syahadat itu. Syarat sah nya apa saja hanya dapat ia peroleh dengan cara mengaji pada ulama yang kompeten.
Sangat mungkin terjadi, orang yang mengetahui makna dua kalimat syahadat secara global (dan sah menurut syara') karena tidak mengaji tentang kandungan-kandungan makna keduanya secara memadai, justru meyakini, melakukan, atau mengucapkan apa yang menentang K A N D U N G A N maknanya.
Maka, sebagai bukti kasih sayang pada diri sendiri, keluarga dan saudara, ia tentu akan peduli bahkan lebih peduli untuk mengaji, mengajarkan ilmu syara' tentang racun-racun yang dapat membatalkan keimanan-keislaman agar iman tidak rusak. Karena batalnya keimanan tidak bergantung pada ada atau tidak nya K E H E N D A K seseorang untuk keluar dari Islam. Sebagaimana orang yang berwudlu yang tidak berkehendak sama sekali agar wudlu nya batal tapi kenyataannya memang dia kentut, maka batal lah wudlu nya walaupun ia B E L U M T A H U tentang hukum batal nya wudlu tersebab hal itu.
Al Hafidz Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Asqollani menuqil ungkapan Al Mujtahid, Al Hafidz, al Mu'arrikh, Ibnu Jarir Ath Thobari --rodliyallahu 'anhuma-- berkata:
إن من المسلمين من يخرج من الدين من غير أن يقصد الخروج منه ومن غير أن يختار دينا على دين الإسلام اه
"..... Sesungguhnya ada di antara umat Islam yang keluar dari Islam T A N P A ada K E H E N D A K darinya untuk keluar dari Islam. Dan tanpa ada kesengajaan dia memilih agama lain selain Islam."
Namun, di tengah masyarakat yang semakin konsumeris, individualistik, egois, yang lebih mementingkan hajat dunia dibandingkan hajat keselamatan dan kebahagiaan di akhirat sehingga banyak yang meninggalkan mengaji agar ibadah-nya sah, agar keimanannya terjaga, sering kali justru nyinyir pada saudara mereka sendiri yang sedang mengaji dan mengajar-kan --misalnya-- Sullamut Taufiq. Yang didalam nya diajarkan tentang ilmu yang fardlu 'ain (ilmul hal, misal nya thoharoh, sholat, puasa, muamalah, dan lainnya), hal-hal yang dapat merusak ibadah (tidak sah), merusak pahala ibadah, yang merusak keimanan (syarat sah nya ibadah).
Yang sedang giat mengaji, mengajarkan kitab yang didalamnya diterangkan hal-hal di atas --karena didasari sayang utamanya pada diri sendiri, keluarga dan saudaranya agar selamat di dunia dan akhirat-- justru dituduh oleh saudaranya sendiri (entah karena apa), sebagai ekstrim; sesat; mudah mengkafirkan.
Lalu, dengan apakah kita memaknai kasih sayang wahai Tuan?!
Selain dengan cara mengaji, mengajarkan dan sekuat mungkin mengamalkan ilmu para ulama??
لا حول ولا قوة إلا بالله
Kanjeng Nabi ngendika,
الراحمون يرحمهم الرحمن ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء*
"Mereka yang saling berkasih-sayang pasti akan mendapat kasih dan sayang Allah yang Maha Memberi kasih sayang. Kasihi lah mereka yang ada di bumi, maka 'yang di langit' akan mengasihimu."
Hadits yang masyhur dengan 'musalsal bil awwaliyyah' riwayat At Tirmidzi ini, ditafsiri oleh hadits yang sanad nya kuat menurut Al Häkim dalam Al Mustadrok, Imam Ahmad dalam Al Musnad, At Thobari dalam Tadzhïbul Ätsär dan selainnya. Yakni hadits .........
يرحمكم أهل السماء
".........., Maka PENDUDUK langit akan merahmatimu."
Sehingga makna nya yang tepat adalah,
"Kasihi-lah penduduk bumi --dengan menunjukkan mereka pada kebaikan seperti mengajarkan mereka ilmu agama yang dlorüri/ilmul hal [ilmu akidah dan hukum yang wajib diketahui oleh semua mukallaf bahkan orang awam sekalipun] yang menyelamatkan mereka dari api neraka, memberi makan yang lapar, memberi pakaian pada yang telanjang dsb--. Maka 'para malaikat yang ada di langit' akan merahmatimu --dengan cara mereka memintakan ampunan pada ALlöh bagi orang-orang mukmin, menurunkan hujan dan sebagainya--."
Kata 'yang di langit' pada hadits PERTAMA ditafsiri dengan makna 'penduduk langit' [malaikat yang bermukim di langit] yang terdapat pada hadits KEDUA. Dan tafsir yang demikian ini adalah tafsir terbaik.
Sebagaimana disebutkan oleh Al Häfidh Al ^Iröqi dalam kitab Alfiyyah nya,
"Sebaik-baik menafsiri hadits yang wärid [datang dari] Nabi adalah dengan menafsirkannya juga dengan ayat Al Quran dan Hadits ؛ وخير ما فسرته بالوارد"
* Hadits ini sering dipahami secara lahiriah dan keliru Fatal oleh Kaum Musyabbihah, bahwa Allah bersemayam; menempat di langit. Tulisan di atas adalah bantahan ulama Ahlussunah terhadap mereka.
Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi; Sayyid Ulamā' al-Hijāz menyebutkan dalam kitab Tafsīr al-Munīr, Juz 1, hlm. 113:
فأفضل الدعوة هي دعوة إلى إثبات ذات الله وصفاته
" .... Maka seutama-utama dakwah adalah mengajak --orang lain-- untuk
Menetapkan* Dzat Allāh & Sifat-sifat --yang wajib; layak dan sempurna bagi-- Nya
وتقديسه عن مشابهة الممكنات
Mensucikan Nya dari segala keserupaan terhadap seluruh makhluk."
* Menetapkan: meyakini akan adanya Allāh dengan seluruh sifat-sifat Nya dalam hati dengan keyakinan yang sesuai dengan dalil naqli --yang tsabit-- yang dikuatkan dalil ^aqliy yang qōthi^
Seseorang yang telah mempelajari bab riddah (terputusnya keislaman) dengan baik, maka ia akan memperoleh beberapa manfaat. Di antaranya:
1. Dengan penuh kesadaran dapat menjaga keislaman-nya dari riddah sehingga ia tidak rusak, putus atau batal. Ia akan menjaga keimanannya secara ekstra dari riddah baik yang berupa keyakinan, perbuatan atau yang berupa ucapan.
2. Tidak mudah; serampangan mengkafirkan muslim lain. Karena untuk pada kesimpulan sesat --apalagi murtad-- terdapat kaidah-kaidah ketat yang diformulasikan ulama mujtahid untuk diikuti (ittiba' pada syara').
Ulama menyebutkan,
١. التسرع في التكفير فيه خطر عظيم
Serampangan, --yakni tanpa mengikuti kaidah-kaidah yang dirumuskan para ulama mujtahid-- dalam mengkafirkan seseorang sangat lah berbahaya.
Karena bisa berbalik pada siapa yang menuduhnya jika yang dituduh nyata nya muslim.
٢. نحن لا نكفر إلا من كفره الشرع
Kita tidak boleh menghukumi tentang rusak-nya keimanan kecuali seseorang yang oleh syara' memang dihukumi rusak.
3. Tidak meragukan pada dirinya apakah ia menetapi keadaan Islam atau sudah keluar darinya (sesat atau kafir).
Orang Islam yang mengetahui akidah Islam --terutama pokok-pokok /ushul nya-- dan hal-hal yang menyebabkan rusaknya akidah tidak akan ragu apakah ia dalam keadaan Islam atau tidak.
Siapapun yang mengetahui pokok keimanan disertai dengan dalil baik naqli maupun 'aqli yang memadai tidak akan ragu tentang kebenaran yang diyakininya.
4. Terhindar dari taswis; was-was yang dihembuskan syaitan pada hati seorang mukmin terutama pada saat sakarotul maut.
رزقنا الله وإياكم حسن الختام بجاه سيدنا محمد خير الأمام صلى الله عليه وعلى ءاله وصحبه وسلم
Posting Komentar untuk "Menjauhi Setetes Racun Lebih Utama dari mendapatkan Madu Berlimpah"